Berlibur, Bagian 2
Baca sambungan cerita sebelumnya: Berlibur bagian 1
“Aku seperti muda kembali, Fallev,” kata Maria sambil memandang
ke lepas pantai.
“Apakah kita sudah terlalu tua hingga harus merasa menjadi
muda kembali? Kurasa aku masih seorang pemuda yang mampu menaklukkan apa saja,
dan kau pun adalah wanita yang senantiasa mempesona, Maria,” balas Fallev dengan bergurau.
Maria
tersipu. Mereka pun tersenyum.
Langit
cerah membiru. Burung-burung berkejaran di kejauhan nampak kecil menembus
awan-awan putih. Pasir lembut dan basah,
batu karang, tampak indah sekali.
Fallev
dan Maria pun berjalan-jalan lagi menyusuri pantai. Mereka biarkan telapak kaki
mereka tersapu buih-buih yang gemerlap terbias sinar matahari pagi. Sedangkan
tangan mereka tetap erat bergandengan tangan. Mereka tidak peduli lagi dengan
pandangan orang-orang. Pantai itu memang tak begitu ramai, hanya beberapa orang
saja yang datang berkunjung.
Mereka
terus berjalan, tak tahu apa yang akan diperbuat untuk mengisi hari libur
mereka. Yang jelas, mereka hanya ingin suasana lain.
“Fallev,
katakanlah sesuatu kepadaku,” kata Maria.
Fallev terdiam dan seolah tersadar, bahwa sungguh dia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia pun
tidak tahu apa yang hendak ia lakukan ketika berlibur ke pantai bersama istri
tercintanya itu selain hanya berjalan-jalan menyusuri pantai yang basah.
“Lihatlah,”
kata Fallev akhirnya kepada Maria. Tangannya menunjuk ke lepas pantai.
“Ada
apa di sana, Fallev?”
Mata
Maria mengikuti arah yang ditunjuk oleh Fallev.
“Lihatlah,
perahu-perahu itu begitu kecilnya berada di laut yang luas,” kata Fallev
akhirnya.
“Maksudmu?”
“Tahukah
engkau? Perahu itu sesungguhnya tidak kecil benar. Perahu itu sesungguhnya
besar.”
Maria terdiam, tidak
mengerti kata-kata Fallev.
“Perahu
itu ibarat kesusahan dan kesukaran dalam hidup manusia, sedang lautan itu
ibarat hati manusia,” ujar Fallev. Ia diam sebentar, menunggu reaksi Maria.
Melihat
Maria masih terdiam, Fallev kemudian menjelaskannya, “Kesukaran yang begitu sulit dihadapi akan nampak kecil pada hati
yang lapang.”
Maria mulai mengerti.
“Aku kini mengerti, Fallev. Memang tak begitulah
adanya. Mungkin kesulitan terbesar dalam hidupku adalah bersabar. Aku tak ingin
berlama-lama, dalam hal apa pun, Fallev. Dan kuharap, kau sampai kapan pun akan
bisa menasihatiku untuk hal ini, Fallev. Kau harus lebih bersabar lagi dalam
hidup bersamaku. Kau juga yang selalu harus meluruskan aku bila aku telah mulai
kehilangan arah.”
Fallev
harus menghela napas dalam-dalam untuk kemudian menjawab permintaan Maria.
Bukan karena ia tak sanggup tetapi terpaksa menerimanya. Namun, dilakukannya
hanyalah untuk membulatkan dan menguatkan tekad. Fallev sendiri tlah tahu,
bagaimana perangai Maria.
“Fallev,
ucapkanlah sesuatu kepadaku lagi,” Maria merajuk.
“Bukankah aku telah mengatakan sesuatu
kepadamu?”
“Aku ingin sekali mendengar sesuatu yang manis
darimu. Hati ini sangat ingin mendengarnya, Fallev.”
Fallev kembali terdiam,
merenungkan apa yang hendak ia katakan kepada Maria. Ia tidak ingin berkata
bahwa dunia adalah milik mereka berdua, meski kini ia memiliki segalanya. Ia
pun tak hendak mengatakan laut itu dapat mereka miliki jika saja Maria begitu
menginginkannya. Sebab ia tahu, Maria tak lagi menginginkan hal itu. Atau
mengatakan bahwa sesungguhnya matahari dan awan-awan yang menghiasinya itu
sedang tersenyum kepada mereka berdua seolah menjadi saksi dari tali kasih dan
cinta putih di antara mereka.
“Setiap kata-kata kosong yang terucap itu tidak
akan membawa kita pada suatu perubahan Maria. Tak satu pun.”
“Namun kata-kata telah nyata mampu menjadikan
semua begitu indah. Oleh kata-kata yang terucap nyata telah mampu membuat dunia
ini menjadi indah. Dan setiap kata-kata yang terucap selalu akan terkandung
sebuah makna di dalamnya. Ucapkanlah kepadaku, sekedar untuk membasahi
kehausanku akan arti hidup, Fallev.”
“Baiklah Maria,” ucap Fallev pada akhirnya.
“Ingatlah, Maria, bahwa hidup ini kadang sungguh-sungguh
misteri. Saat kita tidak tahu ke manakah akhir pencapaian hidup, kita seakan
berjalan tanpa lentera di malam yang gelap dalam menapaki kehidupan. Sehingga
kadang terperosok, terjerembab, tersungkur, dan terkapar. Beruntung bila kita
masih mampu bangkit kembali, tandanya Tuhan masih menyayangi dan memperhatikan
kita. Tuhan berkenan memberikan kesempatan untuk kembali berjalan menapaki
kehidupan itu dengan diberikannya sebuah lentera yang senantiasa harus dijaga
agar tidak padam,” Fallev berbicara panjang lebar.
Mata Maria berkaca-kaca.
Senja merangkak. Sebentar lagi gelap. Fallev mengajak Maria
pulang. Namun Maria masih memandang ke sana-sini. Ia seolah masih belum puas dan tak ingin segera
kembali. Ia masih ingin berlama-lama menikmati libur kecil itu.
“Sebentar,
Fallev. Aku masih ingin di sini,” katanya sambil menatap mata Fallev, sorot
mata bening memohon.
Fallev
pun mengalah. Ia menurut saja kemauan Maria. Ia tak ingin mengecewakan istrinya
itu. Ia tak mau membatasi Maria. Ia membiarkan Maria melakukan apa saja yang
disukai Maria, semata-mata agar Maria bahagia.
“Baiklah,
lakukan yang kau suka Maria, agar kau bahagia.”
Maria
menggamit lengan Fallev, menapaki pasir-pasir pantai yang mendingin. Dilihatnya sepasang muda-mudi sedang berjalan
perlahan-lahan dari pinggir pantai hingga sedikit ke tengah. Dengan hati-hati
si pemuda menggandeng tangan kekasihnya, yang entah sungguh-sungguh atau tidak,
tersirat sedikit rasa takut di parasnya yang jelita. Dan ketika deburan ombak
kecil datang, si gadis menjerit pelan, memberi kesempatan kepada si pemuda
untuk sejenak berperan layaknya seorang pahlawan.
Pemuda
itu terus saja beraksi. Diraihlah gadis itu
dalam dekapannya, seolah–olah ingin melindungi si gadis dari bahaya apa
pun. Si gadis membiarkan dirinya dipeluk, memasrahkan
diri sepenuhnya, seolah-olah sedang dilanda ketakutan yang amat sangat. Manja
sekali ia bergelayut di dada pemuda itu.
Ketika
ombak menghilang, nampaklah si pemuda mengajak si gadis lebih menuju ke tengah.
Si gadis awalnya menolak. Namun agaknya ia luluh juga, ketika si pemuda
meyakinkannya bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dicemaskan. Lagaknya
dewasa sekali pemuda itu, sambil membelai-belai rambut kekasihnya itu, seakan
ia berkata bahwa ia akan mampu melindungi si gadis senantiasa, dan semuanya
pasti akan berakhir baik-baik saja.
Melihatnya,
Maria menjadi teringat masa-masa mudanya dahulu. Andai pun ia sadar, bahwa ia
jauh lebih jelita daripada gadis itu. Maria termenung.
Ia sangat berhasrat mengulang nostalgi. Maka ia mengutarakan keinginannya
kepada Fallev.
“Lihatlah,
Fallev. Bahagianya mereka,” ujarnya sambil menunjuk pasangan kekasih
itu. “Aku ingin mandi dan berenang-renang di laut. Siapa tahu di seberang sana
ada pulau yang indah dan dapat kita singgahi.”
“Kau yakin, Maria?”
Fallev menguji kesungguhan Maria.
”Ya. Aku ingin berenang-renang. Kau mau
menemaniku, bukan?”
“Tentu
saja, bidadariku. Namun, aku tak cukup
yakin kalau aku masih bisa berenang. Telah berpuluh tahun aku tidak
pernah berenang dan rasanya aku telah lupa bagaimana rasanya mengapung di atas
air, Maria. Bagaimana andai kita tenggelam dan berakhirlah semua cerita?” kata
Fallev sedikit menggoda.
Atas
pertanyaan Fallev, tanpa pikir panjang Maria menjawabnya dengan tegas.
“Setidaknya engkau masih mampu melindungi aku
sekiranya aku terseret ombak, atau mendadak kehilangan keseimbangan dan
tenggelam. Namun, andai kita benar-benar akan
tenggelam, apalagi yang kucemaskan jika aku bersamamu? Aku pikir, itu ending yang begitu indah untuk
mengakhiri sebuah cerita.”
Mereka pun saling tersenyum dan
menatap, erat bergandeng tangan, dan perlahan berjalan menembus cakrawala yang
telah berwarna kuning keemasan.
Bersambung ke bagian selanjutnya