Kehamilan Maria, Bagian 1
rifanfajrin.com - Kehamilan Maria, bagian 1
Baca bagian cerita sebelumnya, Berlibur
Tuhan memang perkasa. Maria yang keriput akhirnya hamil.
Maria dapat merasakannya. Nalurinya mengabarkan hal itu kepadanya. Meski
kehamilan adalah satu pengalaman yang sama sekali baru, belum pernah sekalipun
ia rasakan, tapi Maria telah dapat meyakinkan dirinya bahwa ia sedang hamil.
Maria sepenuhnya paham mengapa perutnya terasa mual.
Berkali-kali ia mondar-mandir ke belakang sebab muntah. Namun, ia masih cukup
memiliki tenaga untuk berlari-lari dan berteriak memanggil suaminya. Ia ingin
segera menumpahkan kegembiraannya.
“Fallev? Kau di mana?” katanya. Ia berlari-lari kecil di
dalam rumahnya yang luas. Mungkin ia terlalu tergesa, hingga tak sengaja ia
menyenggol sebuah guci.
Prang!!! Guci itu pecah berantakan.
“Oh, Tuhan!” Maria sempat terkejut. Namun keterkejutan itu
tak berlangsung lama.
“Hm, meski kau hancur berantakan, itu tak cukup untuk
menghancurkan kegembiraan hatiku!” kata Maria kepada guci itu.
Maria terus mencari-cari Fallev. Ia mencarinya di kamar, di
loteng, di gudang bawah tanah tempat menyimpan segala kekayaan, dan setiap
sudut rumahnya. Namun, tak kunjung ia dapatkan Fallev.
Maria menghambur ke luar.
“Fallev, kau di mana? Jangan-jangan kau pergi meninggalkanku
lagi.”
Berulang-ulang Maria memanggil Fallev. Ia pun melangkah ke
kandang kuda-kuda putihnya. Ia sempat khawatir, bila saja Fallev ternyata pergi
lagi membawa kuda-kuda kesayangannya. Namun, ia dapati kudanya masih berada di
kandangnya, lengkap dengan keretanya.
“Oh, mungkin dia di taman,” katanya lirih pada dirinya
sendiri. Hanya tamanlah satu-satunya tempat yang belum diperiksanya,
satu-satunya tempat yang bisa diharapkan Maria untuk mendapatkan Fallev.
Benarlah dugaan Maria. Ia mendapati Fallev sedang berkeling
taman mengamati bunga-bunga. Ya, selain menyukai kuda, Fallev juga mencintai
bunga-bunga.
“Fallev!” Maria berteriak, seketika membuyarkan konsentrasi
Fallev pada bunga-bunga itu.
Maria menghambur ke arah Fallev, dan memeluknya sebentar.
Kemudian ia meraih tangan Fallev dan menariknya untuk duduk di kursi taman.
“Fallev, coba kau rasakan!” desak Maria dengan mata
berbinar-binar. Maria membimbing tangan Fallev dan meletakkan di perutnya.
“Ada apa dengan perutmu, Maria?”
Maria mengerling, tersenyum. Ia berbisik, “Sepertinya aku
telah mengandung, Fallev!”
Ia pun tertawa, bahagia.
“Benarkah, Maria?”
Maria mengangguk.
“Oh, terima kasih, Tuhan! Kau telah menjawab doa kami!”
teriak Fallev sambil menengadahkan kedua tangan dan muka ke atas, menatap
langit-langit.
Fallev bisa membendung luapan kegembiraan hatinya. Ia memeluk
Maria, menciumi wajah dan keningnya berkali-kali.
Fallev pun menggendong tubuh Maria, menari-nari di tengah
taman. Keduanya sama-sama menyadari bahwa mereka tengah bahagia.
Begitu riangnya mereka menari, hingga tubuh mereka terhempas
di atas rumput-rumput hijau. Fallev dan Maria jatuh, saling menindih. Wajah
mereka sangat dekat. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian mereka
kembali tertawa.
“Mulai sekarang, kau harus lebih menjaga dirimu, Maria. Kau
tak boleh terlalu lelah. Kau pun tak kuizinkan lagi terjaga hingga larut malam
dan menatap bintang-bintang,” kata Fallev sambil tersenyum menyentil hidung
Maria.
“Dan sekarang, aku yang akan bertugas mengurus segala
keperluan. Kau, Maria, tak usah lagi melakukan apa pun selain menjaga fisik dan
kesehatanmu. Menjaga diri sendiri, dan anak kita!” lanjut Fallev.
Maria tersenyum, seolah mengejek.
“Ah, Fallev, untuk saat ini, kurasa aku belum perlu
melakukannya. Usia kehamilanku masih sangat muda. Lagipula, apakah kau bisa
memasak, Fallev?”
Fallev mengangguk, “Tentu saja, apanya yang sulit? Hanya
memasak? Mudah saja.”
“Nanti, kalau usia kehamilanku telah lebih empat bulan,
barulah nanti kau yang harus mengurus segalanya, Fallev!” sahut Maria dengan
tertawa.
Fallev kembali mencubit hidung Maria, mesra.
“Namun tidak, Maria. Kau banyak beristirahat saja, aku yang
akan mengerjakan semuanya. Serahkan semua padaku, Nyonya!” katanya bercanda.
Hari-hari berikutnya, menjadi hari yang istimewa bagi
kehidupan rumah tangga Fallev dan Maria. Bukan hanya karena mereka menyadari
bahwa mereka akan segera memiliki anak. Namun juga karena terlihat pemandangan
yang aneh dan menggelikan, Fallev yang mengerjakan semua keperluan. Memakai
celemek saat memasak, mencuci, membersihkan kebun dan memotong rumput taman,
hingga mengelap kaca-kaca dan segala perhiasan.
Fallev pun tak bosan-bosannya mengingatkan Maria untuk selalu
memakan makanan yang baik, menjaga kesehatan, dan merawat kandungannya itu.
Sampai-sampai Maria terkadang geli melihat tingkah Fallev.
“Bertahun-tahun aku hidup denganmu, baru sekarang aku tahu,
bahwa ternyata kau sangat cerewet, Fallev. Hmm,” ujar Maria dengan geli.
“Benarkah? Benarkah aku sangat cerewet?” tanya Fallev
keheranan.
“Ya.”
Maria kembali tertawa. Dalam pikirnya, bagaimana pun Fallev tak
lebih tahu daripada dirinya tentang kondisi anak yang dikandungnya. Dan selama
ini Maria merasa baik-baik saja. Ia tak pernah kelelahan. Ia pun selalu makan
dengan teratur. Sedangkan Fallev beranggapan bahwa justru dengan perasaan Maria
merasa baik-baik saja itulah yang bisa saja melenakan. Siapa tahu, karena
merasa kuat dan sehat lantas Maria memaksakan diri untuk mengerjakan pekerjaan
rumah yang terasa cukup berat.
Seperti halnya Maria, Fallev sudah tak sabar menantikan saat
kelahiran anak pertamanya itu. Hingga dalam berbagai kesempatan, ia mengajak
Maria mencari nama yang pas untuk anaknya kelak jika telah lahir.
“Maria, kau sudah punya nama yang bagus buat anak kita?”
tanya Fallev pada suatu ketika.
Maria terdiam sejenak, tampak berpikir.
“Emm, jika anak kita terlahir laki-laki, aku belum memikirkan
nama untuknya. Namun, aku ingin memberi nama Nadine jika anak ternyata ia
perempuan. Bagaimana menurutmu, Fallev?”
“Nama yang bagus, Nadine. Tapi, bagaimana jika anak kita
ternyata laki-laki? Kau tak ingin memberinya nama?”
“Aku rasa, kau lebih pandai mencari sebuah nama yang bagus
bagi anak lelaki, Fallev. Jujur saja, aku sebenarnya sangat mendambakan seorang
anak perempuan, pasti ia akan sangat cantik.”
“Anak perempuan?”
“Ya, seorang anak perempuan. Dalam tidurku aku telah
seringkali bermimpi bertemu seorang gadis kecil. Gadis dalam mimpiku itu
sangatlah periang, Fallev. Entah mengapa, setiap aku hendak merebahkan badanku,
aku ingin sekali bertemu dengannya dalam mimpiku. Dan aku pun tak tahu mengapa,
meski hanya bertemu dalam mimpi, aku merasa telah cukup sering dan akrab dengan
memanggilnya Nadine.”
Fallev memperhatikan curahan hati Maria dengan seksama.
“Namun, aku pun cukup
senang andai yang lahir dalam rahimku ini ternyata anak laki-laki, Fallev.”
Fallev menghela napas dalam-dalam.
“Ya, kau benar, Maria. Aku pun tak terlalu mempermasalahkan
entah anak kita nanti laki-laki atau perempuan. Bagiku sama saja,” ujar Fallev
kemudian sambil mengusap perut Maria dan menciuminya.
“Aku senang mendengarnya, Fallev. Kini kurasa kita bisa
berbagi, Fallev. Andai anak kita perempuan, maka aku yang akan memberinya nama,
Nadine. Sedangkan jika ia terlahir laki-laki, maka kau yang berhak memberinya
nama, Fallev.”
“Baiklah, cukup bagus kedengarannya.”
Fallev menyetujui usulah Maria.
“Namun, Fallev,” tiba-tiba Maria teringat, “apakah kau sudah
mempunyai sebuah nama bagi anak kita jika ia laki-laki?”
Fallev terdiam sejenak, lalu ia berkata dengan mantap, “Aku
beri dia nama Harits!”
Bersambung ke bagian 2