Berlibur, Bagian 1
Baca Sambungan Cerita Sebelumnya: Batu yang Berkilauan
Demi cinta, Fallev menuruti kemauan Maria. Sejak Maria
memuntahkan isi hatinya, ia memutuskan untuk menghentikan semua aktivitas
dagangnya. Sejak saat itu pula, ia bertekad untuk menghabiskan seluruh masa di
samping Maria, bersama-sama menata masa depan, merangkai bunga-bunga kemesraan.
Ia tak ingin lagi memusingkan diri memikirkan kekayaan dan
kemewahan. Ia terkejut, saat Maria mengabarkan bahwa kekayaan yang mereka
miliki senilai lima juta keping uang emas. Mendengar kabar itu, Fallev segera
menata dokumen-dokumen perjanjian dengan beberapa perusahaan yang menjadi
relasi dagangnya. Ia memutuskan untuk segera mengirimkan dokumen-dokumen itu,
segera mengabarkan bahwa tak ada lagi Fallev, tak ada lagi koloni dagang
terbesar bernama Fallev. Ia juga menyisihkan uang-uang emasnya, membagi-bagikan
kepada para pengikutnya yang setia masing-masing seribu keping uang emas.
Fallev tak menyesal atas keputusannya itu. Ia telah menyadari
betul, apa yang dikatakan Maria adalah benar. Apalah artinya segala kekayaan
dan kemewahan? Dan apakah kekayaan dan kemewahan itu sesungguhnya? Merenungi
hal itu, Fallev ingin sekali membahagiakan Maria, dengan berupaya memberikan
padanya seorang penyejuk mata, seorang anak, meski hingga saat ini ia masih tak
yakin angan-angan itu akan tercapai.
Pada awal tekad itu muncul, Fallev dan Maria tak henti selalu
berusaha untuk menyempurnakan kebahagiaan dengan hadirnya seorang anak. Mereka
berdua berusaha saling memberikan semangat. Mereka mencoba memupuk kembali
kemesraan yang sempat berjalan tak sempurna karena seringnya kepergian Fallev
untuk berdagang. Mereka tak peduli, meski usia mereka telah uzur.
Seperti yang mereka lakukan pada malam itu. Mereka sedang
berdua di atas loteng, menatap langit, bulan, dan bintang-bintang yang
berkerlip. Maria menyandarkan kepalanya di pundak Fallev, sering sekali mereka
melakukannya.
“Fallev, tahukah kau mengapa aku suka sekali menikmati
saat-saat seperti ini?”
Fallev menggeleng, sedang matanya tetap menatap langit.
“Menatap langit dan bintang-bintang membuat diri merasa kecil
dan kadang tak berarti, sekaligus menyadarkan bahwa di luar diri mereka ada
satu kekuatan supranatural yang mampu mengendalikan segalanya,” tambah Maria.
“Ya, aku mengerti. Namun, jika menatap langit pada malam
hari, dengan bulan dan bintang-bintang
yang semarak itu adalah suatu kesenangan dan kebahagiaan bagiku, hal itu lebih
karena saat itu aku sedang bersamamu, Maria.”
Maria lebih merapatkan tubuhnya kepada Fallev. Ia
menyandarkan kepalanya di dada Fallev, sedangkan tangan kirinya merangkul bahu
kanan Fallev. Fallev dapat merasakan hangatnya pelukan Maria, dan harum rambut
Maria yang sudah sangat lama tak
diraihnya. Dan jika mata mereka telah mulai meredup, Fallev
menggandeng Maria menuruni loteng.
Hal inilah yang sering membuat Fallev menyesali dirinya.
Andai ia dapat lebih membahagiakan Maria, jauh-jauh hari di masa-masa muda
mereka dulu, alangkah indahnya.
Fallev meminta Maria semakin merapatkan tubuhnya. Di malam
yang dingin dan sunyi itu, tak ada yang lebih menyenangkan selain bermesraan.
Mereka sudah tak khawatir lagi andai saja besok pagi akan bangun kesiangan.
Toh, mereka tak melakukan apa-apa lagi selain mempererat tali kasih dan cinta
putih di antara keduanya. Semua itu dilakukakan semata-mata untuk menggapai
impian memiliki seorang bocah yang dapat meneruskan harapan dan cita-cita.
Terkadang terpikir di benak Fallev mengusulkan kepada Maria
untuk mengadopsi seorang anak. Namun, Maria tak menginginkannya. Sebab, jauh di
dalam hatinya ia merasa baik-baik saja,
tidak ada cacat atau kelainan pada dirinya sedikit pun. Hingga saat ini, Maria
masih meyakini bahwa ia dapat memberikan seorang anak kepada Fallev, andai saja
Fallev mau terus berusaha mewujudkannya.
Maka dalam berbagai kesempatan berbaring berdua, Maria
membebaskan apa pun yang akan hendak dilakukan Fallev terhadap dirinya. Maria
membiarkan Fallev melakukan apa saja yang ia mau.
“Lakukan saja apa pun yang kau mau, Fallev. Kau bisa
memulainya dari wajahku, leherku, dadaku, atau dari mana pun yang kau inginkan
dariku,” bisik Maria.
Begitulah. Malam-malam telah mereka lewatkan berdua. Demikian
indah, romantis, dan bergairah.
***
Sebagai seorang perempuan, Maria memang terlalu gampang
terbawa perasaan. Ia begitu labil. Mudah sekali hatinya terombang-ambing dalam
perasaannya sendiri.
Saat Fallev meninggalkannya berdagang, Maria dengan
ketaksabarannya mudah saja mengatakan bahwa ia membenci Fallev, dan tak lagi
mengharap kepulangan atau kehadirannya kembali.
Namun, saat Fallev telah nyata berada di hadapannya, Maria
segera terlupa disebabkan oleh kegembiraannya. Maria masih mencintai Fallev,
dan masih menyimpan sejuta harap untuk kembali mengarungi bahtera kehidupan
rumah tangganya.
Begitu pula sekarang. Tatkala Maria begitu bersemangat
menantikan kehadiran seorang putra, dalam perkembangannya, Maria sendirilah
yang patah semangat saat menyadari bahwa usaha-usaha mereka tak kunjung
membuahkan hasil. Maria tak kunjung merasakan tanda-tanda kehamilan pada
dirinya. Perutnya masih saja kempis dan rata.
Secara kodrati, Maria menginginkan kehadiran seorang anak
yang dapat menyejukkan matanya, kehadiran seorang bayi yang suci. Maria terus
menantikan saat-saat kehamilannya itu.
Dalam masa-masa penantian itu, Maria menjadi lebih sering
merenung, berdiam diri, atau berdialog sendirian, menyalahkan dirinya sendiri,
dan memilih mengurung diri di kamarnya.
Keadaan itu tentu saja membuat Fallev turut bersedih. Ia
mencoba menghibur Maria.
“Maria, tak baik menyalahkan diri sendiri. Aku turut bersedih
menyaksikan keadaanmu seperti ini.”
“Apa yang dapat kita perbuat lagi, Fallev, ketika semua usaha
yang kita lakukan nyata-nyata percuma. Sementara, wajahku semakin keriput,
badanku pun semakin mengendor dan jelek sekali, Fallev.”
“Sudahlah, Maria. Bukankah kita telah sama-sama meyakini,
bahwa semua ini di luar kendali kita.”
“Jika kita tak dapat melakukan apa-apa lagi, apakah kita
mesti mengakhiri segalanya begitu saja, dan selanjutnya kita akan mati?” tambah
Fallev.
Maria mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tatapnya lurus
ke depan, namun kosong.
Fallev mendekat.
“Aku rasa, kita sudah terlalu penat di dalam rumah, Maria.
Memang benar rumah ini adalah istana kita, tetapi belum dapat menjadi surga
kita,” kata Fallev pelan.
“Maka aku ingin mengajakmu ke luar, menghirup kebebasan di
sana. Kita kunjungi tempat-tempat keramaian, atau justru ke tempat paling sunyi
di dunia, berjalan-jalan ke atas bukit, atau menyusuri tepian pantai yang
bercahaya,” lanjutnya, “bagaimana, kau setuju, Maria?”
Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya Maria mengiyakan.
“Baiklah,” sahutnya pelan.
Bersambung ke bagian 2