Esok Masih Ada Matahari
Langit kemerahan telah lama
terlelap, menghilang entah kemanakah perginya. Lantas berganti hitam. Sepotong
rembulan mengintip di sela-sela dedaunan bambu, menebarkan cahayanya yang pias
ke seluruh penjuru. Desiran angin yang berhembus, semakin kencang menggoyangkan
dahan-dahan. Membius makhluk-makhluk kecil mendengkur.
Di sebuah rumah yang mungil,
seorang anak kecil masih berdiri di depan jendela. Ia bernama Yan. Matanya masih terus mengawasi rumah di depannya,
rumah Tino. Seakan tak berkedip. Nafasnya memburu sedangkan tangannya terkepal.
Anak itu masih saja menunggu kalau-kalau Tino keluar rumah.
Sementara Ibu Yan yang telah
rebah di kasur menggeleng-gelengkan kepala memandangi anaknya itu. Ia tidak
mengetahui apa yang dipikirkan anaknya.
“Ah, kadangkala anak-anak
memang susah dimengerti,” katanya dalam hati.
Hening menggayuti seisi rumah.
Seekor cicak melintas, seolah ikut menjadi saksi atas keheningan malam itu. Jam
dinding kuno di atas cermin hias kembali berdentang, Teng teng teng, sebanyak
sebelas kali. Sedangkan Yan masih terus mengawasi rumah Tino. Ia belum
mengantuk. Sedangkan ibunya telah berkali-kali menutup mulutnya dengan
tangannya, ia menguap. Matanya merah dan sedikit berair.
“Yan, sudahlah. Besok lagi
kamu bermain ke rumah Tino. Mari tidur dekat ibu!”
Yan menurut kata-kata ibunya.
Sesaat kemudian terlihat Yan sudah rebah di samping ibunya. Tapi Yan tidak juga
segera memejamkan matanya. Matanya masih terus memandangi celah-celah di
langit-langit kamarnya. Melalui celah itu sinar bulan sedikit bisa masuk ke
kamarnya. Pikirannya masih melayang-layang.
“Yan, sudah malam. Tidurlah!”
kata ibunya sambil mengusap-usap rambut kepalanya.
“Yan belum mau tidur, Bu,”
kata Yan.
“Apa yang kau pikirkan, Nak?”
“Ayah di mana, Bu?” Yan balik
bertanya kepada ibunya.
Ibunya diam saja. Ibunya
justru membalikkan badannya membelakangi Yan.
“Ayah di mana, Bu?” Yan
mengulang pertanyaannya.
“Sudah berapa kali ibu bilang,
Ayah pergi jauh sekali. Kelak jika Yan sudah besar, Yan baru boleh
menyusul Ayah.”
Yan tidak puas dengan jawaban
ibunya. Setiap kali Yan bertanya tentang ayahnya, maka jawaban ibunya selalu
tidak bisa memuaskannya.
“Yan ingin bertemu dengan
Ayah!”
Ibunya membalikkan lagi
badannya menghadap Yan. “Ada apa lagi, Yan?”
“Yan ingin mengatakan kepada
teman-teman bahwa Yan punya ayah. Terutama kepada Tino!” jelas Yan.
“Itukah sebabnya tadi kamu
berkelahi lagi dengan Tino?” Selidik Ibunya. Dipandanginya mata anaknya
lekat-lekat.
“Yan benci kepada Tino, Bu,”
Yan berhenti sebentar, “kata Tino, Ayah Tino dulu sering mengalahkan Ayah saat
berkelahi, Bu.”
Perempuan itu menghela nafas,
kemudian terlihat menggelengkan kepala. Pelan.
“Jangan kau dengar kata-kata
Tino. Dia tidak berkata yang sebenarnya.” Ia berusaha menghibur Yan.
“Yan juga tidak percaya Ayah
kalah sama Ayahnya Tino. Tapi tadi Tino mengatakan, ‘Kalau berani sekarang
undang ayahmu untuk berkelahi dengan ayahku!’ Yan marah sekali, Bu.” Yan
merengut mengatupkan gigi-gigi gerahamnya. Mengisyaratkan kemarahan seorang bocah
kecil.
“Lantas?”
“Yan langsung pukul dia, Bu.
Sampai Tino jatuh tersungkur!” kata Yan sambil mengepal-ngepalkan tinjunya.
Ibu yang lembut itu pun
mengusap-usap kepala anaknya lagi. “Sudahlah. Lain kali Yan tidak boleh
berkelahi lagi. Yan harus janji! Jika Ayah tahu kalau Yan suka berkelahi, Ayah
pasti akan marah pada Yan.”
“Tapi mengapa Ayah pada saat
kecil juga suka berkelahi dengan ayah Tino, Bu?” Yan terus mendesak.
“Sekarang ibu tanya pada Yan.
Mengapa Yan suka berkelahi dengan Tino? Siapa yang selalu memulai pertengkaran,
Yan atau Tino?”
“Yan sebenarnya tidak mau
berkelahi dengan Tino, Bu. Tapi Tino selalu mengejek
ayah! Dan Yan tidak bisa
terima!” Yan berapi-api.
Ibu tersenyum, dan berkata,
“Pun begitu juga dengan Ayah dulu. Ayah juga tidak suka berkelahi. Tapi ayah
Tino selalu memulai pertengkaran.”
“Ayah Tino mengejek kakek?”
Yan mengernyitkan dahi.
Ibu menggeleng. “Ibu tidak
tahu apa sebabnya.”
Ibu Yan terdiam. Pikirannya
melayang ke masa kecilnya dulu. Ia tidak berkata yang sebenarnya mengapa suaminya
dulu berkelahi dengan ayah Tino. Sebenarnya semua itu disebabkan karena ayah
Yan kecil menolong dirinya saat ayah Tino kecil menjahilinya. Mengingat itu,
ibu Yan tersenyum sendiri.
Ah, itu dulu. Mengapa sekarang
ia bisa menjadi seperti ini. Ia tidak paham akan yang pernah ia alami.
Tahu-tahu semuanya berjalan seperti sekarang ini. Dalam benaknya pastilah Yan
mewarisi sifat ayahnya. Berani, sering berkelahi, tapi untuk menolong teman,
atau karena diganggu. Walaupun begitu, ia tidak suka kalau Yan berkelahi.
Karena menurutnya, Yan juga seperti anak-anak yang lain, kadang suka bergurau.
Pastilah tidak selalu benar.
Yan nampak berpikir sejenak.
“Ibu sudah kenal dengan Ayah saat kecil dulu?”
“Ya.” Pertanyaan Yan
membuyarkan lamunannya. “Dulu Ibu dan Ayah saat kecil sering bermain bersama.”
Yan lalu teringat pada Ratih.
Sehari-hari Yan sering bermain dengan Ratih. Pikirannya kembali
melayang-layang. Yan membayangkan kelak saat ia besar nanti, ia akan menikah
dan hidup bersama dengan Ratih, seperti ibu dan ayahnya. Kemudian ia akan
memiliki beberapa orang anak yang kecil dan lucu-lucu. Tapi sekarang dimana
Ayah? Mengapa Ayah tidak pernah pulang?
“Bu, kapan Ayah pulang? Yan
ingin sekali bertemu dengan Ayah,” Yan kembali merengek.
Ibunya menghela nafas panjang.
Dipandanginya anak semata wayangnya itu. Matanya yang bening berkaca-kaca
beradu dengan mata Yan yang meminta jawaban darinya.
“Suatu saat Ayah akan pulang
ketika Yan sudah besar. Ketika Yan sudah menjadi orang besar. Yan sudah bisa
menjaga Ibu.”
Mereka terdiam sejenak.
“Bu, apakah ayah sayang sama
kita?” tanya Yan kemudian.
Ibunya menghela napas.
“Ayah sangat-sangat sayang
kepada kita. Jika Ayah tidak sayang kepada kita, mengapa Ayah harus bersusah
payah dan pergi jauh?” jawab ibunya sambil mengusap dahi Yan.
“Lalu mengapa Ayah tidak
pernah pulang?”
Ada setitik air di sudut mata
Yan. Mereka berdua terdiam sejurus.
“Bu, apakah Ayah seorang yang
gagah?”
“Ya, ayah adalah seorang yang
gagah dan tampan.”
Pikiran Yan langsung melayang
kepada sosok pahlawan yang gagah berani, baik hati, suka menolong siapa saja.
Setiap ada kejahatan, ialah yang pertama kali muncul dan menumpas kejahatan
itu. Tanpa meminta imbalan. Tidak ingin terkenal. Sehingga semua orang suka
padanya. Seorang pahlawan yang tampan sekali wajahnya. Yan membayangkan wajah
pahlawan itu adalah wajah ayahnya. Tapi, bagaimana wajah Ayahnya? Yan kembali,
termenung. Sinar matanya kembali meredup. Tapi bagaimanapun ia yakin, bahwa
Ayahnya adalah seorang yang tampan, dan gagah berani. Seperti kata ibunya.
Semangat Yan kembali terbit.
Kemudian dalam benaknya Yan
membayangkan ketika ia besar ia pun akan seperti Ayahnya yang gagah berani, ia
akan sanggup melindungi Ibunya dari gangguan siapa saja. Ia juga akan
melindungi Ratih dari gangguan Tino. Sosok Tino dalam pikiran Yan tiba-tiba
saja berubah menjadi seorang yang tinggi besar, bermuka sangar, rambutnya
panjang dan diikat, sedangkan badannya penuh tato.
Yan jadi teringat pada seorang
lelaki yang berwajah seperti itu di pasar. Ia suka meminta uang kepada orang
lain dengan paksa. Ia heran mengapa tidak ada orang yang berani melawan.
Sedangkan Yan sendiri tiba-tiba menjadi seorang yang pandai berkelahi. Namun,
ia tetap baik hati dan suka menolong yang lemah.
Melihat mata anaknya yang
tidak kunjung terpejam, ibu Yan lebih merapatkan badannya kepada anaknya.
Dipeluknya anak itu. Kemudian pipinya yang putih pun diciumnya. Sedangkan Yan
tetap diam saja. Entah kemana lagi pikirannya.
“Tidurlah, Yan! Nanti kamu
bangun kesiangan.”
Yan tidak peduli. Ia justru
teringat pada Ratih, Tino, dan teman-temannya yang lain. Di mata Yan, mereka
adalah anak-anak yang sangat bahagia, penuh canda dan tawa. Digenggaman mereka
selalu ada makanan-makanan ringan yang lezat dan selalu membuat iri Yan, di
badan mereka selalu menempel kain yang halus, bersih, dan nyaman, yang terasa
sangat berbeda dengan yang dikenakan Yan. Tiba-tiba Yan menjadi sedih.
“Bu....”
Ibu Yan cepat-cepat memejamkan
matanya. Ia berpura-pura telah terlelap agar Yan tidak meneruskan bicaranya dan
segera menyusulnya memejamkan matanya.
“Bu, Ratih, Tino, dan
teman-teman yang lain selalu berpakaian yang bagus-bagus. Mengapa Yan tidak?
Mengapa teman-teman selalu mempunyai makanan yang enak-enak di tangan mereka,
sedangkan Yan tidak? Mereka tidak pernah mau membaginya dengan Yan. Hanya Ratih
saja, Bu.”
Ibu Yan bergeming. Disimaknya
kata-kata anaknya dengan terus terpejam. Namun dalam hatinya bagai
tertusuk-tusuk duri. Yan kecil yang malang.
“Seandainya Ayah ada….”
Hening.
“Ternyata Ayah tidak sayang
kepada Yan!” tiba-tiba Yan berteriak. Sambil menangis. “Ayah tidak pernah
pulang! Ayah tidak pernah membelikan pakaian yang bagus untuk Yan! Ayah tidak
pernah membelikan makanan yang enak-enak untuk Yan! Kemana ayah pergi!?”
Ada sesak yang merayapi dada
perempuan itu. Pipinya kini mulai basah. Bergemuruh. Dengan tiba-tiba pula Ibu
Yan bangkit. Dicekalnya pundak Yan, dan dipandanginya wajah anaknya itu
lekat-lekat. Kedua mata itu beradu, mata yang sama-sama sembab.
Napas Yan tersengal. Dadanya
turun naik. Sedikit ia gentar beradu dengan Ibunya. Yan takut sekali.
“Ketahuilah Yan, anakku.
Ratih, Tino, atau teman-temanmu yang lain sekarang boleh saja memiliki pakaian
yang bagus-bagus dan makanan yang enak-enak. Namun, itu tidak akan selamanya! ”
Yan terdiam. Ia tidak mengerti
maksud kata-kata ibunya.
“Katakan pada teman-temanmu, dengan penuh kebanggaan, bahwa Ayah adalah orang yang paling baik di dunia
ini! Dengar Yan, saat ini ayahmu sedang mempersiapkan pakaian-pakaian dan
makanan-makanan surga untuk kita. Dan itu kelak akan kita
dapatkan selama-lamanya. Ingat itu, Yan! “
***
Yan mulai mengerti sekarang.
Di depan ibunya ia berjanji tidak akan bertanya tentang ayahnya lagi. Mata Yan
pun sekarang mulai terpejam, tetapi pikirannya sepertinya sedang merencanakan
sesuatu. Besok pagi ia akan menemui semua teman-temannya—terutama Tino—dan berkata dengan lantang: “Aku ingin seperti
Ayahku!”
Perlahan jiwa Yan menembus
dimensi mimpi, dengan bibir mungil berulas senyum. Manis
sekali. Esok masih akan ada matahari
yang menyambut cerianya. []
Baca Juga Cerpen Lawas lainnya: Kotak Ajaib dan Potret, yang bikin saya senyum-senyum sendiri saat membacanya. Hihihi.
Baca Juga Cerpen Lawas lainnya: Kotak Ajaib dan Potret, yang bikin saya senyum-senyum sendiri saat membacanya. Hihihi.