Ayam Titisan
Jika tidak ada sesuatu kejadian yang aneh atau luar biasa, artinya keadaan biasa-biasa saja, maka adalah suatu hal yang luar biasa jika Dimin dan Paini isterinya bangun sepagi itu. Ya, bangun saat hari masih dini adalah suatu hal yang teramat sulit untuk dilakukan oleh kedua suami isteri itu. Pada waktu-waktu seperti itu mereka biasanya masih terlelap tidur, ngorok tak sadarkan diri sehingga ketika selimut mereka tersingkap, mereka tak merasakan apa-apa. Atau ketika secara terang-terangan nyamuk-nyamuk nakal menyerbu betis-betis mereka yang sebenarnya kering dan kurang darah, mereka tetap bergeming. Begitulah hingga ayam jagonya berkokok dan bersiap mengais rejeki, Dimin dan Paini tetap diam saja. Bahkan kadang semakin erat saja mereka berpelukan. Barulah ketika terang sinar matahari memaksa masuk menerobos melalui celah-celah rumahnya, kedua suami isteri itu akan menggeliat-geliat dan terbangun dengan malas.
Namun, hari itu Dimin dan Paini telah terjaga ketika menjelang subuh daun telinga mereka menyentuh suara yang ganjil, mendadak ayam jago mereka berkokok sangat aneh. Dimana-mana ayam kalau berkokok paling bersuara kuk kuruyuuk. Tapi ayam jago Dimin dan Paini pagi itu malah berteriak Allahu Akbar!
Sambil memicingkan mata dan menajamkan telinga Dimin membangungkan Paini.
“He, bangun, kau dengar suara aneh?” Begitu tanya Dimin sambil terus mengguncang-guncang tubuh Paini. Paini yang juga heran karena tidak terbiasa bangun pagi, dan juga tidak terbiasa dibangunkan sepagi itu, akhirnya terbangun juga mendengar suara yang aneh itu.
“He, ini suara ayam atau manusia?”
“Ya jelas suara ayam, goblok! Mana ada manusia yang bersuara kayak ayam begitu?”
“Ya, tapi mana ada ayam yang bersuara seperti manusia begitu?”
Karena penasaran Dimin dan Paini pun beringsut turun dari amben dan menjumpai kandang ayam mereka yang ditaruh di dalam pawon. Setelah beberapa saat, ayam jago itu berkokok lagi. Allahu Akbar!
“Lha benar, kang. Memang ayam itu yang bersuara. Dia bisa bicara! Wah hebat, kita bisa jadi kaya, punya ayam yang bisa ngomong!”
“Sssstt! Jangan berisik! Nanti kedengaran orang-orang!” Dimin menyergap kata-kata isterinya. “Hari ini ayam jago ini jangan dilepas! Jaga dia baik-baik, jangan sampai ilang! Aku akan cari info dulu, berapa kira-kira harga ayam aneh semacam ini, dan siapa pula yang kira-kira mampu membelinya,” kata Dimin sambil bergegas bersiap-siap meneruskan tidurnya kembali, hingga nanti ketika sinar matahari memaksa masuk menerobos melalui celah-celah rumahnya, ia baru akan bangun.
Sedangkan Paini masih terus mengamati ayam jagonya itu dengan mata berbinar-binar. Ia sangat bahagia menatap ayam jagonya itu. Belum pernah Paini sebahagia itu menatap ayam jagonya.
***
Siang harinya sehabis mandi dan sarapan, Dimin langsung menemui Topo. Tujuannya tidak lain adalah menanyakan perihal ayam jago ajaibnya itu. Topo memang terkenal nyeleneh omongannya. Banyak orang-orang yang tidak sependapat dan tidak percaya dengan omongan Topo. Misalnya Darji. Ia dulu sebenarnya agak percaya omongan Topo, namun berbalik menjadi agak tidak percaya gara-gara Topo pernah ngomong kalau monyet itu susah membedakan wajah manusia, sebagaimana manusia susah membedakan wajah monyet! Tentu saja Darji mengkonfirmasi omongan itu kepada Topo, ah yang bener?
Nah, waktu itu Topo malah ngomong: ”Kalau ndak percaya coba saja Kang Darji jadi monyet, pasti susah mbedakan wajah manusia!”
Darji yang terlanjur tersinggung sampai saat ini nggak mau ngomong lagi dengan Topo. Tapi Topo cuek saja sambil terus berulah membuat guyonan-guyonan. Kecuekan Topo itulah yang rupanya membuat Dimin masih penasaran, antara agak percaya dan agak tidak percaya. Anehnya, setiap kali ada masalah Dimin mesti minta komentar Topo terlebih dulu. Termasuk soal ayam jago ajaibnya itu. Entah ia akan agak percaya atau agak tidak percaya, itu urusan belakangan!
“Po, kira-kira ada nggak ya ayam yang bisa ngomong seperti manusia?”
“Mungkin ada. Wong beo saja bisa ngomong kok, kenapa ayam ndak bisa?”
“Ah, kalau beo kan memang bisa bicara, tapi kalau ayam..?”
Baik Dimin dan Topo kemudian sama-sama diam.
“Jangan-jangan mboknya ayamku dulu kawin sama beo, jadi bisa ngomong. Tapi, kenapa bisa ngomong kok baru sekarang? Nggak dari dulu-dulu?” Dimin berguman sendiri, samar-samar, agak tidak jelas. Tapi Topo mendengarnya juga, dengan samar-samar, agak tidak jelas juga.
“Kang, sampeyan jangan-jangan punya ayam yang bisa ngomong ya?”
“Hush! Ngomong apa kamu? Aku cuma nanya kok, apa ada ayam yang bisa ngomong?”
“Alaah, jujur saja, kang. Aku tahu kok dari gelagat sampeyan.”
Dimin agak tergagap, lantas dengan sedikit berbisik, “Sebenarnya ini rahasia Po, tapi sama kamu aku terus terang. Tadi pagi ayamku berkokok sangat aneh. Masak ayamku berkokok bunyinya Allahu Akbar? Apa nggak hebat?”
“Wah, itu bukan hebat lagi kang. Tapi edan! Luar biasa! Ayam bisa ngomong aja sudah bikin geger kok, ini malah bisa nyebut pisan!”
“Nah, sekarang aku mau minta tolong ke kamu, Po. Kira-kira ayamku bisa laku berapa ya? Ada nggak ya, orang kaya yang mau membelinya? Ayo Po, jangan diam saja dong! Kasih saran, biar aku enggak tambah bingung.”
“Apa kita pamerkan saja, kang. Nanti setiap pengunjung yang nonton kita tarik ongkos? Gimana?”
“Aduh, Po! Kamu ini aku kira pinter kok ternyata sama gobloknya! Kamu ini ternyata kok berselera rendah! Aku nggak rela kalau ayamku cuma dipajang, lantas orang-orang yang pengin nonton cuma ditarik ongkos lima ribu? Aduuh, cilaka!”
“Ya nggak gitu, kang. Lha kalau nggak dipamerkan mana ada orang yang tau? Gini lho, kita pamerkan ayam sampeyan, sambil narik ongkos orang-orang yang pengen lihat kita juga tawarkan kepada mereka siapa yang mau beli ayam sampeyan. Siapa tahu dari sekian penonton, ada orang yang bener-bener kaya, konglomerat pengumpul benda-benda aneh, yang tertarik sama ayam sampeyan.”
Dimin sedikit berpikir. Kemudian terlihatlah ia mengangguk-angguk.
“Bener juga kamu, Po. Trus kira-kira ayamku bisa laku berapa ya? Terus kapan aku bisa mulai promosi?”
Sedangkan Topo, semakin merasa kalau dia itu pemuda yang otaknya paling encer. Terbukti usulannya diterima oleh Dimin.
“Tenang dulu, kang. Aja kesusu! Soal harga jangan khawatir. Kita cari hari yang tepat dulu nanti aku kabari kapan kita mulai pameran.”
“Lho, kok kita? Kan ayamku?”
“Ee lha dalah! Sampeyan kan ngajak aku kerja sama to kang. Aku juga dapat bagian dong! Istilahnya kita sudah jadi partner!”
“Lha iya, kamu dapat komisi 5 persen, ya?”
“Wah, nggak bisa segitu kang, kan aku juga yang punya ide? 25 persen!”
“Nggak bisa! Kegedean! Lha nanti aku dan Paini dapat apa?”
“Yo wis. 20 persen!”
“10 persen! Terakhir! Nggak mau yo wis”.
Topo akhirnya mengangguk tanda setuju.
Namun dalam hatinya terbesit niat jahat, ia berniat mau membawa kabur ayam ajaib milik Dimin tersebut. Ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Disabar-sabarkannya hatinya menanti saat bahagia itu.
***
“Gimana, kang? Sudah dapat orang kaya yang mau mbeli ayam kita? Aku sudah ndak sabar pengen punya rumah gedong, punya kulkas, punya mesin cuci sendiri. Duh, asyiknya. Terus nanti lantainya kita keramik yang warna apa ya kang?”
“Kamu ini ngomong apa? Belum apa-apa kok sudah ngelantur. Ini baru nyari hari yang tepat untuk pameran ayam ajaib, sambil nunggu barangkali ada konglomerat yang nonton dan kepincut mau membeli ayam kita.”
“Harganya berapa, kang? Terus kapan waktunya?”
“Soal itu belum kepikiran. Kita masih nunggu hari yang tepat.”
“Lha kelamaan kang, kalau kelamaan nunggu jangan-jangan nanti ayam kita keburu ilang saktinya.”
“Sudah jangan ribut. Kita tinggal nunggu instruksi.”
“Aduh, instruksi siapa lagi? Wong itu ayam kita kok, pake nunggu instruksi segala. Jangan-jangan sampeyan mendatangi Topo lagi ya?” tanya Paini penuh selidik.
“Pokoknya beres! Jangan banyak nanya! Kalau untung kan buat kamu juga!”
“Iya, tapi kalau sama Topo aku pokoknya ga percaya! Sudah kubilang dia itu enom-enoman gendeng, ora waras!”
Dimin diam saja. Sedangkan Paini pun segera berlalu, sambil mengumpat-umpat nama Topo. Namun berangkat dari niatnya mencoba menjadi seorang istri yang baik, ia bergegas. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti ia bereskan.
***
Malam tertutup mendung. Angin yang bertiup menusuk-nusuk tulang menjadikan siapa saja enggan keluar rumah, tidak terkecuali bagi mereka yang mendapat jatah ronda malam. Yakinlah bahwa malam itu tidak ada seorangpun yang keluar, kecuali untuk perkara yang maha penting. Misalnya untuk perkara yang tidak bisa ditunda seperti hendak melahirkan, pasti rela untuk menantang dingin berjalan tertatih-tatih ke dukun anak. Sedangkan untuk perkara seperti buang hajat, pada saat seperti itu orang-orang model kampungnya Dimin lebih memilih untuk mewadahinya di kantong plastik, besok pagi barulah kotoran itu dibuang di sungai. Iiih.
Tapi ternyata dugaan kita salah. Ada juga seorang yang nekad sanggup menerjang hawa dingin yang minta ampun itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda rombeng bernama Topo. Dengan berpakaian ala ninja, mirip para begal dalam film lawas macam Si Pitung, ia berjalan mengendap-endap menuju rumah Dimin. Matanya berkilat-kilat seperti elang hendak memangsa ayam. (Ya iya lah, dia memang sedang memangsa ayam milik Dimin). Langkahnya sangat hati-hati, agar tidak menginjak ranting-ranting atau daun-daun kering yang tunduk mengikuti harmoni alam jatuh berserakan. Nafasnya diaturnya sedemikian cermat, seolah-olah agar tidak terdengar karena dengan desah nafas yang berat akan mampu merusak alur skenario; akan berakibat fatal, yaitu si pemilik rumah pasti akan terbangun.
Beberapa langkah lagi ia akan dapat menyentuh pintu belakang rumah Dimin, lantas melesat membawa kabur barang ajaib itu. Begitulah pikirnya.
Sementara Dimin dan Paini, malam itu, rupanya masih melayang dengan lamunan-lamunan mereka. Hingga mereka sama-sama terdiam membisu seakan tidak ada kata-kata yang sanggup terlontar dari mulut untuk menggambarkan suasana hati mereka.
Namun, sebagai seorang perempuan, Paini memang terlalu terbawa perasaan. Dan oleh karena bawaannya yang cerewet, nampaknya ia tidak tahan untuk mengungkapkan kegelisahannya.
”Malam ini kok dingin ya, kang? Tidak seperti biasanya,” kata Paini sambil merapatkan badannya kepada suaminya. ”Perasaanku jadi nggak enak.”
”Nggak enak gimana? Biasanya juga begini.”
”Kalau aku sih nggak masalah, kang. Tapi bagaimana kalau ayam kita kedinginan? Bisa-bisa dia mati!”
Demi mendengar ayamnya sedang terancam, Dimin segera bangkit. Namun sesaat dia rebah lagi. ”Ah, ayam itu bukan ayam sembarangan. Pasti kuat kalau cuma dingin begini. Lagipula biasanya kan juga begini?” Sambil membelakangi Paini.
”Kang, justeru kalau ayam model begitu, biasanya ayam manja. Dikit-dikit sakit, gampang kena penyakit! Kayak anak raja dalam dongeng, karena dia istimewa, nggak pernah kerja, kerjanya cuma makan, jadi nggak punya tenaga sekuat kuli.”
”Perempuan cerewet! Di mana-mana pangeran itu kuat, gagah, kalau tempur sukar dikalahkan, pasti menang.” Dimin bersiap menata sarungnya kembali.
Paini terdiam. Namun ia mengalah dan bergegas juga untuk memastikan ayam ajaibnya baik-baik saja. Bagaimana pun Paini tidak mau kehilangan ayam itu, yang baru beberapa saat yang lalu telah menyebabkannya merasa memiliki rasa sayang. Perasaan yang selama bertahun-tahun hanya tercurah kepada Dimin seorang. Itupun kadang kurang terjaga konsistensinya, disebabkan sikap Dimin yang kadang membuat Paini menahan resah.
Paini melangkah ke belakang dengan ringan. Ia belum menyadari bahwa beberapa menit ke depan akan terjadi satu perkara yang akan mengubah hidupnya secara frontal....
***
”Hey, Maling!!! Jangan lari kamu!” teriak Paini memecah kerisauan malam.
Sedangkan tubuh berbungkus sarung ala ninja itu berhasil lolos membawa kabur ayam ajaib Dimin. Secepat kilat Paini mengambil balok yang ada di sampingnya dan melemparnya ke arah tubuh itu. Meleset! Dengan nafas cepat Paini mengambil parang yang tergantung di dekat pintu. Ia segera memburu sosok itu, dan sekali lagi ia melemparnya dengan parang yang berkilat-kilat diterpa cahaya malam yang tak begitu terang.
Crash!!!
”Aargh!”
Nampaknya mengena. Namun sosok itu segera lenyap ditelan kegelapan malam, meninggalkan kekecewaan dalam batin Paini. Kekecewaan karena ia tlah kehilangan miliknya yang paling berharga; kekecewaan pada dirinya sendiri yang tak berdaya memburu maling itu; dan tentu kekecewaan pada diri Dimin, yang dalam batinnya sama sekali tak ada gunanya!
Paini terduduk. Beberapa detik kemudian Dimin datang dengan tergopoh-gopoh. Nampaknya tanpa dijelaskan oleh Paini duduk perkaranya, Dimin telah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Maka meledaklah marahnya.
”Bangsat! Kubunuh kau, Topo!”
Sedangkan mata Paini berkilat-kilat melirik tajam ke arah Dimin. Benarlah dugaannya! Hatinya bagai tersayat-sayat, saat mendengar suaminya menyebut-nyebut nama Topo!
***
Fajar menyingsing. Jutaan ayam di seluruh jagat bersahut-sahutan berteriak mengawali pagi. Jantung Topo seakan berhenti berdetak!
”Celaka!”
Kalimat itu berkali-kali terlontar dari mulutnya. Saat ia menyadari telah melakukan kesalahan yang teramat fatal, mustahil untuk dimaafkan. Ia tak mampu membayangkan dirinya berhadapan dengan Dimin, yang pasti akan menghabisinya. Berkali-kali ia menyumpahi ketololan dirinya, memukul-mukul isi kepalanya yang dungu.
Sekarang ia kebingungan. Kemanakah kakinya hendak melangkah. Bagaimana pula ia hendak menjelaskan kepada Dimin, bahwa ayam yang ia bawa kabur, pagi itu berkokok sebagaimana ayam-ayam biasa![]