Cerita Dari Sandera
SEBAGAI seorang sandera, maka kematian adalah sesuatu yang paling dekat denganku. Ia yang senantiasa hadir dalam bayang-bayangku di mana pun aku berada. Saat aku mulai terlelap, ia hadir di sampingku. Dan di saat aku terjaga, ia senantiasa menguntitku dari belakang, mengawasi aku dari atas, dari samping kanan dan kiriku, serta sewaktu-waktu siap menghadangku dari depan. Ia juga bisa saja menjemputku lewat sebutir peluru yang dimuntahkan entah dengan sengaja diarahkan kepadaku, atau dengan tanpa sengaja tiba-tiba saja ia nyasar menembus badanku menyisakan sebuah lubang yang menganga dan sekaligus mengakhiri kisahku.
Hari-hari adalah sama saja bagiku. Hari-hari adalah penderitaan. Aku tak pernah berkesempatan untuk memikirkan esok hari. Sebab, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku semenit atau bahkan sedetik kemudian. Hari-hari adalah ketakpastian.
Aku tahu, kematian bisa datang kapan saja. Sebagaimana yang terjadi pada teman-temanku yang kusaksikan secara langsung di depan mataku. Mereka menjemput ajal dengan cara yang mengenaskan di pepohonan, dengan rantai yang senantiasa melingkar di leher mereka (dan juga aku), tatkala mereka diikat di sana siang dan malam, sehingga mereka harus menahan pedihnya siksaan oleh berjuta-juta serangga yang mengusik mereka.
Atau tatkala mereka harus rela berlumuran lumpur yang tebal yang lama-kelamaan telah menjadi kejadian sehari-hari bagi mereka, oleh sebab mereka terlalu lemah untuk menuruti kemauan para penyandera. Atau pada saat mereka kedapatan sedang mencoba untuk melarikan diri dari ruang yang lebih mengerikan dari sebuah penjara, mereka yang dibiarkan berlari dengan tertatih-tatih, dengan kaki yang berlumuran darah dan tangan yang terikat ke belakang, tetapi ketika mereka hampir menghilang dari pandanganku, berondongan peluru yang panas telah mengoyak punggung-punggung mereka.
Begitulah, kematian selalu menyapa kami setiap pagi, siang, sore dan malam hari.
Itulah sebabnya aku memilih untuk bertahan pada keadaan ini.
***
Setiap hari aku terbangun pukul empat pagi, di tengah hawa dingin yang menusuk tulang-tulangku, juga di antara himpitan rasa putus asa, dan depresi yang teramat sangat. Satu alasan mengapa aku bisa dengan sekuat tenaga melakukannya. Aku ingin mendengarkan suara ibuku dan juga anak-anakku yang mendukungku melalui radio. Hanyalah dukungan itu yang aku butuhkan, oleh sebab aku senantiasa dihantui oleh pikiran untuk membunuh diriku sendiri, dan ketakutan bahwa aku bakal dibunuh.
Kematian, sekali lagi, ia adalah teman yang paling nyata bagi seorang sandera. Dan aku, tinggal bersama kematian!
***
Suatu ketika, aku diberikan kesempatan untuk berkirim surat kepada anak-anakku, setelah sekian lama kesempatan itu tak kunjung datang kepadaku walaupun dengan merengek-rengek aku memintanya. Mereka yang menahanku terlalu takut dan khawatir, barangkali. Ketakutan dan kekhawatiran yang sama sekali tak dapat kupahami. Aku pikir, apakah yang hendak dikhawatirkan jika seorang sandera diberikan kesempatan untuk berkata-kata lewat selembar kertas, yang hanya berisi tentang pesan kerinduan serta semangat dan tekad untuk tetap bertahan?
Maka kini tak kulewatkan kesempatan itu. Kesempatan yang pasti kusadari hanya datang sekali saja saat penyandera itu bilang, “Oke, cuma sekali ini, besok tak kan pernah!”
Penyandera itu cuma memberiku selembar kertas yang dicomot dari buku tulis dan sebatang pulpen kepadaku. Kupikir, apa yang akan kutulis dengan kertas yang hanya selembar ini? Akhirnya kuputuskan untuk membagi dua kertas itu. Satu sisi, aku ingin menulis untuk ayah ibuku, dan satu sisi aku ingin menulis untuk anak-anakku.
Tentu, aku tak mungkin menuliskan penderitaanku kepada mereka, yang pasti dengan sangat jelas hanya akan menghadirkan kecengenganku di hadapan mereka, muncul sebagai seorang yang sangat putus asa. Maka kutulis, aku hanya ingin berpesan dengan bahasa yang sederhana, betapa liku-liku kehidupan terkadang memunculkan keadaan yang mana seseorang harus pandai bersikap. Ia harus pandai menentukan apa yang akan ia perbuat.
Aku selipkan pula di dalamnya, pada sisi yang lain, pesan kepada anak-anakku untuk senantiasa belajar dan belajar. Aku mengatakan kepada mereka, “Bila kalian merindukan ibu dan ayah, maka belajarlah. Sesungguhnya Ayah hadir menemani kalian saat kalian sibuk belajar, dan tanpa kalian sadari ayah tersenyum melihat kalian semua!”
Kata-kata yang sering kuucapkan kepada mereka di saat kami bercengkrama, juga kutuliskan. “Namun, apalah artinya kepandaian tanpa moral yang terpuji. Maka ikutilah kepandaian kalian dengan moral yang tinggi, seperti kakek, nenek, dan ayah kalian. Mereka adalah orang-orang terpuji di dunia ini.”
Aku terus menulis dan menulis. Aku tak berpikir untuk mengecilkan tulisanku walau aku tahu dengan cara itu bisa memberiku kesempatan untuk menulis lebih banyak. Aku juga tak meminta tambahan kertas meski aku sangat ingin menuliskan semuanya yang ada di dalam hatiku. Aku menyadari, yang terpenting aku harus tetap fokus. Jika saja aku menumpahkan seluruh emosi, maka yang akan tertulis hanyalah kata-kata kosong yang tanpa makna, dan itu tidak akan merubah apa-apa.
***
Pada suatu subuh saat aku baru saja rebah kembali, aku dikejutkan oleh suara gaduh yang hadirkan rasa ingin tahuku. Aku menajamkan pendengaranku. Aku mendengar suara pukulan yang bertubi-tubi, diiringi jerit dan erangan, suara Linda! Aku tak mampu menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Seperti yang sudah-sudah, aku mengerti bahwa para penjaga itu sungguh kejam memperlakukan para sandera. Namun terhadap Linda, aku tak mengerti. Selama ini Linda tak pernah bertingkah macam-macam. Bahkan ia yang selalu mengingatkan aku saat aku mencoba untuk bertindak nekad dengan berfikir bisa saja aku menjadi pembunuh bagi diriku sendiri dalam sekejap.
Aku beranjak dari alas tidurku, berjalan ke bibir ruanganku. Aku tak melihat apa pun, tetapi lamat-lamat aku bisa mendengar suara-suara mereka.
“Cepat katakan!”
“Tidak! Aku tak mau!”
“Kau membangkang!”
Bugh! Satu tendangan lagi mendarat di badan Linda.
“Kau seharusnya patuh pada kami!”
“Aku tak mau! Kalianlah pengkhianat!”
“Anjing!”
“Anjing betina!”
“Rasakan!”
Erangan dan jerit kesakitan yang tertahan kembali terdengar di telingaku, jerit yang keluar dari mulut Linda. Sungguh mereka pengecut. Aku merenung sejenak. Mengapakah mereka tak dengan sesegera mungkin berusaha menyelesaikan segalanya? Seolah-olah mereka hendak berlama-lama menundanya. Apakah memang telah menjadi kesenangan mereka untuk menunda persoalan, mengasingkan diri ke satu tempat yang tak diketahui siapa pun, dan menyiksa para wanita yang menjadi sandera?
Renungku buyar ketika satu jeritan yang keras, perlahan-lahan mulai melemah dan akhirnya tak terdengar lagi. Aku tahu, Linda telah habis. Aku menunduk menatap lantai ruangan yang hitam dan kelam seperti nasib kami. Aku menarik napas dalam.
“Siapakah selanjutnya? Barangkali besok pagi adalah giliranku,” kataku perlahan.
Aku kembali rebah dan menatap langit-langit. Langit-langit yang tak pernah berubah melainkan semakin kotor saja di mataku.
***
Sembilan tahun sudah aku berada di tempat terkutuk ini. Aku tak tahu pasti mengapa aku masih tetap berada di sini. Mengapa mereka tak segera membebaskan aku, aku mengapa pula mereka tak sekalian menghabisi nyawaku? Ataukah aku memang terlalu berharga buat mereka, sebagai modal yang besar untuk menukar teman-teman mereka yang ditahan dengan diriku?
Aku tak tahu pasti. Yang jelas aku akan senantiasa bertahan dalam keadaan ini, meski teman-temanku sedikit demi sedikit mulai menghilang dari pandanganku. Sebagian dari mereka telah mati, seperti yang sudah-sudah kuceritakan, mati dengan cara yang berbeda-beda setelah mereka tak tahan akan penyiksaan, dan sebagian lagi telah terbebas dari tempat terkutuk ini. Entahlah. Seakan ada satu kekuatan yang dahsyat yang membuatku mampu untuk tetap bertahan, di saat perlahan-lahan hadir di pelupuk mataku bayangan wajah-wajah mereka yang teramat kucintai: ayah ibuku yang tlah renta, almarhum suamiku, serta anak-anakku yang tentu mereka kini telah beranjak dewasa. []
Semarang, 8 Juli 2008- 24 Juli 2009