POTRET
Udara terasa amat panas. Di
jalanan yang berdebu, di gang-gang, trotoar pinggir jalan, memperlihatkan
wajah-wajah yang gerah, kening dan leher mereka berkeringat. Mendadak sebagian
orang rindukan pohon yang rindang sebagai tempat berteduh, ada pula yang
memilih untuk berlindung di kedai-kedai mie dan es campur.
”Eit, jangan dibuang kawan!”
Agus mengambil sumpit,
membenamkan lalat itu ke dalam es campur. Lantas dengan keterampilannya
mencapit perut lalat itu diantara kedua sayapnya.
”Nah, aman diminum sekarang.” Sambil
tersenyum, ”di satu sisi sayap lalat ini terdapat penyakit dan sekaligus
terdapat penawarnya di sisi yang lainnya.”
Sedangkan lalat itu masih tak
bergerak tercepit, lebih menarik perhatian Doni daripada penjelasan Agus. Kemudian
Doni mengambil selembar kertas iklan dan sebuah kamera dalam ranselnya.
”Sebentar Gus, ada sesuatu
yang menarik pada lalat ini.” Beberapa saat kemudian terlihat Doni memotret
lalat tersebut dari berbagai angle. ”Bisa jadi gambar yang menarik.
Kebetulan pas dengan tema ’Manusia dan binatang’. Coba baca ini, Gus.” Sambil
menyodorkan lembar info lomba kepada Agus.
”Aduh, kenapa baru sekarang kamu
ngasih tahu, Don? Wah tinggal empat hari lagi nih.”
”Sori Gus, aku juga baru dapat
dua hari yang lalu. Makanya kita mesti cepet-cepet hunting foto. Kita
boleh mengirimkan maksimal tiga buah foto. Terus terang aku tertarik, Gus.
Nanti foto-foto yang bagus akan dipamerkan di halaman Balai Kota sekalian
diumumkan siapa pemenangnya. Asyik kan?”
Agus hanya mengangguk-angguk.
Agus dan Doni, dua sohib karib
ini sejak jadi mahasiswa kebetulan memang sangat tertarik dengan dunia
fotografi dan kira-kira sudah dua tahun menekuni fotografi. Waktu yang cukup
lumayan bagi ukuran mahasiswa. Sering mereka berdua pergi ke tempat-tempat
rekreasi, tempat-tempat keramaian, wisata alam, sungai-sungai atau pegunungan
hanya untuk mencari foto yang menarik. Mereka juga sesekali mengikuti
lomba-lomba foto, baik untuk umum maupun untuk mahasiswa.
”Aduh, tapi kameraku masih dibawa adikku, Don! Dibawa studi
tour ke Bali dua minggu yang lalu. Sampai sekarang belum dikembalikan.”
”Adik? Bukannya kamu gak punya adik?”
#
”Namanya Erin...” Agus memulai
ceritanya tentang ’adiknya’ itu. Bahwa hubungan Agus dan Erin memang unik.
Antara mereka berdua sebenarnya tidak ada hubungan saudara. Namun sejak kecil
Agus memang telah dekat dengan Erin. Disebabkan karena selama 5 tahun Agus dulu
diasuh oleh ibunya Erin ketika kecil saat bapak dan ibu Agus terlampau sibuk
bekerja. Sayang sekali Erin tidak sempat melihat bapaknya yang pergi
meninggalkan ibunya setelah ia lahir. Jadilah ia tinggal sendirian bersama
ibunya, ditambah Agus yang masih sering dolan ke rumahnya.
Pada saat Erin lahir, Agus
baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu. Saat itu ia sangat ingin
mempunyai seorang adik. Namun ketika ia mengutarakan keinginannya kepada
bapaknya, bapak mengatakan tidak boleh dengan alasan Agus belum siap mempunyai
seorang adik. ”Seorang kakak harus pandai menyayangi adiknya,” kata bapak dulu.
Barulah sekarang Agus mengerti bahwa ibunya tidak mungkin melahirkan kembali
setelah rahimnya diangkat oleh dokter setelah melahirkan Agus.
Agus kecil yang ingin
menunjukkan kepada bapaknya bahwa ia bisa menyayangi seorang adik, benar-benar
menunjukkan sayangnya pada Erin. Siang menjelang dzuhur sepulang sekolah Agus
selalu ke rumah Erin yang berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya, tanpa
mengganti seragam sekolah dan juga makan siang terlebih dahulu. Agus seakan tak
ada bosan memandang wajah bayi Erin yang lucu dan menggemaskan. Bapak dan
Ibunya Agus hanya membiarkan anaknya itu bahagia dengan menganggap Erin sebagai
adiknya.
Kebahagiaan Agus semakin bertambah
ketika Erin mulai bisa berjalan dan berlari serta kemudian masuk bangku
sekolah. Sejak saat itu Agus dapat mengajak Erin yang lincah bermain-main.
Kadang mereka bermain congklak, petak umpet, atau berkejar-kejaran. Kadang Agus
kadang mengajak Erin bermain bola atau permainan anak laki-laki yang lainnya.
Kadang juga sebaliknya, Agus yang dipaksa bermain lompat tali oleh Erin.
Begitulah. Namun, sejak Agus
melanjutkan ke SMA di luar kota, ia sudah tidak banyak lagi punya waktu untuk
bertemu dan bercanda dengan Erin. Apalagi ketika Agus melanjutkan kuliah, Agus
merasa kehilangan kesempatan untuk membagi kebahagiaan dengan Erin. Maka setiap
kali Erin meminta sesuatu kepada Agus, Agus selalu berusaha memenuhinya untuk
mengganti atau menebus kebersamaannya dengan Erin yang hilang. Termasuk ketika
Erin datang kepada Agus meminjam kameranya untuk studi wisata ke pulau dewata
selama lima hari, Agus dengan senang hati meminjamkannya.
”Nah, maka aku harus pulang ke
rumah mengambil kameraku dulu yang sampai saat ini belum dikembalikan. Setelah itu kita hunting bareng. Kita berlomba, siapa yang lebih
baik!”
”Baik. Aku setuju.” Sahut Doni mantap.
#
Di dalam kamar Agus, Doni
sedang membolak-balik majalah sambil tidur-tiduran di atas karpet. Walaupun tangannya memegang majalah, namun pikiran Doni mengembara
kemana-mana. Maka tak lama majalah itupun dilemparkannya begitu saja ke atas
kasur. Untuk mengusir kebosanannya, ia kemudian menyalakan komputer. Namun,
tiba-tiba Agus datang sambil terengah-engah.
”Aduh, gawat Don! Ada sesuatu
yang tidak beres!”
”Tenang. Tenang dulu, Gus.
Duduk dulu,” Doni mencoba menenangkan Agus, memberinya segelas air putih.
”Nah, sekarang baru kamu
cerita apa yang terjadi..”
”Kameraku hilang, Don!”
”Hilang?”
”Barusan ketika aku ke rumah
Erin, ibunya mengatakan sudah sebulan Erin pergi dari rumah. Dan dia
mengatakan, Erin tidak pernah pergi ke Bali. Dulu ketika
kabur dari rumah, Erin mengatakan ingin mencari bapak.”
”Jadi, dia telah bohong padamu?”
”Tepat. Aku
masih tidak percaya bagaimana ini bisa terjadi. Apa yang terjadi dengan Erin?
Saat ini aku belum berpikir tentang kameraku. Namun, tadi ibu Erin cerita
sambil nangis bahwa hari-hari belakangan ini banyak teman-teman Erin yang
datang ke rumah menanyakan HP mereka, baju dan celana mereka, perhiasan, jam
tangan, pokoknya macam-macam-lah yang kata mereka dipinjam oleh Erin! Namun
ibunya tidak tahu kalau Erin juga membawa kameraku. Jangan sampai dia tahu, hal
ini akan semakin menyiksa dirinya.” Agus bercerita sambil geleng-geleng kepala.
”Ibu merasa telah gagal
mendidik Erin.”
”Sabar, Gus. Mudah-mudahan
yang sesungguhnya terjadi tidak seburuk yang kita bayangkan.”
”Aku tahu itu, Don.”
Sebenarnya Agus masih tidak
percaya bahwa Erin telah berubah. Namun ketika diingatnya kabar yang
didengarnya dari tetangga kanan kiri Erin, Agus sedikit-demi sedikit tlah
percaya bahwa Erin benar-benar telah berubah. Kabar itu dirasakan Agus bagai
pisau yang menusuk dalam hatinya. Agus masih sangat sulit untuk percaya bahwa
Erin telah menjadi anak nakal dan tidak jelas masa depannya.
”Tidak kita coba untuk mencari Erin, Gus?”
”Aku rasa sulit. Kemanakah hendak dicari? Untuk saat ini aku harus melupakan tentang
sayembara foto itu, Don.” Doni hanya terdiam sambil membuka gambar-gambar Agus
dalam komputer.
Baik Agus maupun Doni terdiam. Pikiran mereka berkecamuk.
Doni yang telah menganggap Agus sebagai sohib terdekatnya
sebenarnya sedang berpikir bagaimana caranya ia dapat membantu Agus yang sedang
kesusahan itu. Tapi bagaimana caranya?
”Gus, aku punya cukup foto untuk dapat kau pakai dalam
lomba itu,” kata Doni sambil terus mengamat-amati gambar-gambar Agus. ”Yah,
tidak terlalu banyak memang. Namun kau dapat memilihnya mana yang menurutmu baik. Atau kita hunting
dengan satu kamera.”
”Sudahlah Don. Terima kasih.”
”Tapi setidaknya kamu dapat
mencobanya dulu, Gus.”
Bukannya menjawab, Agus malah
membalikkan badannya menghadap ke tembok sambil memeluk guling. Matanya
dicobanya untuk terpejam.
”Biasanya kamu yang lebih
bersemangat dari aku, Gus.”
Doni tidak berkata-kata lagi.
Ia memang tidak menunggu jawaban dari Agus. Ia hanya bisa menghela napas. Ia
tahu bagaimana perasaan Agus.
Tiba-tiba mata Doni menangkap
gambar yang begitu menarik perhatiannya. Sejenak Doni terdiam dengan ketakjuban
yang tidak direka-reka. Gambar seorang gadis kecil yang sedang berjongkok sambil
tersenyum geli menyodorkan setangkai mawar merah kepada seekor kucing.
Sedangkan kucing itu, dengan kaki depannya yang terangkat seolah ingin menerima
bunga itu, sedangkan matanya terlihat begitu ’heran’ dengan pemberian yang luar
biasa itu.
”Gus. Siapa gadis kecil
ini, Gus?”
Agus masih terdiam.
“Gus, coba lihat ini. Terus
terang aku mengatakan gambar ini sangat bagus. Aduh Gus, coba deh lihat!”
Dengan sedikit malas Agus
membalikkan badannya menghadap komputer.
”Gadis kecil itulah adikku,
Erin.”
”Inikah dia Gus?”
”Gambar itu sempat kuambil
ketika dia datang meminjam kameraku. Yah, waktu itu aku coba memberi tahu
bagaimana cara memakainya. Sempat pula ia melihat bagaimana memindahkan gambar
di kamera itu ke dalam komputer, bila memorinya telah penuh.”
Doni tersenyum.
”Aku kira gambar ini sangat
bagus, Gus. Kamu kirimkan saja gambar ini untuk sayembara itu, Gus.”
Agus menggeleng lemah.
”Ah, tidak Don.”
”Ayolah, Gus.”
”Gambar itu buat kamu aja deh
Don. Terserah hendak kamu apakan gambar itu.”
Doni mengangguk. ”Baiklah,
Gus.” Dalam hatinya Doni berniat mengirimkan gambar itu atas nama Agus,
disamping mengirimkan gambar miliknya sendiri dalam lomba foto itu.
#
Agus tengah bersiap untuk
istirahat sepulang dari kampus ketika ponselnya berdering.
”Dari Doni,” gumamnya.
”Assalamualaikum. Ada apa
Don?”
”Bisa. Memangnya kenapa?”
”Benarkah?”
”Ya udah. Tunggu aku di
kampus. Aku ganti pakaian dulu. Aku segera kesana.”
”Iya, waalaikumsalam.”
#
Dengan wajah yang berseri-seri
dan senyum yang selalu menghias bibirnya, Doni mengajak Agus ke Balai Kota. Di
sana akan dipajang foto-foto hasil karya dua dimensi yang menjadi pemenang
lomba dan yang masuk sebagai nominasi.
Sesampainya di Balai Kota,
Doni langsung menyeret Agus ke foto yang dinobatkan sebagai pemenang.
”Aduh Don, pelan-pelan dong.
Aku mau lihat foto-foto itu urut dari sebelah sini dulu.”
”Sudaaah. Ayo ikut aku, aku
ingin menunjukkan sesuatu kepadamu,” Doni begitu bersemangat menyeret Agus.
Agus terperangah ketika
dilihatnya gambarnya terpampang di deretan tiga besar para pemenang lomba foto
tersebut. Di bawah foto itu tertulis judul gambar: ”Hadiah yang Tulus untuk
Seekor Kucing” karya Agus Ramdhan. Doni membiarkan Agus terkejut untuk beberapa
saat.
”Don, gambar itu...”
”Iya, gambar itu milikmu. Aku
yang mengirimkannya atas namamu,” sambil tersenyum melirik Agus yang seolah
masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
”Foto kamu meraih juara dua
dan berhak atas uang tunai 5 juta rupiah plus sebuah kamera.”
”Bagaimana dengan gambar
milikmu Don?”
”Ada di posisi ketiga, Gus. Aku memang harus terus belajar padamu,
Gus. Kamu masih saja selalu setingkat di atas aku.” Doni menunjuk foto di
sebelah foto milik Agus.
”Gadis Kecil Bermata Indah Menari Bersama Kupu-Kupu,” Agus
mengeja judul gambar milik Doni. ”Hm, cukup manis Don.”
Doni memeluk Agus. Ia merasa begitu bahagia telah dapat
sedikit memberikan sesuatu kepada sahabatnya, Agus.
Doni melepas pelukannya, ”Gus, akhirnya kamu mendapatkan
sebuah kamera yang lebih bagus sebagai ganti kameramu yang hilang.”
Namun Agus justeru terdiam. Seakan teringat sesuatu,
perlahan ia berucap, ”Apakah aku masih bisa mendapatkan kembali Erin yang
hilang, Don?” ***
Baca Juga Cerpen Lawas Lainnya: Esok Masih Ada Matahari dan Kotak Ajaib :) Hihihi