Melongok Obsesi Religius “Pertobatan Parmin”
Oleh Musyafak
Saban kelahiran adalah
ketelanjangan. Pada ketelanjangan, ada rasa malu yang minta ditutupi. Namun,
ketelanjangan yang sekonyong-konyong hadir ketika sesuatu lahir, adalah sekaligus membeberkan
bentuk diri yang asali dan primitif. Ketelanjangan semacam itu bisa kita
mafhumi sebagai modus pertama untuk menunjukkan eksistensi diri: kepolosan dan
kesahajaan. Lantas, pada tiap kelahiran, masing-masing kita menaruh pelbagai
harapan, misal pertumbuhkembangan.
Pun begitu, suatu karya sastra
lahir memamerkan bentuk dan isinya di hadirat publik. Setengah telanjang atau
sepenuhnya—yang meminta ditelanjangi berulang. Sebab, pada karya sastra, selalu
ada hal-ihwal yang terselubung, baik makna maupun “kemungkinan lain” dari
narasi yang barangkali terus berkembang ketika kita berpayah membaca dan
memikirkannya.
Karenanya, kelahiran karya sastra
bukan sesuatu yang sederhana. Ia berada dalam jalinan struktur yang kompleks,
sejak proses penciptaan hingga karya itu bermuka-muka dengan pembaca.
Sebagaimana dinyatakan H M Abrams, pada dasarnya karya sastra menampilkan empat
sisi: pengarang, masyarakat, teks dan pembaca. Selain itu, seperti pandangan
Kuntowijoyo, karya sastra merupakan produk dari strukturisasi pengalaman, imajinasi
dan nilai.
***
Kehadiran buku kumpulan cerpen
Pertobatan Parmin anggitan M Rifan Fajrin patut dirayakan. Jika pengarang sudah
merayakan karya itu pada tataran penciptaan,
kita sebagai pembaca laik merayakannya dengan kerja membaca maupun
“menyikapi” teks.
Pertobatan Parmin, sejak dari
judulnya, mewartakan aspek religiusitas. “Pertobatan” menjadi lema yang merujuk
pada gerak spiritualitas, gerak jiwa dari kegelapan menuju kebenderangan. Dan
“Parmin” membetikkan kabar tentang subyek yang eksis di sebuah latar-ruang
nonurban, dunia desa, yang bersahaja dengan segala kompleksitas problematiknya.
Tentunya, rajutan kisah di
dalamnya adalah hasil dari kerja strukturisasi pengalaman, imajinasi, dan
nilai. Meski, telisik lebih jauh ke cerpen-cerpen di dalamnya, nuansanya cukup
kentara sebagai model strukturisasi pengalaman dan nilai yang diolah secara
imajinatif. Pengalaman, di sini, tidak melulu laku hidup penulis sendiri,
tetapi juga hal-ihwal yang dialami atau ditemui orang lain, yang lantas dicerap
dan dihayati sang pengarang dengan kepenuhan kesadaran serta pandangan dunia
(world view). Sementara, imajinasi itu sendiri seolah tergeming di tengah
gairah kecerewetan menyajikan pengalaman dan nilai sebagai realitas fiksional
yang diusung.
Religiusitas, berikut nilai-nilai
moral yang berabstraksi di dalam interaksi sosial masyarakat, jika itu pantas
disebut sebagai obsesi sadar sang pengarang, dapat ditilik di dalam cerpen
“Kakek Ali”, “Ikatan Hati”, “Selembar Uang Seribu Rupiah”, “MenyadarkanPencuri”, dan “Pertobatan Parmin”. “Pertobatan Parmin”, misalnya, mengisahkan
sosok Parmin yang berikhtiar mentas dari dunia kelam sebagai tukang palak,
preman, hobi mabuk dan main perempuan. Kisah ini lebih memusatkan narasi di
aras ketegangan sosial setelah Parmin menjalani pertobatan, ketimbang
menyuarakan kegentingan spiritualnya. Di sana, terpapar suatu pradoks
pertobatan manusia yang ternyata menuai olok-olok dari sesamanya. Begitulah
pada akhirnya Parmin kembali pada jalan kegelapan sebab agama tak bisa menjamin
kehidupan yang menenteramkan. Bahkan, ironisnya, orang-orang beragama di
sekitar Parmin malah bersikap skeptis-pesimistis terhadap perubahan radikal
yang dilakukannya. Di balik penyajian struktur narasi yang sederhana, yakni
strategi pengaluran maju nan linier, paling kurang, cerpen tersebut melakukan
kritik terhadap laku beragama manusia yang senantiasa gentar memandang
perubahan ataupun pencapaian orang lain.
Cerpen “Selembar Uang Seribu
Rupiah” juga membeberkan suatu ironi. Kemiskinan, sebagai problem sosial,
dilarung ke dalam narasi yang menghadap-hadapkan antara manusia dengan
Tuhannya. Alkisah, tokoh Saya adalah seorang mahasiswa kere. Di kontrakannya, ia hanya memiliki selembar
uang seribu rupiah, yang mustahil bisa menebus laparnya. Situasi kian dilematis,
bahkan kontradiktif, ketika si tokoh didatangi seorang pengemis perempuan yang
menggendong bocah, menghiba padanya. Ibarat lilin yang menerangi sekeliling
namun membakar diri sendiri, si tokoh memberikan selembar uang miliknya, dan
satu-satunya itu. Cerpen ini diakhiri dengan logika interogatif si tokoh
terhadap kuasa Tuhan, “Ya Allah, bagaimana engkau memberi balasan terhadap
seseorang yang telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menyenangkan hati
seorang Ibu dan anaknya yang kelaparan?”
Diusut lebih dalam, cerpen
tersebut mencerminkan suatu laku kedermawanan manusia yang ambigu. Sedekah
seolah musti “digemborkan” pada Tuhan agar berbalas imbalan. Kuasa Tuhan, di
sini, dijatuhkan pada logika kausalitas yang matematis: kalau saya memberi maka
Ia membalas. Begitu, memang, nalar keberagamaan yang menyekap kesadaran manusia
yang secara tak sadar memosisikan Tuhan dalam relasi ekonomistik-materialistik.
Pun, ketika mencermati ujaran si tokoh, yakni pengorbanan diri demi
menyenangkan orang lain, menandakan perbuatan kedermawanan itu merupakan
ejawantahan dari logika utilitarianisme yang mendasarkan segala perbuatan baik
pada prinsip-prinsip fungsional atau keberfaedahan. Kedermawanan, juga kebaikan
secara lebih luas, seyogyanya dipandang sebagai bentuk keutamaan moral. Ketika
seseorang mendermakan uang kepada pengemis, misalnya, mustinya tindakan
kedermawanan itu diinsyafi sebagai laku keutamaan moral itu sendiri. Bukan
dikarenakan dorongan-dorongan emotif seperti rasa kasihan dan sentimen, apalagi
paksaan dari luar. Kebaikan mustinya dilaksanakan karena ia semata-mata
kebaikan atau keutamaan. Sebab, absennya pamrih dalam suatu tindakan,
meniscayakan suatu kebebasan, di mana tindakan murni berawal dari dalam diri,
dan semata-mata disadari sebagai wujud tanggungjawab moral itu sendiri.
Pertobatan Parmin menjadi
himpunan cerita yang kuyup dengan realitas sosial. Faktualitas kehidupan
dinarasikan panjang lebar untuk memotret sisi kehidupan dengan detail cerita
serta pelbagai konflik coba dibangun di dalamnya. Itu bisa ditelisik dalam
cerpen “Suatu Hari di Pasar Tradisional”, “Romli dan Juleha”, “Cerita dariSandera”, “Tahulah Kamu Membalas Budi”, dan sebagainya. Ada beberapa cerpen
yang tampaknya bertolak dari kerja mengelaborasi imajinasi, seperti “GadisPelangi”, “Pelajaran Pertama tentang Cinta buat Kosim”, “Lagu Cinta untuk Lara”
dan “Ayam Titisan”. Beberapa cerpen itu seolah membocorkan kegundahan imajinasi
pengarang, semacam penggalian imajinasi yang terus menuntut diparipurnakan.
Di buku kumpulan cerpen ini, tokoh
bernama Parmin hadir berulang. Empat cerpen memerikan Parmin, yaitu “Suatu Hari
di Pasar Tradisional”, “Pertobatan Parmin”, “Penjelasan Parmin” dan “Tamu SiParmin”. Namun, di masing-masing cerpen, Parmin hadir sebagai sosok yang
berlainan. Saban Parmin berada dan bergulat di dalam latar dan kepelikan hidup
yang berbeda. Parmin tidak terangkat menjadi simbol yang menghadirkan subyek
secara khas. Penghadiran tokoh Parmin mengesankan tidak munculnya gagasan yang
koheren dan konsisten untuk memerankan karakter tertentu yang bisa ditahbis
sebagai model subyek di dalam dunia rekaan. Terkesan, pengarang menokohkan
Parmin di beberapa cerpen tersebut dengan tujuan sebatas mengantarkan pembaca
pada cerita dan pesannya. Lain kata, tak tampak ada gagasan yang kuat mengapa
tokoh-tokoh yang kerap digarap itu bernama Parmin. Keutuhan karakter
Parmin di beberapa cerpen tersebut
nihil, sebab perkembangan karakternya tidak tergarap sebagai kepaduan.
Sehingga, barangkali, nama tokoh mudah saja diganti, misal Pardi atau Parto—mungkin
juga semua tokoh laki-laki namanya diseragamkan menjadi Parmin.
***
Karya sastra tak lahir di ruang
kedap nan hampa. Begitu pula Pertobatan Parmin, tentunya bertolak dari gagasan
sang pengarang di mana ia hidup-berada di dalam tegangan antara diri dan
kenyataan di sekelilingnya. Keberdirian pengarang sebagai subyek dan kenyataan
yang bergerak dinamis di sekelilingnya memolakan suatu fakta kemanusiaan yang
khas.
Sebagaimana pandangan
strukturalisme genetik ala Lucien Goldmann, karya sastra merupakan sebuah
struktur yang memerikan fakta kemanusiaan. Struktur tersebut bersifat dinamis
dan merupakan produk dari proses sejarah yang senantiasa bergerak, sekaligus
proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati suatu masyarakat.
Pengarang mengambil bagian dengan cara merespon situasi di dalam diri maupun
sekitarnya, dengan tujuan merekonstruksi situasi agar selaras bagi
aspirasi-aspirasi subjek di dalam masyarakat maupun aspirasi pengarang itu
sendiri. Di sinilah kepentingan pengarang, sebagai bagian dari subyek kolektif,
berikhtiar membangun keseimbangan yang lebih baik dalam relasinya dengan dunia
sekitar.
Pandangan dunia (world view) sang
pengarang menjadi penentu bagi upaya merekonstruksi situasi secara imajinatif
di dalam karya sastra. Pandangan dunia sang pengarang itulah yang berhubungan
langsung dengan struktur atau realitas masyarakat. Sehingga, karya sastra yang
tercipta sejatinya bukan sekadar refleksi atau cerminan struktur sosial yang
ada. Melainkan, karya sastra dan realitas masyarakat memiliki kesejajaran
struktural.
Di dalam Pertobatan Parmin,
kepentingan membangun keseimbangan antara diri pengarang dengan dunia di
luarnya dilakukan dengan cara “propaganda” pesan-pesan yang membentuk suatu
nilai. Pengarang seolah mendaku diri sebagai pewarta nilai, yakni hal-ihwal
dianggap atau dimafhumi sebagai piranti untuk menyempurnakan manusia sesuai
hakikatnya. Kecurigaan yang muncul atas cerpen-cepen di dalam adalah
kecenderungan pengejaran yang seolah mati-matian terarah pada pesan dan nilai.
Orientasi macam ini yang barangkali membuat pengarang tampak “kedodoran” dalam
mengatasi ritme cerita dan membangun konflik. Pengaluran di setiap cerita
terbaca cukup seragam: bergerak linier, maju dan teramat runtut. Namun,
begitulah Pertobatan Parmin hadir dengan kesahajaan, mulai tema, ide cerita dan
penggarapan struktur narasinya.
Pada akhirnya, masing-masing kita
berhak membaca sekaligus menilainya. Dan, pengarang tak sepenuhnya mati, bukan? []
Musyafak, essais, pegiat di Open
Mind Community Semarang
Sumber pustaka:
1. M Rifan Fajrin, Pertobatan
Parmin, Semarang: Cipta Prima Nusantara Semarang, 2011.
2. Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya
dan Dunianya, Jakarta: Grasindo, 2007.
3. Faruk, Pengantar Sosiologi
Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
[Terima Kasih yang mendalam, Kang Syafak....]