Mengasingkan Diri, Bagian 1
rifanfajrin.com - Mengasingkan Diri, Bagian 1
Baca bagian cerita sebelumnya: Kehamilan Maria
Baca bagian cerita sebelumnya: Kehamilan Maria
Mengasingkan Diri
Mereka berhenti. Di hadapan mereka kini telah terbentang
sebuah padang. Padang itu sangatlah luas, seluas harapan mereka untuk dapat
melapangkan hati dan pikiran. Namun padang itu pun sunyi, yang memang
diinginkan oleh mereka untuk menjauhkan diri dari keramaian. Di padang itulah,
mereka mencoba menata kembali kehidupan, berharap sebuah keajaiban akan kembali
menyapa mereka. Di padang itulah, padang harapan.
Mereka melepaskan pandangan ke sekeliling padang, merenungi jejeran
pematang di depan mereka dengan pikiran yang jauh.
Matahari memancar dengan terik dan bayang-bayang pohon dari pematang telah membentuk suatu
konfigurasi bayang kehitaman yang mampu melidungi mereka. Kesejukan tiba-tiba
saja datang tatkala angin dari gunung meniup pelan dan menyibakkan
rambut-rambut mereka. Mereka memejamkan mata sejenak, dan menghirupnya
dalam-dalam. Alangkah damainya hati mereka rasakan.
Kini mereka benar-benar telah melepaskan semuanya. Mereka tak
lagi memikirkan apa pun. Tak ada lagi kekayaan dan harta selain beberapa potong
pakaian dan jaket untuk melindungi badan dari dingin yang menusuk, beserta
beberapa ekor domba sebagai pengisi kesibukan mereka.
Ya, mereka telah bertekad untuk menghabiskan akhir masa di
sini, di padang harapan. Tak ada lagi keinginan memaksakan untuk memiliki anak
sebagai penerus kebesaran armada dagang Fallev. Meskipun demikian, mereka akan
sangat bersyukur andai Tuhan masih mau memberi pada mereka kesempatan untuk
memiliki anak.
Tidak memerlukan banyak pertimbangan ketika mereka memutuskan
untuk mengasingkan diri ke tengah padang itu. Semua berjalan begitu saja,
memang terkesan terburu-buru dan tanpa pikir panjang. Semua itu atas keinginan
Fallev.
Bagi Fallev, yang terpenting sekarang adalah menyingkirkan Maria
dan membawanya ke tempat yang lebih damai dan tenang. Sekecil apa pun yang
sekiranya dapat menjadikan Maria teringat akan kegagalan-kegagalan yang
akhirnya berujung pada ketakutan dan trauma, segera ia tinggalkan jauh-jauh.
Meskipun Fallev sempat merasa sayang, mengingat usaha dan kerja kerasnya dalam
mengumpulkan segala kekayaan dan kemewahan itu tidak mudah, semua pencapaian
telah ditebus dengan segenap jiwa.
Maka, setelah berkali-kali meyakinkan diri bahwa segala
kemewahan dan kekayaan tak bernilai apa pun, dan menyadari bahwa jalan yang
ditempuh untuk mendapatkan Maria adalah jauh lebih terjal, maka ia pun rela
meninggalkan segala kemewahan itu.
Ia tinggalkan rumah istananya itu, yang masih saja menyimpan
nilai tinggi meskipun beberapa saat lalu ia telah membagi-bagikan sebagian
besar harta kekayaannya kepada orang-orang yang telah teruji mengabdikan
dirinya untuk berkhidmat kepada Fallev.
Kuda-kuda putih kesayangannya, yang selalu ia banggakan, yang
selalu menjadi obsesinya sejak kecil, pun ia lepaskan ke tengah hutan. Biarlah
ia menjadi kuda yang selalu membawa keberuntungan dan kedamaian, tak peduli
siapa pun yang akan beruntung mendapatkannya, pikir Fallev. Ia lepaskan
kuda-kuda itu, seolah sedang melepaskan
segala gelisah.
Hal paling berat dirasakan Fallev adalah saat ia mengambil
keputusan untuk meninggalkan segala keperluan yang telah ia siapkan untuk putra
atau putrinya kelak saat ia lahir ke dunia. Sebuah pedang dan perisai berlapis
emas, beserta jubah-jubah mungil yang halus, telah terukir nama Harits.
Sedangkan gaun-gaun mungil dan sebuah kalung berlian bertuliskan Nadine, telah
dipersiapkan oleh Maria untuk menyambut putrinya.
Sebuah taman dan kolam-kolam pemandian yang sejak awal pendirian istananya telah khusus dipersiapkan bagi putranya dengan sangat terpaksa mereka tinggalkan, sekaligus meninggalkan sejuta harapan akan datangnya kebahagiaan yang telah dirancang sedemikian indah. Getir dan sesak menyelimuti dada Fallev dan Maria melihat kenyataan bahwa pada akhirnya mereka harus meninggalkannya, menjadi sia-sia belaka, hanya sebagai sebuah taman dan kolam yang berisikan impian-impian dan kenangan kegagalan. Mereka kini hanya bisa berangan-angan, menghibur diri, biarlah taman dan kolam-kolam itu menjadi tempat bermain yang mengasyikkan bagi bocah-bocah tak berdosa dari surga yang suatu saat berhasrat turun ke dunia untuk mencari keindahan-keindahan.
Bersambung ke Bagian 2