Menyadarkan Pencuri
Cerita Pendek M. Rifan Fajrin
: Untuk Para Pencuri, Para Kecu, Bajingan -
juga untuk mereka yang inginkan ketenangan
SETELAH MEMPERTIMBANGKAN segala kemungkinan yang akan terjadi nanti, akhirnya Pak Ahmad jadi juga untuk membeli rumah di kampung itu. Alasan yang dipakai adalah: Pencuri tidak akan mencuri di rumahnya sendiri. Yah, kampung tujuan Pak Ahmad terkenal sebagai “Kampung Pencuri”. Sebab, sebagian besar laki-laki dewasanya pernah masuk bui karena kedapatan mencuri. Dan konon, mereka memang tidak pernah mencuri di kampungnya sendiri, melainkan di kampung tetangga.
Dan naluri serta bakat mencuri pada warga di kampung itu seperti telah turun-temurun sejak dulu dari para pendahulu mereka. Dalam melakukan aksinya mereka tidak pernah pandang bulu. Apa saja yang sekiranya dapat diambil, mereka akan ambil. Mulai dari yang rendahan, sedang, sampai kelas atas. Singkatnya, maling dari kelas teri hingga kakap, di sini ada.
Namun, realita itu tidak membuat Pak Ahmad ciut nyali. Dan berdalih mengikuti jejak Nabi ketika hijrah ke Madinah, maka yang pertama dilakukan oleh Pak Ahmad adalah membangun sebuah musala di dekat rumahnya. Karena walaupun warganya suka mencuri, tapi toh mereka orang Islam juga yang wajib salat lima waktu.
Untuk memakmurkan musalanya, Pak Ahmad menggandeng Pak Man, Pak Pri, dan Nanang. Mereka-mereka adalah para mantan napi yang –katanya– sudah insyaf dan jera mencuri. Dan bersama mereka bertiga, Pak Ahmad dapat istiqomah menghidupkan salat jemaah lima waktu dan diimami sendiri oleh Pak Ahmad. Tentu saja keadaan tersebut cukup menggembirakan buat Pak Ahmad. Prinsipnya, jika musala makmur maka kampung juga akan makmur. Musala itu ibarat jantung!
Sering sekali Pak Ahmad berbincang dengan tiga rekannya. Seperti sore itu, sambil mengamati langit-langit musala, Pak Ahmad memula obrolan, “Alhamdulillah, akhirnya kampung ini memiliki sebuah mushola. Yah walaupun kecil tapi cukup melegakan hati.”
“Betul Pak Ahmad, saya juga merasa sungguh nyaman dan tenteram berada di sini,” kata Pak Pri.
“Lebih nyaman daripada di bui. Hahaha!” mereka semua tertawa serempak.
“Ternyata hidup ini lebih tentram jika kita berada di tempat yang tepat seperti ini. Kami sudah bosan mencuri, Pak Ahmad. Bosan jadi bajingan terus,” Nanang ikut bicara.
“Syukur kalau begitu. Yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana kita menjalaninya sebaik mungkin, dan juga mengakhirinya dengan baik pula. Khusnul khatimah,” hibur Pak Ahmad.
“Pak Ahmad, apakah kami masih bisa jadi orang baik? Masa lalu kami sungguh kelam.”
Pak Ahmad tersenyum, lalu katanya, “Apakah kalian pernah mendengar cerita seorang pembunuh yang telah membunuh seratus orang, kemudian taubatnya diterima oleh Allah? Seperti itulah orang yang sungguh-sungguh dalam taubatnya, pasti diterima.” Pak Ahmad berusaha menghibur ketiga rekannya.
Namun, tidak lama kemudian Pak Ahmad merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Pasalnya setelah berjalan sekian lama, tapi tidak ada seorang pun tambahan jamaah salat lima waktu di musala tersebut. Dari pertama hingga sekarang hanya empat orang saja yang salat di musala. Sedikit kerisauan muncul dalam hati Pak Ahmad, bagaimana caranya supaya orang-orang mau berdatangan ke musalanya.
Maka selepas salat Subuh, Pak Ahmad mengajak ketiga rekannya berembug lagi.
“Memang, kalau bertiga terus lama-lama kita bisa bosan,” tutur Pak Man.
“Ya, jika suatu saat salah satu atau dua dari kita berhalangan hadir, musala bisa jadi sepi. Waktu kita kan tidak tentu, kadang bisa longgar kadang juga bisa sangat mepet. Alhamdulillah-nya sampai saat ini kita belum pernah absen,” Pak Pri menimpali.
“Lalu bagaimana baiknya?” Pak Ahmad minta pendapat. “Kira-kira apa sebab tidak adanya tambahan ke musala?”
Nanang yang dari tadi diam angkat bicara, “Saya kira pangkal dari permasalahan ini adalah pintu musala yang selalu terkunci selepas salat yang menyebabkan orang-orang tidak mau datang. Mereka tentu sulit untuk hadir tepat awal waktu. Mungkin karena itulah mereka memilih untuk salat di rumah saja.”
Pendapat Nanang dirasa ada benarnya juga.
“Baiklah, kalau begitu mulai besok kita coba untuk membuka musala dua puluh empat jam agar semua warga bebas salat kapan saja. Yang penting memang mereka mau datang dulu ke musala.” Pak Ahmad mengambil keputusan. “Lagipula kalau dipikir-pikir, masak musala kalah dengan warung yang buka dua puluh empat jam.” tambah Pak Ahmad sambil terkekeh-kekeh.
Maka sejak itu musala Pak Ahmad tidak pernah terkunci. Tapi keadaan tetap tidak berubah. Musala hanya berisi empat orang saja: Pak Ahmad, Pak Man, Pak Pri, dan Nanang. Walaupun begitu, Pak Ahmad tetap sabar dan tetap optimis!
Dan akhirnya kesabaran Pak Ahmad rupanya membuahkan hasil. Awalnya ada seorang yang salat maghrib sesaat menjelang isya. Nah, sehari kemudian tepat pada saat salat maghrib mereka mendapat tambahan seorang. Namanya Wandi. Nanang sempat mengolok-olok kedatangan Wandi.
“He, kamu. Tumben datang ke musala. Sudah tobat rupanya kamu! Hahaha.”
“Hussh! Tidak boleh bicara begitu. Orang datang ke mushola adalah atas hidayah Allah. Mereka adalah orang-orang yang betul-betul dipilih oleh Allah. Banyak orang yang sehat, kuat, rumahnya sangat dekat dengan mushola, tapi ternyata belum juga datang ke mushola. Ini artinya ia belum dapat hidayah,” sahut Pak Ahmad membela Wandi.
“Maafkan saya Pak Ahmad, tapi Wandi ini seperti kami juga. Bajingan! Kecu!” Nanang membela diri.
Wandi tak kalah, ia menyahut, “Apa tidak boleh, bajingan insyaf?”
Pak Man dan Pak Pri malah tertawa terpingkal-pingkal.
Satu hal yang pasti, mereka gembira mendapat seorang lagi kawan yang menyertai salat jamaah mereka.
NAMUN KEGEMBIRAAN mereka tidak berlangsung lama. Karena pada hari kelima mereka tidak mendapati Wandi menyertai salat berjamaah maghrib. Dan mereka bertambah kecewa karena seiring dengan hilangnya Wandi, hilang pula sebuah Michrophone. Rupanya ada maling yang telah masuk musala.
“Celaka! Ada pencuri masuk! Michrophone kita hilang! Pasti ulah Wandi!” Nanang langsung menuduh Wandi-lah malingnya.
“Tenang dulu, jangan ribut begitu. Cari dulu yang benar!” Pak Man menggerutu.
“Sudah saya cari dimana-mana. Tetep nggak ketemu. Sudah saya bilang, Wandi itu nggak beres! Dia itu kecu, maling!” Nanang terus menceracau.
“Belum tentu Wandi malingnya. Kan belum ada bukti yang nyata?” Pak Pri juga masih sangsi.
“Saya yakin, buktinya Wandi tidak berani datang ke musala!”
Sedangkan Pak Ahmad enggan menuduh siapa-siapa tanpa ada saksi dan bukti yang jelas. Menurutnya jika memang Wandi yang melakukannya, mengapa ia begitu bodoh dengan menghilang begitu saja? Dengan begitu dialah yang paling kuat untuk dicurigai. Tapi Pak Ahmad juga berpikir mungkin alasan Wandi menghilang adalah karena mungkin saja ia tidak kuat menahan kebohongan saat diinterogasi, dan akhirnya dia mengaku. Itu pun kalau memang Wandi malingnya. Tapi seandainya secara kebetulan saat Wandi merasa bosan salat jamaah di musala, kemudian dia menghilang dan pada saat itu ada maling masuk mencuri michrophone, itu mungkin saja kan? Siapa yang mencuri michrophone masih menjadi teka-teki. Pak Ahmad benar-benar pusing. Ia memilih menyalahkan dirinya sendiri yang teledor membiarkan michrophone tergeletak begitu saja di dalam musala.
Maka hari berikutnya Pak Ahmad membuat sebuah kotak/peti kecil lengkap dengan gembok untuk menyimpan michrophone. Pak Ahmad memang tidak mau menyimpan michrophone di rumahnya dengan alasan benda itu sudah ia wakafkan untuk musala. Walaupun sebenarnya tidak apa-apa disimpan di rumahnya demi keamanan. Namun ia memilih membuat peti itu. Ia cukup membawa kunci gemboknya saja. Ia rasa cukup aman walaupun dengan kondisi musala yang selalu terbuka bagi siapa saja.
***
WANDI DATANG lagi. Nanang yang menuduh Wandi mencuri segera menyemprot Wandi.
“Hai, Maling! Berani benar kamu datang lagi kemari!”
“Ada apa ini? Siapa yang maling?! Hati-hati kalau bicara, Bung!” Wandi tersinggung.
“Alaaah! Jangan sok pura-pura tidak tahu kamu! Mana ada maling yang ngaku!” kata Nanang sambil menampar muka Wandi.
Wandi balas menyerang. Seperti anak kecil mereka berkelahi.
Pak Ahmad yang mendengar ribut-ribut segera keluar dan melerai pertikaian. Ia memarahi Nanang yang langsung asal main tuduh kepada Wandi.
“Siapa lagi kalau bukan dia, Pak Ahmad!? Jelas sekali dia malingnya. Dia menghilang setelah berhasil mencuri michrophone!”
“Kejadiannya apa, kapan, dan bagaimana saya tidak tahu menahu. Eh, tau-tau dituduh maling,” Wandi membela diri.
“Sudahlah! Gara-gara maling michrophone aja ribut!” kata Pak Ahmad sambil masuk ke musala bersiap-siap untuk adzan maghrib.
Nanang dan Wandi masih saling pandang.
“Sudaaah. Ayo damai!” bentak Pak Ahmad dari dalam musala.
***
KETIKA PAK AHMAD mulai lupa dengan peristiwa pencurian itu, ia kembali tercengang sore itu. Ia mendapati kotak tempat ia menyimpan michophone rusak dibobol maling! Dan michrophone Pak Ahmad kembali raib! Astaghfirullah!
“Innalillahi, kita kecolongan lagi!” Pak Ahmad menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya perkiraan Pak Ahmad meleset, kotak kecilnya tidak cukup aman. Pak Ahmad pun sadar, dulu ia begitu percaya kabar bahwa warga tidak mau mencuri di kampungnya sendiri. Tetapi dalam kenyataannya sekarang ini, sudah dua kali Pak Ahmad kecolongan. Ia berpikir, apa mungkin ia masih belum diterima di kampung itu dan dianggap masih sebagai orang kampung lain?
Dan kondisinya sekarang berbeda. Kali ini tidak ada orang yang dapat langsung dituduh sebagai pencuri. Karena pencurian kali ini tidak sama dengan peristiwa pencurian yang lalu, kali ini Wandi tidak lagi menghilang. Dan Nanang langsung mencibir dan menuduh Wandi sedang mengganti strateginya untuk mengelabui Pak Ahmad.
“Nah, apa kata saya Pak Ahmad? Dia memang kecu! Seharusnya jangan beri kesempatan dia berada di sini!”
Wandi jelas tersinggung. “Apa maksudmu, Nang!”
“Jika siasatmu yang lalu hampir terbongkar, sekarang ganti strategi. Dia ganti siasat, Pak Ahmad, sekarang tidak lagi menghilang supaya tidak bisa langsung dicurigai!”
Menurut pendapat Nanang, jika strategi Wandi yang lalu sangat membahayakan dan hampir saja terbongkar tapi dia masih bisa lolos, tentu sekarang ia tidak lagi berani bermain api.
Wandi yang tidak terima dengan tuduhan Nanang langsung berang. Ia segera menampar mulut Nanang. Pak Ahmad jelas kelabakan. Dengan susah payah ia melerai Wandi dan Nanang. Untung saja datang Pak Man dan Pak Pri yang membantu melerai mereka.
Pak Ahmad menyesalkan tindakan Nanang yang terkesan ceroboh. Langsung main tuduh tanpa ada bukti dan saksi. Sedangkan terhadap Wandi, Pak Ahmad tidak terlalu banyak bicara. Ia hanya menatapnya dengan tajam. Wandi langsung menunduk.
Selepas Isya Pak Ahmad mengajak mereka berkumpul dan bermusyawarah.
“Akhir-akhir ini musala tidak lagi aman. Dua kali sudah kita kecolongan. Saya kira yang terbaik saat ini adalah memikirkan bagaimana jalan keluar atau solusi dari masalah ini, tetapi tetap dengan tidak mengesampingkan bagaimana cara untuk menangkap pencuri itu tanpa saling menuduh satu sama lain diantara kita berlima,” Pak Ahmad berbicara dengan pelan dan hati-hati.
“Bisa jadi ketika kita saling menuduh satu sama lain di sini, sementara ada orang lain di luar sana yang tertawa melihatnya,” lanjutnya. “Dan kalau bisa tidak hanya menangkap pencuri itu saja tapi juga untuk menyadarkannya.”
“Satu-satunya cara untuk menyadarkan pencuri adalah dengan menghajarnya jika tertangkap. Dengan begitu dia akan kapok!” Nanang berapi-api.
“Menurut saya, hukuman tersebut malah akan menjadikan sebab pertikaian selanjutnya yang bermotif dendam. Negara kita adalah negara hukum. Jadi sebaiknya yang berwajib sajalah yang mengurusi,” kata Pak Man.
“Lho, bukankah sama saja, Pak? Jika kita menyerahkannya kepada yang berwajib, maka setelah bebas tidak ada jaminan pencuri itu tidak menaruh dendam kepada kita yang telah melaporkannya ke polisi,” sergah Nanang.
“Begini saja, itu perkara nanti jika malingnya sudah ketemu. Sekarang yang penting adalah bagaimana caranya agar kita tidak kecolongan lagi,” Pak Pri mengalihkan. “Menurut saya, lebih baik Pak Ahmad menyimpan michrophone di rumahnya saja. Tidak usah sungkan-sungkan dan ewuh pakewuh. Lebih aman, itu yang penting,” tambahnya.
“Atau kita kunci lagi saja musalanya, Pak?” Pak Man menawarkan solusi.
“Wah jangan, tujuan kita membuka musala kan sudah baik yaitu agar orang dapat masuk dan salat kapan saja. Dan itu sudah membuahkan hasil yaitu dengan masuknya Wandi,” Pak Ahmad beralasan.
“Dan itu artinya pencuri dapat masuk kapan saja, Pak! Karena buktinya dengan terbukanya musala sama saja dengan memberi kesempatan pencuri masuk. Dan ingat, sudah dua kali kita kecolongan,” kata Pak Man sambil matanya berkeliling.
“Bukan saya lho, Pak,” Wandi langsung merasa dialah yang selalu dituduh mencuri ketika matanya beradu dengan mata Pak Man.
“Sudahlah, kami tidak menuduh kamu kok,” Pak Ahmad menenangkan Wandi.
Pak Ahmad tampak berpikir sejenak, “Begini saja, saya rasa persoalannya mungkin terletak pada kurangnya amalan-amalan di dalam musala ini. Makanya pencuri berani masuk. Memang benar musala kita terbuka dua puluh empat jam, tapi sebatas terbuka saja tanpa ada kegiatan amal karena kita terburu-buru segera pulang setelah selesai salat. Yang mengisi musala tidak ada. Itu berarti musala belum makmur. Ibaratnya warung terbuka tapi tidak ada aktifitas jual-beli karena tidak ada jajanan yang dijual, dan bahkan penjualnya pun tidak ada!”
Semua manggut-manggut seolah-olah memahami kata-kata Pak Ahmad. Pak Ahmad tersenyum senang.
“Lantas bagaimana ini?” kata Nanang.
“Nah, mulai besok pagi selepas subuh kita adakan taklim. Nanti kita baca hadis-hadis Nabi secara bergantian setiap hari. Kebetulan saya ada kitabnya di rumah.” Pak Ahmad nampak serius menjelaskan.
“Baik saya setuju, mulai besok pagi!” Pak Pri nampak antusias. “Habis Subuh langsung, kan?”
“Tapi bagaimana dengan pencuri tadi, Pak?” Wandi yang dari tadi diam bertanya.
“Itu urusan saya,” kata Pak Ahmad enteng. “Yang penting besok pagi program taklim kita mulai jalan.”
Pak Ahmad segera membubarkan musyawarah. Semua pulang ke rumah masing-masing.
DAN PADA MALAM harinya Pak Ahmad mulai memikirkan soal pencuri itu. Ia tidak ingin sekedar menjebak dan menangkapnya saja. Namun, lebih dari itu ia ingin sekaligus untuk menyadarkannya. Ia yakin sekali kalau pencuri itu masih sering datang ke musala, tapi entah kapan waktunya.
Di tengah kerisauannya memikirkan pencuri itu, tiba-tiba Pak Ahmad tersenyum. Sebuah ide melintas di kepalanya dan ia yakin cara itu akan dapat menyadarkan pencuri itu. Saat itu juga ia segera membuat sebuah kotak amal dari papan kayu. Tidak lupa Pak Ahmad menyiapkan “umpan” untuk menjeratnya.
Setelah semuanya kelar, barulah ia bisa merebahkan badannya dengan tenang. Sekarang tinggal mempersiapkan diri untuk taklim besok pagi. Ia akan sangat malu jika bangun kesiangan.
***
HARI PERTAMA.
Pagi itu menjadi pagi yang bersemangat bagi Pak Ahmad. Sesuai dengan apa yang telah disepakati, mulai hari itu selepas subuh Pak Ahmad dan keempat rekannya mengadakan taklim pagi. Yang bertugas mengawali membaca adalah Pak Ahmad. Sebagai permulaan Pak Ahmad membacakan kisah-kisah Nabi dan para sahabat. Mempelajari bagaimana Nabi menggembleng dan memperbaiki kehidupan para sahabat yang dahulu adalah orang-orang yang rusak.
Kemudian taklim diteruskan dengan membacakan Ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis Nabi mengenai pentingnya salat. Mereka semua nampak khidmat mendengarkan. Sehingga Pak Ahmad membaca sampai pada ayat :
“Sesungguhnya salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.” (Q.S Al-Ankabut : 45).
…
Upaya memakmurkan musala telah diawali. Dan Pak Ahmad pun segera mengawali upaya untuk menyadarkan pencuri. Maka setelah semua pulang, Pak Ahmad mulai memasang kotak amal yang telah ia siapkan tadi malam di dekat pintu.
“Nah, beres. Tinggal mengeceknya besok pagi.”
Pak Ahmad menghela nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Ia segera melangkah pulang.
…
HARI KEDUA.
Selepas subuh Pak Ahmad kembali mengadakan taklim dengan keempat rekannya. Dan seperti kemarin setelah membacakan satu kisah keteladanan Nabi dan para sahabat, Pak Ahmad membacakan satu hadis mengenai pentingnya salat :
Dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya r.a , Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pencuri adalah seseorang yang mencuri salatnya,” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana ia mencuri salatnya ?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (Ahmad, Thabrani)
Pak Ahmad membacakan hadis tersebut dengan pelan dan jelas berikut penjelasan hadis tersebut.
Selepas taklim mereka masih membicarakan hadis tersebut. Mereka begitu terkesan dengan hadis itu. Pak Ahmad yang mempunyai pengetahuan agama lebih baik menjadi orang yang paling sering ditanya. Dan dengan sabar dan senang hati Pak Ahmad menjelaskan.
“Mencuri adalah perbuatan yang hina. Dan orang yang kedapatan mencuri akan dipandang hina oleh orang-orang. Namun masih lebih buruk orang yang mencuri dalam salatnya yaitu tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Rukuk belum sempurna sudah berdiri itidal. Sujud belum sempuna sudah duduk. Sujud seperti ini seperti ayam yang memakan biji-bijian,” Pak Ahmad menjelaskan dengan panjang lebar dan diikuti dengan anggukan kepala keempat rekannya.
“Jika salat kita benar dan sempurna rukuk dan sujudnya, maka salat kita tersebut minimal akan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti yang telah dijelaskan kemarin. Oleh karena itu penting bagi diri kita untuk senantiasa meningkatkan mutu salat kita. Tidak usah tergesa-gesa dalam setiap salat kita. Oke?” kata Pak Ahmad sambil tersenyum memandangi satu persatu wajah rekan-rekannya.
“Oke. Insya Allah,” mereka menjawab dengan kompak.
Pak Ahmad tersenyum. Ia nampak sangat ceria.
Dan setelah semua pulang, Pak Ahmad kembali mengecek kotak amal buatannya. Ia melongok ke dalamnya. Sebentar kemudian ia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Benar, pencurinya masih berkeliaran di sini,” gumamnya dalam hati. Kemudian ia pun memasang “umpan” lagi. Kemudian ia melangkah pulang setelah berdoa dalam salat dua rakaat.
***
BUMI TERUS BERPUTAR. Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah satu minggu program taklim pagi telah berjalan di musala Pak Ahmad. Dan telah nampak sedikit perubahan pada diri keempat rekan Pak Ahmad. Salat mereka kelihatan lebih lama dan lebih tenang. Mereka sedikit demi sedikit sedang belajar memperbaiki salat-salat mereka dengan menambah salat-salat sunat. Tentu saja Pak Ahmad senang dengan kondisi tersebut.
Tapi perubahan yang mencolok terjadi pada diri Nanang dan Wandi. Nanang menjadi sering berlama-lama dalam salat. Selain itu ia juga terkesan menjadi pendiam. Wandi hebat lagi, kadang-kadang ia bahkan dapat menangis sendirian selepas salat. Sedangkan Pak Man dan Pak Pri yang usianya memang tidak muda lagi dan tidak betah berlama-lama dalam salat mereka, lebih memilih belajar memperbaiki bacaan Quran mereka.
Memang agar salat mereka terasa lebih menyenangkan, Pak Ahmad mulai mengajak keempat rekannya untuk belajar membetulkan bacaan-bacaan Quran masing-masing. Tidak cukup sampai di situ, untuk permulaan mereka juga dituntut untuk menghafal sepuluh surat terakhir surat pendek Al-quran. Baik Pak Man, Pak Pri, Nanang, maupun Wandi menerimanya dengan senang hati. Bahkan mereka berempat berlomba-lomba menjadi yang terbaik dan tercepat.
“Alam taroo kaifafa ‘ala ….” dengan sangat terbata-bata Pak Man membaca Quran.
“Ro’ –nya dibaca pendek Pak, Man. Tidak boleh terlalu panjang,” dengan sangat sabar Pak Ahmad membimbing.
“Oh, iya ya. Yang mana tadi?”
Tiba-tiba Pak Pri berteriak, “Wah pegel. Mataku nggak kuat lagi! Minta ampun!”
Dengan tersenyum Pak Ahmad bilang, “Istirahat dulu, Pak Pri. Sebetulnya, membaca Al-qur’an itu menyehatkan mata lho, Pak. Selain itu orang yang setiap hari selalu membaca Al-quran pasti tidak cepet pikun. Hehehe.”
Mendengar saran Pak Ahmad kepada Pak Pri, Pak Man ikut-ikutan, “Saya juga mau istirahat ya, Pak Ahmad. Hehehe.”
“Lho tidak diselesaikan dulu, Pak Man?”
“Ah, nanti saja Pak Ahmad. Istirahat dulu.”
“Baiklah. Lain kali diteruskan lagi.”
“Wah kalau dari dulu Pak Ahmad tinggal di sini, pasti saya sudah hafal tiga puluh juz! Bukan seperti sekarang ini, membaca saja sulitnya minta ampun,” Pak Pri memuji.
“Ah, ada-ada saja Pak Pri ini,” Pak Ahmad tidak enak dipuji begitu.
Pak Man jadi teringat Nanang dan Wandi. Nah, mumpung sedang berkumpul bareng dengan Pak Ahmad, Pak Man ingin tahu perkembangan mereka.
“Eh, Nanang dan Wandi sekarang bagaimana, Pak Ahmad? Perkembangan baca Qurannya? Sudah lancar atau masih sama seperti kami ini?”
Pak Ahmad lagi-lagi tersenyum tanda senang dengan pertanyaan itu. Dengan semangat ia menjawab, “Mereka adalah pemuda-pemuda yang hebat, cerdas, mudah menerima pelajaran. Sekarang mereka sudah lancar. Bahkan Nanang dan Wandi sudah mulai menghafal surat-surat pendek yang lain, tidak hanya sepuluh surat terakhir, Pak Man.”
“Ck-ck-ck! Anak muda, beruntung benar mereka.”
Pak Ahmad menambahkan, “Lihatlah Nanang, dia sekarang terlihat lebih lama dan tenang salatnya. Sebabnya ia merasakan kenikmatan salat dengan bacaan yang betul dan hafalan Quran yang semakin banyak. Salatnya menjadi lebih nikmat dan menyenangkan. Wandi juga, kemarin minta saya ajari doa. Saya kasih doa yang singkat dan sederhana, tapi sudah mencakup segalanya.”
“Lantas bagaimana dengan kami, Pak Ahmad? Menghafal surat dalam Quran sudah susah minta ampun, eh sekarang malah mau ditambah menghafal doa lagi,” Pak Pri merasa berat.
“Saat kita berdoa itu, menggunakan bahasa kita sendiri juga tidak apa-apa kok. Justeru bagus, karena kita mengetahui makna apa yang kita ucapkan.”
“Pakai bahasa Indonesia?”
“Iya. Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Doa dalam bahasa apa saja pasti didengarkan oleh Allah.”
ADAPUN PERKEMBANGAN upaya Pak Ahmad untuk menyadarkan pencuri, hingga seminggu ini Pak Ahmad masih menelan pil pahit. Ia mendapati kotak amalnya kosong melompong.
Pak Ahmad merenung dan berpikir, “Apakah tindakan yang kulakukan ini hanyalah tindakan yang bodoh dan justru hanya memberi kesempatan orang lain untuk berbuat kejelekan?” Pak Ahmad menghela nafas. “Ah, tapi seandainya pencuri itu melakukan apa yang aku inginkan, tentu sebentar lagi ia akan menghentikan perbuatan mencurinya.”
Maka dengan setengah putus asa, Pak Ahmad memasukkan lagi umpan di dalam kotak amalnya. “Ini yang terakhir kalinya, seandainya ini tidak berhasil cukuplah sudah upayaku menyadarkannya. Semoga kali ini berhasil.”
Pak Ahmad masih terus bersabar dan berharap usahanya akan membuahkan hasil. Ia masih percaya bahwa cara yang diterapkannya itu akan dapat menyadarkan pencuri itu. Dan ia yakin suatu saat nanti pencurinya akan datang sendiri kepadanya!
Dengan langkah gontai Pak Ahmad kembali ke rumahnya dengan pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Ia hanya bisa berdoa: Ya Allah, pandanglah usaha dan pengorbanan hamba yang sedikit ini, Ya Allah!
***
MALAM ITU TERASA begitu dingin. Jam menunjuk angka sembilan. Ketika Pak Ahmad tengah menata kain sarungnya dan bersiap-siap merebahkan badannya, terdengarlah suara pintu diketuk. Dengan malas ia bangkit.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Siapa?” sapa Pak Ahmad sambil membuka pintu.
“Saya Pak Ahmad. Nanang.”
Pintu pun terbuka. Nanang tertuduk.
“Masuk, Nang.”
Mereka berdua pun masuk dan duduk berhadapan di ruang tamu yang tidak begitu luas. Ketika Pak Ahmad bertanya apa maksud kedatangannya, Nanang malah tertunduk. Ia kelihatan gemetar. Mukanya juga pucat.
“Maafkan saya, Pak Ahmad,” Nanang terisak.
Pikiran Pak Ahmad langsung menuju pada pencuri michrophone di musala. Walaupun begitu ia tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ia berkata sangat hati-hati, “Atas masalah apa?”
“Ehm,” Nanang mengatur napasnya, “saya ingin memberi tahu siapa pencurinya, Pak Ahmad!”
Pak Ahmad terdiam, sambil manggut-manggut dan memasang muka serius, menanti kata-kata yang selanjutnya terucap dari bibir Nanang.
“Sayalah pencurinya Pak Ahmad!” kata Nanang lantang sambil menunggu reaksi Pak Ahmad.
Namun Pak Ahmad nampak biasa saja, tidak terkejut. Sejak melihat Nanang menunduk dan meminta maaf tadi, ia sudah menduga tentang hal ini.
“Sayalah pencurinya Pak Ahmad!” Nanang mengulangi perkataannya.
“Ingatkah Pak Ahmad, siapa yang mengusulkan untuk membuka musala 24 jam?”
“Ya, saya ingat.” jawab Pak Ahmad pendek.
“Saya mengusulkan itu agar saya dapat masuk kapan saja ke dalam musala. Selama itu saya terpaksa harus bersabar dan senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk mengambil michrophone!” kata Nanang sambil menatap mata Pak Ahmad yang begitu tenang.
“Sampai tiba saat Wandi datang selama beberapa hari.”
Pak Ahmad manggut-manggut saja mendengar cerita Nanang.
Nanang masih terus bercerita.
“Pada hari keempat, dari cerita Wandi saya tahu jika besoknya ia akan pergi ke luar kota. Saya berfikir, ketika itulah saat yang tepat untuk merekayasa seolah-olah Wandilah pencurinya. Sedangkan pada pencurian kedua, saya hanya berspekulasi.”
Mereka berdua terdiam sejenak. “Dua kali saya memanfaatkan Wandi.”
“Lantas apa yang membuatmu sadar dan mengaku?” kata Pak Ahmad, teringat pada umpan-umpannya. Ia masih menduga-duga apakah pencurinya adalah orang yang sama, yakni tentang pencuri michrophone dan siapakah yang telah menggasak uang-uangnya di kotak amal.
“Ada dua hal,” kata Nanang sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya. “Yang pertama karena taklim yang kita adakan, dan kedua karena pesan Pak Ahmad di dalam kotak amal!”
Pak Ahmad tersenyum.
“Maafkan saya, Pak Ahmad. Awalnya saya menganggap janji dan juga upaya Pak Ahmad untuk menangkap sekaligus menyadarkan pencurinya adalah tindakan yang bodoh!” Nanang menunggu reaksi Pak Ahmad. Namun, Pak Ahmad tidak marah.
“Hari-hari saya tertawa ketika memunguti rupiah demi rupiah yang Pak Ahmad sediakan dalam kotak amal. Sedangkan pesan-pesan Pak Ahmad dalam kertas itu saya abaikan saja. Namun lama kelamaan ada gejolak di hati saya Pak Ahmad, ketika saya menuruti apa isi pesan Pak Ahmad itu. Batin saya begitu tersiksa.”
“Hem, benar-benar bodoh!” Lirih Nanang menertawakan dirinya sendiri. “Hingga akhirnya saya sadar dan berjanji, sebisa mungkin akan saya ganti apa yang telah saya curi!” kata Nanang bersungguh-sungguh.
“Sudahlah. Sekarang masalah sudah jelas dan selesai. Pulanglah!”
“Tapi, Pak Ahmad…”
“Sudahlah. Lupakan saja!” Pak Ahmad mengibaskan tangannya pelan, seolah-olah mengusir lalat yang hinggap. “Yang penting tidak kamu ulangi lagi.”
“Kalau begitu syarat apa yang harus saya lakukan untuk menghapus kesalahan saya, Pak?”
Pak Ahmad nampak berpikir sejenak. “Begini saja. Mulai sekarang kamu harus membantu saya dengan bertugas sebagai penjaga kebersihan musala dan juga mengumandangkan adzan.”
“Terima kasih, Pak Ahmad. InsyaAllah saya bersedia,” Nanang tampak sangat gembira.
“Saya pamit Pak Ahmad,” Nanang bangkit dan memeluk Pak Ahmad.
Pak Ahmad mengantar Nanang sampai ke pintu.
“Satu lagi Pak Ahmad, jangan ceritakan ini kepada siapapun!”
“Baiklah.”
Nanang pun pulang disertai tatapan bahagia Pak Ahmad.
Pak Ahmad pun menutup pintu. Perasaan lega menggayuti hatinya. Rupanya kesabarannya telah membuahkan hasil. Pak Ahmad juga semakin yakin bahwa apa yang keluar dari Allah dan Rasulnya selalu benar, tidak ada keraguan sedikit pun, dimana pun, dan sampai kapan pun!
Tahukah anda, pesan apa yang selalu disertakan Pak Ahmad di dalam kotak amal itu? Isinya adalah: “PERBAIKI SALAT-SALAT KAMU!” Yah, Pak Ahmad sangat percaya bahwa salat yang benar akan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Pak Ahmad tercenung. Ia berfikir dan membayangkan seandainya ada lagi pencurian di musalanya, dengan apa lagi ia akan menyadarkannya? Apakah ia akan sanggup mengulangi metodenya lagi, yaitu dengan mengorbankan begitu banyak rupiah + pesan singkat? Entahlah. []
diSELESAIkan
pada 18-5-2011