Selembar Uang Seribu Rupiah di Saku Celana Saya
Suatu ketika di siang hari yang panas, saya tergeletak di lantai kamar kontrakan saya. Ketika itu untuk pertama kalinya saya benar-benar merasakan lapar yang teramat sangat. Bukan karena saya sedang berpuasa, namun memang tidak ada uang sedikitpun di kantong celana saya, kecuali selembar uang seribuan. Uang itu saya biarkan tersimpan baik-baik di dalam saku celana saya, rencananya untuk membeli roti dan air nanti malam. Ya, roti dan air, karena di daerah kontrakan saya uang seribu rupiah sudah tidak dapat digunakan untuk membeli nasi dan sayurnya. Sekarang nasi dan sayur paling rendah harganya sudah dua ribu rupiah. Untuk porsi setengah, hanya dikurang dengan selisih lima ratus rupiah saja.
Untuk siang ini saya akan berusaha menahan lapar yang saya rasakan semakin melilit dan meremas-remas perut saya. Saya sudah tidak memikirkan esok hari. Dalam benak saya, tidak ada salahnya saya belajar memasukkan keyakinan bahwa setiap makhluk yang hidup pasti dijamin rizkinya. Saya coba melihat pada seekor cicak yang melata di dinding, dia tidak dapat terbang. Namun makanan dia justeru binatang yang mampu terbang, yakni nyamuk. Atau pada seekor kucing yang tak mampu berenang. Jangankan berenang, sama air saja takut. Namun toh saya sering mendapati seekor kucing yang lahap memakan daging ikan. Bagaimana itu bisa terjadi?
Saya pun lantas teringat akan kisah-kisah para sahabat Rasul terdahulu. Para ashabus-suffah. Mereka adalah orang-orang pilihan, orang-orang yang dekat dengan Rasul. Namun dalam kehidupan mereka, mereka sering merasa lapar. Berhari-hari tanpa makan sedikitpun telah menjadi hal yang biasa pada diri mereka. Bahkan, mereka baru akan makan ketika datang sedekah. Oo, alangkah indahnya kehidupan mereka.
Mungkin Anda akan mengatakan, “Ah dasar orang malas, kalau tidak ada usaha mana mungkin akan datang rizki begitu saja? Memangnya makanan turun dari langit?” Jangan salah! Saya jelaskan, saya sudah berusaha maksimal sesuai kemampuan saya. Namun agaknya manusia hanya bisa berusaha, Tuhanlah yang menentukan hasilnya.
Lamunan saya tiba-tiba buyar ketika di depan pintu kontrakan saya berdiri seorang pemuda bertopi, berkaos warna hijau bertuliskan Rocker, dan bercelana jeans dengan lutut sebelah kanannya bolong. Saya –dan juga Anda pasti– sudah tahu maksud pemuda yang masih tegap itu datang, ketika melihatnya menenteng sebuah ukulele, sambil kentrang-kentrung memainkan sebuah lagu dangdut. Dia mau minta uang!
Saya berusaha untuk bangkit. Saya tidak mau membiarkan dia berlama-lama berdiri di depan pintu kontrakan saya yang terlupa tidak saya tutup itu. Bukannya saya merasa risih, atau membenci dia, tetapi semata-mata agar dia tidak kecewa, saat dia sudah terlanjur cukup lama memainkan sebuah lagu, namun ternyata akhirnya saya tidak memberinya uang. (Sedikit ngelantur, saya pernah dibentak dan dicaci maki seorang pengamen saat makan di sebuah warung gara-gara sudah sekian lama dia bernyanyi tapi saya tidak juga memberinya uang. Saat itu, selain saya tidak membawa uang kecil –maaf, saya kadang kurang rela memberi lima ratus rupiah kepada pengamen, biasanya dua atau tiga ratus rupiah-, saya mengira si pemilik warunglah yang akan memberi uang kepada si pengamen).
Maka saya stop nyanyian pemuda itu, “Maaf Mas, saat ini saya sedang tidak ada uang. Mungkin lain kali aja Mas bisa datang lagi ke sini.”
Saya berusaha untuk memperhalus omongan saya. Tapi nampaknya pemuda itu seolah-olah tidak mendengar(kan) kata-kata saya. Dia tetap cuek dan terus berdiri di depan saya, bahkan semakin keras saja bernyanyi lagu dangdut itu. Saya pun kembali mencoba bicara, “Maaf Mas, lain kali saja ya.”
Pemuda itu, saya rasa sungguh keterlaluan. Sekarang dia malah menyanyi dengan tekanan nada dan suaranya yang sungguh tidak mengenakkan. Apalagi saat dia tiba-tiba mengubah syair/lirik lagunya menjadi cemoohan dan kata-kata umpatan, seperti, “Mahasiswa kere, gondes pait!” Lalu sambil meludah dia pun berlalu.
Saya lantas mengelus dada. Ah, ternyata ada juga pengamen yang seperti itu. Saya membatin, seandainya saja saya berbadan tinggi dan tegap, mungkin dia tidak akan bersikap seperti tadi. Kenyataannya saya kecil dan kurus, terlalu gampang untuk diremehkan. Saya geleng-geleng kepala sambil menatapnya berjalan ke kontrakan sebelah. Saya sempat membatin pula, seandainya saja dia tahu bahwa saat ini saya sedang kelaparan, bahwa kondisi saya mungkin tidak lebih baik dari dia. Kata-kata seandainya-seandainya tiba-tiba saja meluncur deras dari mulut saya.
Saya pun cepat-cepat ingin segera menutup pintu. Namun, di muka seorang ibu berkerudung warna merah muda yang mulai lusuh, menggendong seorang bocah, perlahan-lahan mereka mendekati kontrakan saya. Saya –dan juga Anda pasti- sudah tahu maksud kedatangannya, ketika melihatnya menadahkan tangannya, sedangkan dari mulutnya keluar kata-kata memelas meminta sedikit rasa kasihan.
Saya berfikir jika ibu itu melihat saya menutup pintu, alangkah sakit hatinya dia. Dia pasti akan berfikiran bahwa saya tidak menyukai kedatangan dia. Akhirnya saya pun tidak jadi menutup pintu. Saya tertegun sejenak. Apa yang harus saya perbuat sekarang? Apakah saya mesti menjelaskan bahwa saya pun sama seperti dia yang kelaparan? Oh, saya sungguh bingung. Hati kecil saya tidak tega, apalagi melihat bocah itu yang mulai merengek dan hendak menangis. Saya tidak boleh membiarkan ibu itu pergi tanpa saya memberinya sesuatu. Saya teringat pernah diberi nasihat oleh teman saya, dia mengatakan, “Jika ada orang yang meminta-minta kepadamu, maka berilah dia sesuatu, apapun!”
Saya akhirnya masuk ke dalam untuk mengambil uang saya yang tinggal seribu rupiah itu. Saya tidak memikirkan lagi mau makan apa nanti malam, bukankah saya hendak belajar yakin bahwa tidak ada satu makhluk pun yang dibiarkan tidak diberi rizki oleh Allah?
Saya benar-benar mengambil uang saya. Dalam hati saya berharap apa yang saya lakukan ini benar-benar dicatat sebagai suatu amal kebaikan yang akan dibalas secara lebih baik. Namun sempat terbersit pula dalam hati saya, bahwa saya merasa saat ini diri saya telah melakukan suatu amal yang besar. Yah, bukankah seorang yang hanya mempunyai uang seribu rupiah lantas ia menyedekahan semuanya itu lebih baik daripada orang yang punya uang seratus ribu rupiah dan ia hanya menyedekahkan uangnya dua puluh ribu rupiah? Seratus persen dibanding dua puluh persen. Apalagi hal itu dilakukannya saat dia merasa sangat lapar dan sangat membutuhkan uang tersebut. Oh, betapa susahnya menjaga keikhlasan.
Ibu itu, begitu berterimakasihnya dia sehingga ia terlalu menunduk dan merendahkan dirinya di depan saya. Lantas mulutnya tak henti-hentinya berterimakasih dan melantunkan doa yang agak lumayan panjang untuk saya. Kemudian dia pun berjalan lagi ke kontrakan-kontrakan sebelah. Saya menatapnya dengan perasaan yang tidak menentu.
Sekarang saya benar-benar menutup pintu, sebelum terlambat dan ada lagi peminta-minta yang datang kepada saya. Apalagi saya melihat pengamen tadi dengan tergesa berbalik berjalan lagi ke kontrakan saya. Mungkin dia tadi melihat saya telah memberi uang kepada ibu pengemis tadi. Dan dia, pastilah berpikiran bahwa saya telah bohong kepadanya, dengan mengatakan bahwa saya sedang tidak ada uang sama sekali. Faktanya memang saya telah memberi uang kepada ibu beranak itu.
Entah apa yang hendak ia perbuat pada diri saya, saya tidak tahu. Saya hanya bisa bertanya kepada Tuhan, “Ya Allah, bagaimanakah Engkau akan memberi balasan kepada orang yang telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menyenangkan hati seorang ibu dan anaknya yang kelaparan?” []