Manusia Pemakan Bangkai
Ini kisah nyata. Eits! Tunggu dulu! Saya tidak sedang sedang menggunjing Sumanto – sang kanibal dari Purbalingga – yang barangkali ia memang telah bertobat dan (kembali) menjadi manusia normal sekarang, namun ini adalah satu kisah dari India.
Singkat cerita, di suatu daerah di India ada seorang wanita miskin. Rumahnya sangat biasa. Soal pekerjaan, dia pun tak jelas apa kerjanya. Namun ada satu hal yang membuatnya sangat istimewa, yakni ia memiliki kerisauan yang luar biasa pada satu kehidupan yang tak sesuai dengan nuraninya. Kerisauan yang kerap melanda jiwanya adalah disebabkan ia tak sanggup melihat kehidupan tetangga dekatnya yang kaya raya, berpredikat konglomerat. Bukan karena kedengkian! Melainkan wanita itu memiliki syafaqat, semacam pemikiran yang jauh menembus masa depan, kerisauan tentang hakikat ke manakah manusia kembali (menghadap Tuhannya).
Suatu hari, wanita itu mendapati seekor ayamnya mati tanpa sebab. Dia jelas kecewa, sebab ayam itu menjadi mubazir. Dalam ajaran agama yang diyakininya, adalah haram untuk memakan ayam yang telah menjadi bangkai. Namun, entah, barangkali karena kerisauan dalam dadanya telah lama menggumpal dan tak tertahankan, sebuah ide “gila” melintas di benaknya. Selanjutnya, ia pun memotong dan memasak ayam bangkai itu.
Asap mengepul dan menerbitkan aroma masakan yang sedap. Opor ayam telah siap dihidangkan dan disantap dengan lahap. Wanita itu hendak memakannya? Tidak. Ia mengirimkannya untuk tetangga sebelahnya yang kaya raya itu.
Tentu saja, sore hari saat sang konglomerat tiba di rumah, ia heran mendapati opor ayam yang “sederhana – tak biasanya” itu. Ia pun bertanya kepada istrinya, darimana makanan itu berasal? Istrinya yang menerima langsung dari wanita itu, menjelaskan bahwa masakan tersebut berasal dari tetangga sebelah, wanita yang miskin itu! Keheranan sang konglomerat pun semakin menebal mendengar penjelasan istrinya. “Tumben wanita itu bertandang ke rumah kita. Tak biasanya, mengherankan. Aku menduga, pasti ada sesuatu yang ia mau dari kita,” katanya pada istrinya. “Cobalah kau temui dia, tanyakan, ada apa sebenarnya!”
Akhirnya, istri sang konglomerat mendatangi wanita miskin itu. Setelah sejenak berbasa-basi, sampailah saatnya mereka berbincang ke pokok persoalan. Wanita miskin itu kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai ihwal opor ayam itu, beserta alasan mengapa ia “tega” menyuguhkannya untuk keluarga sang konglomerat. Mendengar penjelasan wanita miskin, istri sang konglomerat lalu pulang ke rumahnya sambil menangis, dan berceritalah ia kepada suaminya.
“Ayam yang kita makan tersebut ternyata adalah bangkai! Dan tahukah kau, suamiku, mengapa si miskin itu menghadiahkannya kepada kita? Sebab, ia sangat-sangat tahu kesukaan kita. Makanan seperti itulah yang memang kita sukai. Selama ini kita memang gemar memakan makanan-makanan busuk dari hasil korupsi! Ya, memang demikianlah keadaan kita….”
***
Begitulah. Setiap Desember telah diperingati Hari Antikorupsi sedunia, pun di Indonesia. Namun, dasar! Apakah kegemaran yang dilakukan berulang-ulang itu memang mendatangkan kenikmatan meskipun itu buruk?!
Ya, korupsi dan memakan bangkai itu buruk. Namun, bagi para koruptor dan pemakan bangkai, bisa jadi hal itu akan terasa sangat nikmat bila memang telah terbiasa mereka lakukan dan (kebetulan pula) efek buruknya itu sama sekali tak terasa! Lebih jelas, sekadar rujukan mengenai perkara menemukan kenikmatan pada satu keburukan, sesekali cobalah Anda bertanya pada para penghisap candu/rokok dan penenggak minuman keras, misalnya. Perhatikanlah dengan seksama apa jawab mereka.
Persoalannya sekarang, apakah memang seperti itulah yang terjadi di Indonesia kini? Banyak koruptor diadili tetapi tepat di saat yang sama diam-diam ternyata banyak orang berhasrat melakukan hal yang sama? Sadarkah mereka, para koruptor itu, bahwa mereka telah memakan “bangkai-bangkai” ribuan rakyat yang mati sebab didera kelaparan yang sangat?
Barangkali salah satu cara untuk menyadarkan para koruptor adalah dengan mengurung dan memberi mereka makanan-makanan busuk. Syukur-syukur bila kemudian mereka menjadi sadar telah melakukan satu kesalahan mahadahsyat. Namun, jika ternyata mereka justru nagih, dan berkata, “This food is very very delicious, I like it!” karena memang seperti itulah makanan asli mereka, maka sesungguhnya saat itulah saatnya kita berputus asa dan maklum! [] M. Rifan Fajrin