Enam Belas Tahun Kemudian
1
Maret 1998
Kau tahu, kenapa orang lebih menyukai duduk
di gerbong pertama?
Supaya lebih cepat sampai daripada gerbong
terakhir! Ha-ha-ha.
Dua anak
kecil itu cekikikan. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Hampir setiap
hari, sepulang sekolah, mereka menghabiskan waktu hingga sore hari di dalam
kereta lokomotif CC 5029 buatan Swiss, di halaman Museum Kereta Api Ambarawa.
Jika kalian
bertanya, apa yang mereka lakukan di sana, jawabanya adalah tak ada yang
dilakukan, selain hanya membunuh waktu dengan bergurau atau bercerita tentang
kegiatannya masing-masing di sekolah.
“Astuti,
tutup matamu sebentar!” Basworo meminta, dan sesaat setelah mengatakan itu, dia
terkekeh. Sungguh jenaka. Astuti menurut, sambil menebak di dalam hati, kejutan
apa yang akan disampaikan oleh Basworo. Basworo membuka jumper yang daritadi
menutupi badan dan kepalanya. “Sekarang bukalah matamu, dan berjanjilah bahwa
kau tidak akan terkejut.”
Astuti
mengangguk. “Sekarang?”
“Ya,
bukalah!”
Perlahan Astuti
membuka matanya. Meskipun sudah berjanji, Astuti tetap saja terkejut. “Basworo,
ada apa dengan rambutmu?”
“Ha-ha-ha! Si
brengsek kesiswaan yang telah
mencukurnya. Dia benci rambut murid-muridnya melebihi mata dan telinga, hanya
karena, mungkin dia iri kepadaku karena dia botak.” Basworo terkekeh.
Tawa Astuti
meledak. Namun entahlah, melihat wajah Basworo yang demikian kacau, Astuti
masih ma(mp)u untuk mengelus pipi Basworo.
“Kau tahu, jika esok hari kau berangkat ke sekolah dengan rambut begini,
mungkin orang-orang akan berkata, ‘Kaulah satu-satunya orang gila yang pergi ke
sekolah’, Basworo!” Astuti masih tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang
berjejer rapi.
Basworo tidak
mau tertawa, pura-pura jengkel, dan mendekatkan wajahnya kepada Astuti. Dia
berbisik, “Dan kau tahu, Astuti, orang-orang gila semuanya memiliki perut yang
selalu lapar meskipun mereka tidak mengatakannya.”
Astuti tahu
maksud Basworo. Astuti membuka tas yang dia taruh di sampingnya lalu
mengeluarkan bekal. “Nah, makanlah, Basworo.”
“Terima
kasih,” kata Basworo, bergegas membuka bekal Astuti.
“Orang gila
tak perlu mengucapkan terima kasih ketika ada orang yang memberinya makan.”
“Sial!
Ha-ha-ha.”
Hampir setiap
hari, Astuti membawa bekal ke sekolah. Dan hampir setiap hari pula Astuti
membiarkan Basworo menghabiskan bekalnya itu di dalam lokomotif kereta. Basworo
tidak pernah membawa bekal ke sekolah. Berbeda dengan Astuti, Ibu Basworo sudah
tiada. Di rumah Basworo tinggal berdua saja dengan Lucy, kakak perempuannya.
Namun Lucy tidak pernah sempat membuatkannya sarapan. Lucy seorang yang sangat sibuk. Dia jarang berada di rumah. Basworo
hanya tahu, lebih sering kakaknya berangkat kerja
ketika hari mulai petang. Biasanya dia keluar rumah dengan mengenakan jaket
tebal sampai di lututnya, dan mengenakan rok dan kacamata hitam. Seksi, kata
orang-orang.
Basworo makan
dengan lahap. Dia begitu asyik menggigit rendang. Dari wajahnya yang berkeringat
dan memerah, kita semua tahu bahwa Basworo merasa kepedasan. Sementara Astuti
terus memperhatikan Basworo. “Aku senang melihatmu makan,” katanya, lembut.
Basworo tidak
menjawab. Dia hanya memberi isyarat pertanyaan, apakah selain membawa makanan, Astuti
juga membawa air minum? Sebenarnya Basworo tak perlu bertanya karena beberapa
detik kemudian Astuti tersenyum dan mengeluarkan botol air minumnya.
Basworo
mengeluarkan rokok setelah dia mengatakan terima kasih sekali lagi kepada Astuti
untuk makan siangnya. Untuk kesekian kalinya, Astuti menunjukkan sikap kurang
senang Basworo merokok. Basworo tahu, tapi—seperti yang sudah-sudah—dia cuek saja
dan terus menyulut rokoknya. Jika orang-orang melihat perawakan Basworo,
terlihatlah itu kurang pantas,
apalagi Basworo masih berseragam sekolah. Bagaimana pun Basworo hanyalah—masih
seorang bocah, tetapi cara dia mengisap rokoknya telah mengabarkan bahwa dia
telah lama akrab dengan benda itu. Basworo bahkan mengisap semua asap itu ke
dalam dadanya, menahannya agak lama, baru menghembuskannya. Acapkali dia
membuat lingkaran kecil asap yang kemudian membesar dan buyar oleh terpaan
angin.
“Basworo,” Astuti
berbisik, “sepertinya aku ingin kau membiarkanku merokok.” Astuti menyadari
ucapannya, dia tidak benar-benar ingin merokok. Dia bermaksud menohok Basworo—Basworo
yang katanya sangat mencintai Astuti, apakah Basworo akan benar-benar
membiarkan Astuti mengisap asap bedebah itu, sekaligus melemparkan Astuti dari
gadis baik-baik menjadi gadis yang sedikit
nakal? Astuti ingat, ketika Suci, bibinya, geram terhadap Dennis—putra semata
wayangnya yang selalu pulang dalam keadaan mabuk. Oleh karena itu, Suci membeli
beberapa botol minuman keras dan di depan Dennis, dia menggertak, dia mencoba
meminum minuman setan itu. Dennis menangis, bahkan dalam keadaan dirinya
sendiri mabuk pun, dia tak membiarkan ibunya mabuk. Biarkan aku sendirian di lembah nista, kalian tak usah ikut-ikutan
berkubang dosa, katanya.
Namun, di
luar perkiraan Astuti, tentu saja, Basworo mengeluarkan lagi rokok dan
menyodorkannya kepada Astuti. “Ambillah, Astuti. Aku mengambilnya dari dalam
tas Lucy, dia tak akan tahu.”
Astuti
menggeleng. “Tidak, terima kasih,” jawab Astuti, nyaris berbisik, lelah dan putus
asa.
***
Suatu hari,
seperti biasa, sepulang sekolah Basworo dan Astuti menghabiskan waktu hingga
sore hari di dalam lokomotif CC 5029 buatan Swiss, di halaman Museum Kereta Api
Ambarawa.
“Astuti,”
kata Basworo memecah sunyi, sambil menikmati bekal Astuti, “hanya kau. Ya,
hanya kau, bukan Lucy, yang memperhatikan aku.”
“Basworo....”
Astuti tak mau mendengar pujian Basworo.
Basworo
berhenti mengunyah. Dia memandang Astuti, keningnya yang lembut, bola matanya
yang jernih, dan bibir tipisnya yang apabila tersenyum akan menampakkan giginya
yang berjejer rapi. “Apakah ibumu tahu, bahwa kau selalu terlambat pulang
karena kau selalu bersamaku?” tanya Basworo, penuh selidik.
“Aku bilang
kepada Ibu, bahwa aku belajar les.”
“Hah? Kau
bilang pada ibumu, kau belajar les kepadaku?”
“Bodoh! Tentu
saja tidak.”
Butuh sedikit
waktu bagi Basworo untuk mencerna kata-kata Astuti. Dia lalu tersadar bahwa
beberapa detik yang lalu dia sungguh bodoh. “Kau berbohong?” pada akhirnya dia
bertanya, setelah menyadari bahwa selama ini Astuti berbohong. Dia melahap
nasi.
“Mungkin. Aku
belajar les matematika, aku selalu bilang begitu.” Astuti nampak enggan
menjawab. Mungkin dia tak ingin menjelaskan perbuatan buruk yang dia lakukan:
membohongi ibunya.
Basworo
tampak berpikir. Keningnya sedikit berkerinyut. “Bagaimana kalau...akhirnya
ibumu tahu, bahwa kau tidak pernah belajar?”
“Kau tahu,
siapa yang terpandai di sekolah ini pada pelajaran matematika, Basworo,” kata Astuti,
sangat santai, dan sekitas terdengar sombong.
Basworo tahu,
Astuti pandai matematika, bahkan mungkin terpandai di kota ini. Basworo sering
takjub, Astuti bisa mengopreasikan perkalian bilangan belasan atau puluhan
hanya dengan mengawang-awang saja.
“Sudahlah,” Astuti
menepiskan tangannya.
Basworo meneruskan
makan siangnya. Ketika dia hampir selesai, Astuti terlihat sibuk menuliskan
sesuatu di dinding lokomotif.
“Basworo,
lihatlah!”
“Oh!” Mata Basworo
berbinar-binar. Astuti tersenyum kecil, memperlihatkan gigi-giginya yang putih
dan berjejer rapi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa mereka sama-sama terpaku
menatap dinding lokomotif.
Astuti ♥ Basworo
Basworo ♥ Astuti
Mereka
terdiam sesaat dan kemudian saling memandang. Basworo masih terbengong. Astuti
tersenyum dan mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Basworo. Seperti
diingatkan akan sesuatu, Basworo segera membuka tasnya. Dia mengeluarkan sepasang
boneka kayu seukuran jempol tangannya. Astuti melihat dan mengerti benda yang
dibawa oleh Basworo, tetapi dari mulut mungilnya tetap meluncur pertanyaan.
“Apa itu, Basworo?”
Basworo tidak
menjawab. Dia malah meminta minum kepada Astuti.
“Dari mana
kau mendapatkan benda itu, Basworo? Apakah juga dari dalam tas Lucy?” tanya Astuti.
“Jangan tanya
aku! Aku tahu, kau pasti tidak percaya kalau aku mengatakan bahwa aku yang
membuatnya,” tukas Basworo.
“Ya, aku
memang meragukannya,” sahut Astuti, “memangnya kamu bisa? Heheh,” Astuti
terkekeh.
Basworo tidak
menghiraukan gurauan Astuti. Segera dia menggandeng tangan Astuti, turun dari
lokomotif, menuju bagian selatan museum. Di dekat tanaman pucuk-pucuk merah
itu, mereka berhenti. Astuti masih menebak apa yang hendak dilakukan oleh Basworo
sebelum pada akhirnya Basworo berkata, “Mari kita tanam sepasang boneka ini.”
Dan ketika Astuti belum sempat bertanya untuk apa, Basworo meneruskan berkata,
“Agar kita tetap bersatu selamanya, Astuti. Ya, selamanya.”
Mereka saling tersenyum, tanpa pelukan, hanya
bergandengan tangan. Sementara angin sore semakin dingin.
2
November 2009
Bagi pemuda
seperti Basworo, apa artinya masa depan? Telah lama, sejak lulus dari sekolah
dasar, dia bahkan merasa tak berhak pada masa depan yang cerah. Basworo tahu,
dia nyaris sebatang kara. Apa gunanya Lucy? Berlebihankah Basworo jika berharap
Lucy dapat berperan rangkap, berperan sebagai kakak yang menggantikan peran
orangtuanya—sebagai ayah sekaligus ibu baginya? Ya, tentu saja berlebihan.
Sejak dini Basworo mengerti, Lucy tak lebih hanyalah gadis enam tahun lebih tua
dari dirinya yang kebetulan juga
tinggal serumah dengan dirinya. Tak ada tanda-tanda dalam diri Lucy, baik
dengan sikap dan perbuatannya, yang mencerminkan kasih sayang kepada Basworo
meskipun sesekali Lucy memang memberikan uang jajan kepada Basworo.
Satu-satunya
manfaat memiliki Lucy, adalah ketika orangtua Basworo diharuskan datang ke
sekolah untuk berbicara perihal bagaimana Basworo di sekolah. Lucy tidak perlu
membayar biaya sekolah Basworo karena Ana, guru Basworo, telah mengurus semua
beasiswa untuk Basworo. Apabila Lucy harus menemui Ana di sekolah,
paling-paling dia hanya mampu berkata, Terima
kasih atas kebaikan Ibu, kami mohon bimbingan Ibu. Sungguh kami tak bisa
berbuat banyak. Begitulah, kata kami
yang diucapkan Lucy sedikit pun tidak memiliki arti, sebab kenyataannya Lucy
harus berkata saya. Itu saja, tidak
selalu panggilan Ana ke sekolah bisa dipenuhi oleh Lucy. Basworo pun hanya
menjawab tidak tahu ketika Ana
bertanya kenapa Lucy tidak datang.
Ketika Lucy
tidak hadir dalam upacara perpisahan dan perayaan kelulusan Basworo di sekolah,
Basworo hanya bisa mengangkat bahu, atau menggelengkan kepala saat Ana
menanyainya. Sebenarnya dia ingin mengatakan kepada semua gurunya, bahwa dia
tak tahu apa-apa tentang Lucy, kecuali... kecuali bahwa Lucy telah pergi entah
ke mana, kira-kira satu bulan sebelum Basworo menempuh ujian akhir. Meskipun Basworo
tidak pernah benar-benar merasa memiliki seorang Lucy, tetap saja dia merasa
kehilangan Lucy, apalagi ketika dia melihat semua temannya datang ke sekolah
dengan didampingi oleh, minimal, satu anggota keluarganya. Untuk pertama
kalinya, Basworo merasa benar-benar seorang diri.
Namun,
bagaimana pun, kesedihan Basworo barulah sampai pada puncaknya saat Astuti
berbisik padanya, “Aku akan meneruskan sekolahku di Semarang. Bagaimana denganmu,
Basworo?” Basworo tak mampu berkata, bahkan angan-angannya pun tak mampu
menjawab. Sekali lagi, Basworo menggelengkan kepala. Pemberitahuan Astuti
tentang rencananya pindah ke Semarang saja telah menghancurkan hati Basworo,
terlebih saat Astuti, seperti tidak pernah tahu keadaan Basworo, justru
bertanya rencana Basworo setelah lulus. Bisakah bocah seperti Basworo
merencanakan masa depannya? Entahlah, yang pasti, Basworo menyadari bahwa matanya
perlahan-lahan mulai basah.
***
Sebelas tahun
telah berlalu. Untuk memenuhi kebutuhannya, Basworo memaksakan diri untuk
bekerja. Dia pernah ikut Habib, kawan yang pada awalnya tidak diakrabinya,
mencoba peruntungan menjadi sales
kaligrafi kuningan ke Lampung. Namun, pekerjaan itu sebentar saja dijalani Basworo.
Basworo menyadari, dirinya tak pandai berdagang.
Kali ini, Basworo
bekerja ikut seseorang, namanya Agung, membuat kerajinan kuda lumping di
Katang, Tambakboyo Ambarawa. Pada dua bulan pertama Basworo bekerja di sana,
dia nyaris menyerah. Tetapi Agung dengan telaten mengajari dan menyemangatinya
untuk terus bertahan. Nyatanya Basworo bertahan hingga kini. Dengan uang
gajinya, Basworo membeli HP, yang atas saran Agung, bisa juga digunakan untuk
menjelajah internet. Bukan bermaksud apa-apa, Agung mengatakan, “Dengan
internet kita bisa menjelajah ke the borderless world, dan yang lebih penting
adalah untuk membangun relasi.”
Sementara, Basworo
masih bertahan hidup seorang diri di rumah kecilnya, rumah yang tidak banyak
berubah. Di meja kamarnya, di pojok ruangan itu, masih ada fota Lucy berukuran
4R yang dipigura, foto yang warna dan gambarnya terang dan belum pudar meskipun
bingkainya sedikit berdebu. Acapkali terbersit dalam pikirannya untuk mencari
Lucy, tetapi selalu saja, pikiran itu cepat dia tepis sendiri. Dia sudah
terbiasa hidup sendirian.
Suatu malam,
tiba-tiba saja dia teringat kepada Lucy, sedang apa dia sekarang. Apakah Lucy
masih hidup. Jika Lucy masih hidup, di mana dia sekarang? Apakah Lucy hidup di
tempat yang penuh dengan kesenangan, ataukah justru Lucy sedang tersesat di
belantara kehidupan yang keras? Basworo teringat kata-kata Agung, benarkah
internet menjanjikan dunia yang tak terbatas? Maka Basworo, seperti tersadar
akan sesuatu, dia mengetik di menu search
pada akun Facebook-nya: Lucy Rahma’ani. Basworo gusar, dia menemukan beberapa
nama dalam hasil pencariannya. Dia membuka profil mereka satu per satu. Namun,
pada akhirnya dia sedikit kecewa, dia tak menemukan Lucy yang dia maksud, Lucy
yang bagaimana pun dia adalah kakaknya.
Heh, seperti
teringat sesuatu, kemudian dia mengetik lagi sebuah nama. Dada Basworo
berdesir. Kalian pasti tahu, nama yang diketik oleh Basworo. Ya, Basworo
mengetik nama: Astuti. Hampir saja Basworo berteriak, ketika pada nama Astuti, dia menemukan kekasihnya. Ya, kekasih yang selama ini dia cari. Basworo meyakinkan diri hingga
betul-betul yakin, bahwa dialah Astuti. Meskipun Basworo tahu bahwa Astuti
tidak begitu aktif di Facebook, namun rupanya Astuti telah banyak mengunggah
foto-foto di akunnya. Akhirnya, secepat kilat Basworo mencuri-curi—tanpa
permisi menyalin semua foto Astuti di akun tersebut. Friend request send.
Kau tahu, kenapa kereta api selalu kembali
ke stasiun?
Karena mereka berdua memang berjodoh!
Ha-ha-ha.
Basworo
merasakan bahwa dadanya membuncah. Lokomotif CC 5029 buatan Schweizerische Lokomotiv und
Maschinenfabrik, Swiss, Astuti ♥ Basworo, Basworo ♥ Astuti, pucuk-pucuk merah, dan dua boneka kayu; tanpa bisa Basworo
menahannya, kenangan-kenangan tentang mereka kembali hadir. Seperti mimpi,
malam itu Basworo merasakan dirinya penuh kehangatan.
3
April 2014
Basworo telah
lama menunggu. Berbatang-batang rokok telah dihabiskannya. Dia nyaris beranjak
ketika matahari angin mulai dingin. Ah, akhirnya perempuan yang dinantinya
datang juga. Astuti datang seorang diri. Dan kini Astuti telah duduk di samping
Basworo. Baik Basworo maupun Astuti keduanya masih sama-sama diam, membiarkan
angin sore menyapu wajah mereka. Masih seperti dulu, mereka memilih duduk di
dalam lokomotif jenis CC 5029, buatan Schweizerische
Lokomotiv und Maschinenfabrik, Swiss, di halaman museum.
Kau tahu, kenapa kereta ini lama sekali berhenti
di sini?
Karena bannya kempes! Ha-ha-ha.
__
Lima tahun yang
lalu, langit seakan runtuh bagi Basworo. Ketika Basworo membuka akun
Facebook-nya dengan maksud ingin tahu apakah Astuti telah menerima permintaan
pertemanannya, Basworo justru harus menelan pil pahit. Secara jelas nampak,
yang dilihatnya adalah Astuti justru telah menerima lamaran Husin. Basworo
melihat Maya, sahabat Astuti, mengunggah sebuah foto di dan menandai Astuti dan Husin di dalamnya.
Hampir saja Basworo tidak percaya kepada matanya sendiri. Dia mengetuk akun
Husin, dan dari sana Basworo pun tahu, Husin yang baru saja lulus dari
Pesantren Lirboyo, masih memiliki hubungan kerabat imam Masjid Agung Bandar,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Beberapa
detik kemudian, Basworo pun menghapus semua foto Astuti di dalam HP-nya, dan
dengan kalap dia membanting HP-nya itu hingga pecah berantakan. Dan setelah
semuanya selesai, Basworo menyadari bahwa dia sangat menyesal, dia masih
mencintai Astuti, dan dia ingin kembali melihat wajah Astuti sekali saja,
meskipun hanya lewat foto.
Dan kini, Astuti
telah kembali berada di samping Basworo. Astuti tidak mengajak Nau-Nau, nama
sayang dari Ridwan Naufal—jagoan kecilnya; dan tentu saja tidak mengajak Husin.
Lagipula, jika Husin ikut serta, siapakah yang berani menjamin, Basworo tidak
akan meninjunya?
“Bagaimana
kabar anakku, Astuti?” ujar Basworo
pada akhirnya, memecah kesenyapan.
Astuti nyaris
terkejut. “’Anakku’?”
“Ya, anakku,” kata Basworo, putus asa.
“Gila, kau!
Nau adalah anak Husin, bukan kau, Basworo!” ujar Astuti gusar. “Sekarang, kau
tahu, aku telah datang memenuhi keinginanmu, Basworo!”
Basworo tidak
menggubris. “Dia sehat, kan? Aku ingin membelai wajah anakku, dan mencucup keningnya,” Basworo berkata, pita suaranya
sedikit bergetar. Kemudian dia saling mengatupkan gigi-gigi gerahamnya, begitu kuat.
“Yang keluar dari rahimmu, pastilah dia anakku.”
“Berhentilah
menjadi bocah, Basworo!” Astuti mendelik, nafasnya memburu.
Basworo
meludah. Kemudian dia menatap wajah Astuti beberapa saat sampai Astuti membalas
tatapannya. Dan setelah Astuti menatap wajahnya, Basworo menatap
dinding-dinding lokomotif, seolah-olah mengajak Astuti untuk sama-sama
mencermatinya. Tentu saja Astuti tahu, tatapan mata Basworo adalah tatap mata
yang menagih janji—kesetiaan. Baik Astuti dan Basworo, keduanya sama-sama tahu,
Astuti-lah yang menuliskan prasasti cinta monyet mereka itu.
Heh. Astuti
merasa penat. “Basworo!”
Basworo
beranjak mendekati pintu lokomotif sebelah selatan. Dia menunjuk, “Pucuk-pucuk
merah itu, Astuti....”
“Cukup!” Astuti
memotong, “dengarkan aku, Basworo, seandainya tiba-tiba saja ada kereta yang
lewat di stasiun ini, aku akan sangat bahagia jika kereta itu menabrakmu, Basworo!
Agar kau kembali ke dunia yang nyata!”
“Ha-ha-ha!
Kau bilang apa, Astuti? Sadarkah kau, apa yang baru saja kau ucapkan? Ha-ha-ha!”
Basworo terbahak-bahak. Dia turun dan berlari menyusur rel kereta api sambil
terus tertawa.
Kau tahu,
orang-orang di stasiun itu memandang miris, iba kepada Basworo. Tetapi,
sanggupkah mereka membuat Basworo tersadar, bahwa tidak ada seorang pun di sampingnya,
bahwa tidak ada seorang pun yang dia ajak berbicara—tidak ada Astuti di
sampingnya?
Tentu saja Basworo
tidak tahu, bahwa dirinya telah kehilangan akal sejak lima tahun yang lalu.
Mana ada orang gila yang menyadari bahwa dirinya gila? []
Ambarawa,
Mei 2014
__________________
.
Judul : Kumpulan Cerpen Es Krim
Penulis : M. Rifan Fajrin & Kharis Th.
Penerbit : Tunas Puitika Publishing
Tahun terbit : 2014
Penata letak : Aliyudin MT.
Desain cover : Arif & Enggar Dh.
vi+124 halaman, 14,8 x 21 cm
Harga : Rp 32.500.-
ISBN 978-602-70787-5-8 []
Judul : Kumpulan Cerpen Es Krim
Penulis : M. Rifan Fajrin & Kharis Th.
Penerbit : Tunas Puitika Publishing
Tahun terbit : 2014
Penata letak : Aliyudin MT.
Desain cover : Arif & Enggar Dh.
vi+124 halaman, 14,8 x 21 cm
Harga : Rp 32.500.-
ISBN 978-602-70787-5-8 []