Tahulah Kamu Membalas Budi
Panas menyengat, kulit-kulit gosong. Langit masih nampak putih. Tidak ada tanda-tanda akan hujan. Asap knalpot mengepul menghitamkan, menyesakkan nafas. Lapis-lapis aspal nampak berair meleleh, menguap, fatamorgana. Tidak ada burung yang berkeliaran. Deru mesin meruyak ketenangan, saling berpacu di arena kerasnya persaingan hidup.
Berhentilah di depanku sebuah bus kota. ”Hem, terlalu lama aku menunggu. Tapi tak apalah, yang penting sekarang aku telah dapat.”
Di dalam bus telah penuh sesak, terpaksa aku menegakkan kaki diantara himpitan manusia. “Agak geserlah sedikit,” aku berkata pada seorang pemuda yang di sampingku. Tapi ia hanya menatapku. Baiklah, aku yang mengalah. Pikirku aku masih lebih baik. Di sana seorang nenek tua pun bergelantungan. Ah, keterlaluan! Di sampingnya justeru terpajang anak muda yang mengantuk, tertidurlah ia. Lantas perlahan air liurnya menetes.
Bah! Apa lagi ini?! Asap rokok, uhuk uhuk! Beginian yang aku benci! Dia senang, aku tak senang. Nampaknya dia cuek saja, sialan! Rupanya ia ingin cepat mati. Tak jauh, seorang bayi menangis dalam gendongan ibunya, kepanasan. Sedang ibunya coba menenangkan, coba diberinya susu, namun percuma saja. Bayi itu malah semakin keras saja berteriak. Aku tidak tega melihatnya. Sedangkan orang-orang cuek. Tak ada perubahan.
Seorang kondektur masih muda berjalan ke belakang, perlahan menarik ongkos. Dengan tiket bus, satu-persatu. Sebagai seorang yang berpengalaman, aku dapat berkata, ”berhati-hatilah mengeluarkan dompet di tempat yang sesak seperti ini, banyak gali!” Memang sebaiknya siapkan ongkos sebelum naik tadi. Seperti aku ini.
Sampailah kondektur muda itu kepadaku. Namun ia tidak menarikku. Kutahan dia dan kusodorkan uang. Hey, uang itu tidak ia terima.
“Bawa saja, Bapak.”
Ia merangkul aku sejenak, lantas menyebutkan sebuah nama, “Beni, murid di Negeri dua.” Sambil berlalu. Kembali ia berjalan menarik ongkos penumpang.
Beni. Siapa yang kenal? Beni Sulaiman, temanku studi. Beni Ariati, aku pernah naksir dia. Beni, siapa lagi? Oh! Ternyata aku sudah mulai pikun. Ehm, tidak. Muridku terlalu banyak. Guru tidak hafal murid, itu biasa. Namun jika murid tidak hafal guru, tidaklah pantas. Keadaanku mungkin seperti itu juga. ”Hem, Beni, ya, Beni. Beni yang pintar atau yang bodoh? Beni yang pintar tidak mungkin jadi kondektur, pasti jadi dokter atau professor. Jadi direktur, itu baru bagus! Ya, seharusnya begitu, melampaui gurunya di sekolah menengah. Jangan jadi sampah!” aku bergumam.
Beni, ya, nama itulah. Pasti Beni yang dulu menantang aku berkelahi. Murid yang mencoba menuduh guru, dikiranya bersaing untuk mendapatkan siswi paling manis. Ai, dasar bocah ingusan! Tahukah, bagiku hal semacam itu rasanya tak pantas. Aku sudah punya anak dan istri, Laila dan Naila. Sekarang anakku pun sudah besar, dan mungkin sebesar kamu ini, Ben! Dan kini aku semakin tua, masih tampan seperti dulu. Tapi, sekarang selepas itu, tak ada lagi yang menuduh aku macam-macam. Aku tetap santun.
Jadilah sekarang kamu anak yang baik, Beni! Tahulah kamu membalas budi! Bisa jadi satu kebanggaan bagiku dan juga bagimu. Berkali-kali aku tidak pernah membayar ongkos angkutan. Murid-muridku dulu banyak jadi kernet dan kondektur, tak apalah. Uangku jadi tidak berkurang. Dan bagimu, kamu bisa beramal untuk gurumu, Ben! Halal, itu yang penting! Banggakan itu! Jangan jadi copet di angkutan!
***
“Bah, cepat! Tidak punya uang ya?” Puluhan biji kepala menoleh. Pak tua bertopi lebar kebingungan, merogoh-rogoh kantung celananya. Wajahnya nampak pucat. Kondektur Beni membentak. Pak tua bertopi lebar tak mampu memberi uang. Rupanya ia kecopetan. Puluhan pasang mata hanya melirik, entah menghakiminya seperti apa. Tatapan mata kasihan, seakan tak percaya, wajahnya sudah mirip copet pakai topi yang lebar, dianggap mengada-ada, dsb. Tapi aku kasihan. Bapakku yang sudah tua dulu pernah kecopetan. Beni, tahulah kamu bersopan-santun!
“Permisi.” Sungguh, sulitnya menyibak kerumunan orang di atas angkutan. “Tahulah kamu bersopan santun, Ben! Gunakanlah adab terhadap orang yang sudah renta! Uangku untuk pak tua bertopi lebar saja!” Namun Beni malah bersungut-sugut dan tanpa permisi kondektur Beni meninggalkan kami, tidak jadi menarik ongkos pak tua bertopi lebar. Uang yang kusodorkan pun, tak ia sentuh. ”Seperti ini bukanlah yang aku inginkan, Ben! Bertindaklah bijaksana, dan punyailah rasa belas kasihan. Berlakulah sebagai manusia!” Aku berkata agak keras.
Puluhan pasang mata menatapku heran, seperti melihat pahlawan kesiangan. Siapa yang peduli? Yang jelas saat ini aku sedang bimbang. Pak tua bertopi lebar membuka topinya, menampakkan wajahnya. Tatap matanya seolah menyadarkan aku dari mimpi, dan seulas senyum terulas di bibirnya yang kering memaksa aku terdiam sejenak. Rasanya aku mengenal tatapan mata itu, juga senyuman itu. Mirip sekali. Bapak Hartono Budi, guruku di sekolah dasar. Sering sekali ia memukulku dengan rotan dan menarik daun telingaku sampai mau putus rasanya. Disebabkan karena seringnya aku terlambat, itulah yang jadi pangkal persoalan.
Perlahan aku memperkenalkan diri, “Handoko Mustopha, murid di sekolah dasar, Bapak.” Namun sayang, Pak Tua bertopi lebar rupanya tidak mengenal aku. Hanya katanya, “Tahulah kamu membalas budi!” Dan aku hanya sanggup untuk mengangguk. Dalam hati aku berteriak, ”Beni, kuwalat kamu!” []