Batu yang Berkilauan
Batu yang Berkilauan
Baca Sambungan Cerita Sebelumnya: Kesunyian Maria
Baca Sambungan Cerita Sebelumnya: Kesunyian Maria
Di atas pelana, pemuda itu berteriak, “Aku adalah pemuda yang
sempurna. Tak ada yang lebih hebat daripada aku. Akulah pemuda dicintai begitu
banyak wanita, Nikita, Eliya, Emma, dan siapa lagi? Maria? Aku pun bisa
mendapatkannya! Tunggulah dengan sabar! Sebentar lagi akan tercipta satu koloni
dagang yang besar!”
Dialah Fallev. Pemuda yang sambil berteriak terus memacu
kudanya ke utara, ke pusat perdagangan kota. Derap langkah kudanya cukup
menarik perhatian orang-orang yang dilewatinya. Mereka takjub dengan kegagahan
dan ketampanan pemuda yang duduk di atas kuda putih itu. Ketakjuban itu semakin
berlipat saat melihat luasnya langit, mereka menyaksikan betapa awan-awan
selalu mengikuti dan melindungi perjalanan itu. Tanda-tanda kejayaan telah
tergambar jelas di wajah pemuda itu.
Sampai di utara, Fallev menurunkan dan menghitung semua
barang-barang dagangannya, memeriksanya satu-persatu. Ia memisahkan kain wol,
linen, karpet, permadani dari Babilonia, kain tenun, dan sebuah lukisan dari
Roma.
Kemudian, ia mengeluarkan buah zaitun dan ara, kacang, dan
roti untuk makan siangnya. Ia berencana untuk menggelar dagangannya setelah
makan siang saja. Ia sangat percaya, ia dapat dengan mudah untuk menjual habis
seluruh dagangannya dalam waktu singkat, dan mendapatkan keuntungan yang
berlipat-lipat.
Berdagang adalah dunianya. Sejak kecil ia telah terbiasa
mendengar kisah orang-orang sukses dari kakeknya. Ia telah banyak belajar dari
kisah Hafid yang hidup dua ribu tahun silam. Kisah itu begitu melegenda, kisah
sukses seorang bocah penggembala unta sekaligus anak angkat Pathros, seorang
saudagar kaya raya dari Palmira.
Fallev pun telah belajar tentang Muhammad, pemuda Arab yang
di masa mudanya telah mencapai kejayaan dan kemenangan yang gilang-gemilang
dalam perdagangan, berdagang dengan kejujuran dan sifat-sifat yang mulia.
Hingga akhirnya ia dipinang oleh Khadija, wanita kaya raya yang sangat
mencintainya.
Sambil menikmati makan siangnya, Fallev mengamati hiruk-pikuk
pasar. Ia menyandarkan punggungnya di tiang tenda yang didirikannya,
menyelonjorkan kaki kirinya, dan
membiarkan rambut pirangnya berkibar tertiup angin. Sedangkan topi lebarnya, ia
letakkan di lutut kanannya. Santai sekali dia.
Sesekali ia membalas senyum orang-orang yang menyapanya. Ia
memang mencoba ramah kepada siapa pun, meski ia tahu, mereka adalah saingannya.
Namun, dalam perdagangan, sifat yang ramah dan bersahabat biasanya
menguntungkan. Dan sifat-sifat itu, semuanya ada pada diri Fallev. Pada usia
yang semuda itu, 25 tahun seperti Muhammad, Fallev telah berhasil menjelma
menjadi pribadi yang mengagumkan dan diperhitungkan dalam urusan dagang.
Fallev masih begitu menikmati makan siangnya. Kali ini ia
tengah bersiap menyantap roti. Tiba-tiba, dari utara seekor burung kecil
terbang rendah mendekati Fallev, perlahan hinggap di bahunya. Fallev tersenyum dan mengelus burung cantik berwarna
kuning itu.
“Hai, burung kecil, siapa namamu? Kau hendak menggangguku?
Hahaha,” Fallev tertawa.
Fallev memotong sedikit rotinya, meremasnya menjadi
butir-butir halus, dan meletakkannya di telapak tangan.
“Kalau mau, makanlah, makhluk manis!”
Burung kecil itu pun mematuk butir-butir halus roti itu.
Melihatnya, Fallev kembali tertawa.
“Kau seperti habis terbang bermil-mil, kawan!”
Tak lama, burung kecil itu pun terbang, setelah
berputar-putar sebentar, mengepak-ngepakkan sayap-sayapnya dan bercericit di
hadapan Fallev seolah ingin mengucapkan terima kasih.
Fallev menghirup napas dalam-dalam. Ia merasa sangat lega.
Hatinya terasa sangat ringan. Dalam hatinya, ia menganggap dirinya sedang
disapa dengan penuh cinta oleh Tuhan, dengan diberikannya kesempatan yang luas
untuk bersahabat dengan seluruh makhluk. Bahkan kepada seekor burung kecil
sekali pun.
Fallev segera bangkit dan bergegas memakai kembali topi
lebarnya, meninggalkan begitu saja makanan yang tersisa. Seolah ia baru saja
tersadar, ia telah membuang waktu cukup banyak untuk menunda kesuksesannya. Ia
bawa barang-barang dagangannya ke tengah-tengah pasar.
“Aku tak mau membuang-buang waktu untuk mendapatkan Maria!”
katanya bersemangat.
Benar saja. Tak butuh waktu terlalu lama untuk membuat
dagangannya laku keras. Dalam waktu singkat, datang orang-orang dari Timur
menawar wol dan kain tenun milik Fallev. Karpet dan permadani dari Babilonia,
segera berpindah dari tangan Fallev kepada seorang pengoleksi barang-barang
halus dari India. Adapun lukisan dari Roma, dilepaskannya kepada seseorang dari
Persia yang sanggup memberinya lima ratus keping uang emas.
Fallev tertawa penuh kemenangan. Ia tak berbohong, ia tak
menipu, ia menjual dengan terbuka dan penuh kejujuran.
“Akulah penjual
terhebat sepanjang masa!”
teriak Fallev.
Ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Hm, kurasa cukup....”
Di hadapannya tinggal sepotong kain tenun. Ia melangkah
kembali ke tendanya. Kini, ia tengah bersiap untuk pulang. Di benaknya telah
tergambar jelas, ialah pemenang perlombaan. Dialah pemuda yang paling pantas
mendapatkan Maria.
Sementara lurus di hadapannya, seorang wanita tua berpakaian
serba hitam dan compang-camping berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Wajahnya
yang keriput terlihat sangat kelelahan. Ia tak membawa apa pun selain sebuah
tongkat setinggi bahu di tangannya.
Fallev tak menyadari, wanita tua itu telah tegak mematung di
hadapannya. Sampai ketika wanita itu menyapanya.
“Hai pemuda, kau kelihatannya sedang beruntung,” kata wanita
itu pelan pelan.
Fallev sempat terperanjat. Tetapi tak lama, ia tersenyum.
“Kau benar, Nek,” sahutnya.
“Siapa namamu? Bisakah kau membantuku, bolehkah aku duduk?”
Wanita tua itu segera duduk, tanpa menunggu Fallev menjawab
pertanyaannya.
“Oh, namaku Fallev. Silakan saja,” sahut Fallev ramah,
mempersilakan wanita tua itu duduk.
“Namun, maaf, Nek. Aku tak bisa memberimu apa-apa. Kulihat
kau sangat kelelahan, istirahatlah sejenak! Tapi aku tak dapat memberimu makan
atau minum. Oh, maafkan aku, kau pasti sangat lapar dan haus. Tunggu sejenak,
aku carikan kau roti dan air,” katanya sambil bangkit hendak keluar.
“Tak usah, duduk sajalah! Nanti kau repot. Aku hanya perlu
duduk sebentar saja, Anak muda!” jawab wanita tua itu sambil menghapus keringat
yang turun mengaliri pipinya yang keriput dengan ujung kerudungnya.
“Sebenarnya, ke manakah tempat yang hendak kau tuju, Nek?”
tanya Fallev berbasa-basi.
Nenek itu tak segera menjawab. Tetapi tak lama kemudian,
dengan muka serius ia berkata, “Sebenarnya, aku tak cukup yakin, apakah aku
bertemu dengan orang yang tepat. Namun, kurasa aku sedikit melihat tanda-tanda
pada dirimu.”
Fallev tak begitu memahami perkataan wanita tua itu, tetapi
ia menahan dirinya untuk membuka mulut. Ia menunggu, apa yang hendak dikatakan
oleh wanita tua itu.
“Aku sedang melakukan perjalanan panjang, Anak muda, untuk
sebuah misi menyelamatkan seorang bocah tak berdosa. Namun kau lihat sendiri,
aku sudah terlalu tua. Napas dan tenagaku tak cukup untuk mengimbangi
hasratku.”
Fallev berpikir sejenak.
“Memangnya, ke mana hendak kau cari bocah itu?” tanya Fallev
kemudian.
Wanita tua itu menggeleng, “Aku tak tahu pasti. Dan kau lihat
sendiri sekarang, aku tak membawa apa-apa.”
“Oh, maafkan aku, Nek. Sekali lagi, kurasa aku belum bisa
membantumu. Namun, aku bisa memberimu beberapa keping emas ini untuk membeli
makanan dan minuman. Kalau pun kau mau, aku akan menambahkan untukmu sepotong
kain yang tersisa ini. Kau bisa menjualnya dengan nilai tinggi saat keping emas
itu habis, Nek.”
Fallev bersungguh-sungguh. Ia mengulurkan tangannya,
memberikan pundi-pundi berisi beberapa keping uang emas dan sepotong kain tenun
kepada wanita itu.
Wanita itu menerima pemberian Fallev.
“Terima kasih, Anak muda. Kau sangat baik. Sebenarnya aku tak
begitu membutuhkan ini karena aku yakin, aku bisa bertahan. Namun tak apa.
Semoga ini pertanda baik bagimu.”
Sambil berkata, wanita tua itu memandang lekat-lekat wajah
Fallev. Kemudian ia meraba saku bajunya. Ia mencari sesuatu di dalamnya.
“Nah, ini. Terimalah! Sebagai tanda terima kasihku,”
sahutnya.
Wanita tua itu memberikan dua buah batu yang berkilauan
kepada Fallev. Batu itu berwarna merah dan biru. Tentu saja Fallev keheranan.
“Apa ini, Nek?” katanya setengah tak percaya.
“Sudahlah, terima saja!”
Fallev tertawa. Ia pikir, bukankah kain yang ia berikan
kepada wanita itu tak lebih mahal daripada dua batu yang berkilauan ini?
Sungguh aneh, pikirnya.
“Nek, bukankah....”
Wanita tua itu segera memotong kata-kata Fallev dan menjawab
keheranan Fallev dengan berkata, “Batu itu tak lebih dari sebuah tanda bagi
keutuhan rumah tanggamu kelak. Maka, simpan baik-baik batu itu, jangan sampai
batu tersebut tercerai!”
Wanita itu menjelaskan dua batu yang berkilauan itu kepada
Fallev, dan pergi begitu saja, meninggalkan Fallev yang masih tak percaya akan
apa yang baru saja didengarnya.
Fallev tertawa kecil. Ada-ada saja, pikirnya. Ia menatap
punggung wanita tua yang berjalan tertatih-tatih meninggalkannya itu tanpa
sadar, ia telah geleng-geleng kepala merasakan kelucuan tak disangka itu.
Wanita tua itu telah pergi meninggalkan Fallev sejauh sepuluh
meter dari tempat Fallev berpijak. Ia menoleh sebentar kepada Fallev.
“Ingat, Fallev. Aku tak pernah bercanda, aku berkata yang
sesungguhnya. Kuharap kau menjaganya, aku khawatir jika dua batu itu tercerai,”
katanya samar-samar.
“Ya ya ya, aku mengerti, Nek,” kata Fallev, masih tak bisa
menahan diri untuk tidak tertawa kecil.
Sepeninggal wanita tua itu, Fallev segera berkemas. Ia
berniat akan memacu kudanya agar cepat kembali. Ia akan segera menemui Maria
dan menyiarkan ke seluruh penjuru kota, bahwa dialah yang mendapatkan Maria.
Fallev memacu kudanya. Debu-debu beterbangan.
Dalam perjalanan pulang, tak terasa ia tengah mengenang
keberhasilannya berdagang yang begitu singkat. Ia sangat bangga pada dirinya
sendiri. Berkali-kali ia menyanjung dirinya sendiri.
“Beruntungnya aku,”
Ia tersenyum. Kembali ia merasakan betapa Tuhan sangat dekat
dan begitu menyayanginya. Dan terkadang olehnya, terasa sangat-sangat aneh. Di
saat orang lain bersusah-payah sekadar memperoleh keuntungan yang besar, ia
justru merasa sangat mudah saja. Bahkan, ia tak merasa telah mengeluarkan
banyak tenaga. Ia mudah saja mengumpulkan ribuan keping emas. Dan lagi, ia
mudah saja memperoleh dua batu yang berkilauan.
“Batu yang berkilauan?” Fallev tertegun, menjadi teringat
pada pertemuannya dengan wanita tua yang memberinya dua batu yang berkilauan.
Ia menghentikan laju kudanya. Ia berhenti tepat di lereng
pegunungan. Semilir angin dari gunung dengan lembut menyapu wajahnya.
Fallev menatap langit dan awan-awan. Ia teringat kata-kata
wanita tua itu kepadanya. Kata-kata yang terdengar sangat aneh di telinganya.
“Wanita tua, misi menyelamatkan bocah tak berdosa, dua batu
berkilauan yang tak boleh tercerai, keutuhan rumah tanggamu kelak....”
Fallev bergumam sendirian. “Aneh,” pikirnya. “Mungkinkah...?”
“Apa maksud semua ini?”
Kata-kata sekejap berlesatan di kening Fallev.
“Tapi....” Fallev menutup matanya, “aku tak percaya! Aku
telah memilih takdirku sendiri. Apa yang terjadi padaku silam, kini, dan kelak,
adalah semua yang kukehendaki! Apa pun yang terjadi, akulah yang
menginginkannya! Jadi tak mungkin!”
Secepat angin Fallev melempar batu yang berwarna biru ke
dasar jurang. Lalu ia tertawa lepas dan merentangkan tangannya lebar-lebar.
Ia kembali naik ke kudanya. Memandang sebentar ke jurang, dan
kembali memacu kudanya.
“Apalah gunanya menyimpan batu berkilauan yang hanya dapat
memberikan ancaman, bukan ketentraman?” katanya dalam hati.
Ia terus memacu kudanya. Sedangkan di saku mantelnya, batu
merah yang berkilauan itu tersimpan. Ia ingin memberikan batu indah itu kepada
Maria, tepat di hari pernikahan mereka nanti.
Bersambung....