Mengasingkan Diri, bagian 3
rifanfajrin.com - Mengasingkan Diri Bagian 3
Baca bagian cerita sebelumnya: Mengasingkan diri bagian 2
Sejenak Fallev termenung. Matanya menatap lurus ke air yang
mengalir itu. Pikirannya mengalir seiring laju air itu. Sungai yang indah itu
siapakah yang menciptakannya? Dan lalu siapa yang berhak memilikinya? Di tempat
yang sesunyi itu, ia tak mendapati siapa pun. Benarkah ia telah yakin akan
benar-benar tinggal di tempat itu? Dengan hanya berdua saja bersama Maria?
Kerumunan ikan-ikan membuyarkan lamunannya.
“Wow, bagus!”
Bukan main girangnya hati Fallev melihat ikan-ikan
berwarna-warni saling mengejar dan berlenggak-lenggok di hadapannya.
“Oh, hidup ini begitu mudah!” teriaknya.
Ia segera bangkit dan mengenakan kembali terompahnya. Ia
berlari menaiki jalan setapak itu kembali. Hampir saja ia terpeleset karena
sangat tergesa. Fallev sangat menyadari bahwa dirinya sangat bersemangat. Ia
telah bisa meraba apa saja yang akan dilakukannya. Sesuatu yang ke depan bakal
menjadi kesibukannya menjalani hari-hari. Paling tidak, dalam benaknya telah
ada gambaran, selain ia akan menggembalakan domba-dombanya, ia juga bisa
memancing ikan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ia juga bisa bertani,
menggarap ladang, dan menanam berbagai macam tanaman. Air juga tak lagi menjadi
persoalan. Ia bisa mendapatkannya dengan mudah.
Fallev terus berlari. Ia tersenyum sesampainya di samping
Maria yang masih terlelap. Wajahnya menandakan ketenangan dan kedamaian, meski
gurat-gurat kelelahan pun terlukis. Melihat ketenangan itu, ia menjadi ragu
untuk membangunkannya. Biarlah nanti saja aku mengabarkan tentang air yang
menyenangkan itu, batin Fallev.
Fallev pun mulai mendirikan gubuk sederhana untuk memulai
kehidupannya. Dalam waktu yang tak terlalu lama, ia telah berhasil mengumpulkan
kayu-kayu untuk mendirikan gubuk rumahnya. Ia memasangnya di antara pohon-pohon
yang dia gunakan sebagai tiang tambahan penyangga rumahnya. Untuk sementara,
rumah itu tak berdinding. Ia hanya membentangkan sehelai kain yang cukup lebar
untuk menutupi dua sisi agar tak terlihat dari depan dan satu sisi samping. Ia
juga telah mengumpulkan ranting-ranting kecil untuk menyalakan api. Ia berpikir
belum perlu untuk memiliki tempat menampung air, sebab air bisa dengan cukup
mudah didapatkannya. Ia hanya perlu berhati-hati saja untuk berjalan menuruni
jalan setapak untuk mengambil air.
Saat Maria terbangun, ia agak tercengang mendapati sebuah
gubuk sederhana telah berdiri.
“Fallev, kau yang melakukan semua ini?”
Fallev hanya tersenyum, disusul senyum Maria.
“Aku rasa kita tak keliru telah memilih tempat ini.”
“Seyakin itukah, kau?”
“Ya, aku telah berjalan-jalan di sekitar sini, dan cukup
menggembirakan keadaannya.”
“Tak ada tanda kehidupan di sini, kau yakin dapat
menjalaninya sendirian?”
“Bukankah aku tak sendirian, tapi berdua dengan kau?”
“Ya, tapi jika suatu saat kita membutuhkan apa-apa?”
“Kurasa kita tak membutuhkan apa-apa lagi. Seperti yang
sudah-sudah, aku cukup yakin dengan kemampuanku.”
“Tidak ada seorang pun yang tahu kita berada di sini, Fallev.
Tidakkah kau merasa perlu memberi tahu Liesha tentang keberadaan kita? Untuk
sewaktu-waktu kita butuhkan bantuan darinya?”
“Kurasa cukup, Maria. Biarkan Liesha menjalani kehidupannya
yang bahagia di sana. Sudah saatnya dia terlepas dari bayang-bayang kehidupan
kita. Aku tak mau selamanya ia menjadi pelayan kita. Aku tak mau mengganggunya
lagi.”
“Kita mengganggunya?”
“Bukan itu maksudku. Tapi aku tak mau ia kembali repot. Aku
rasa kita sudah mendapatkan segalanya dalam hidup, di samping seorang anak yang
masih menjadi dambaan. Namun, kurasa Liesha berhak merdeka dengan kehidupannya
kini. Biarkan ia terfokus menjalani hidupnya.”
Maria tak melanjutkan bicara. Fallev mengerti. Kini ia tinggal
menjalani kehidupannya lagi. Meneruskan hidup yang sebenarnya tak lagi menarik.
Semua dilakukannya semata-mata hanya tak mau menyia-nyiakan anugerah dan
kesempatan bernapas. Kini mereka membuang pikiran kerumitan-kerumitan hidup.
Hidup tinggal untuk dijalani. Pasti akan datang kesenangan-kesenangan yang tak
terduga.
Dan hari itu merupakan awal kehidupan masa tua, masa
menunggu. Tak lagi menunggu munculnya seorang anak di tengah-tengah mereka,
tetapi hanya menunggu berakhirnya masa tua, berakhirnya kehidupan.
Sekali lagi, mereka tak menyesalinya. Satu-satunya yang patut
disesali adalah bahwa setua itu mereka tak kunjung dikaruniai seorang anak.
Selebihnya, tak ada lagi.
Mereka mengawali hari lebih pagi dari biasanya. Saat kabut
masih menghinggapi, dingin menyelimuti, Fallev telah terbangun. Rutinitas
sehari-harinya ketika bangun adalah memuji kebesaran Tuhan. Ia masih dapat
menghisap dalam-dalam udara pagi sambil melemaskan otot-otot dan tulangnya yang
tua. Banyak tertidur di masa tua sangat tak baik dirasakannya. Ia tertawa
ketika melepaskan domba-dombanya ke tengah padang. Sama sekali ia tak khawatir
serigala akan memangsa domba-dombanya. Acara bangun pagi menjadi sungguh
menyenangkan baginya.
Pada pagi yang buta ia selalu merindukan gemercik air sungai.
Sungai itu sungguh memiliki pancaran pesona yang kuat, hingga Fallev selalu
ingin menyentuh airnya untuk mengawali pagi.
Selalu seperti itu. Pada awalnya Maria terheran saat bangun
pagi dan mendapati Fallev sudah tak didapatinya. Ia juga sudah mendapati domba-dombanya
di terlepas bebas di tengah padang rumput yang basah oleh embun. Namun,
lama-lama ia paham rutinitas Fallev ketika selalu saja ia mendapati Fallev
dalam keadaan segar. Sepagi itu ia mandi dan menyelam di sungai. Dan Fallev
selalu membawa beberapa ekor ikan untuk sarapan pagi mereka.
“Hai, apa yang kau bawa itu, Fallev?” tanya Maria dengan
riang.
“Lihatlah, aku membawa ikan untukmu!” sahut Fallev.
Ia memperlihatkan dua ekor ikan segar yang masih
bergerak-gerak ekornya. Ikan-ikan itu cukup besar, sebesar lengan Maria.
“Taruh saja di belakang, Fallev. Aku ingin menangkapnya
sendiri. Aku ingin turun pula!”
“Hahaha,” Fallev tertawa. “Baiklah, siapa yang mendapatkan
lebih banyak ikan, dialah pemenangnya!” tantang Fallev.
“Baiklah,” sahut Maria sambil tertawa.
Berdua mereka menuruni jalan setapak. Maria berjalan di
depan. Fallev mengikuti dari belakang. Ranting-ranting yang menghalangi
perjalanan telah disingkirkan oleh Fallev. Bekas-bekas ranting yang melintang
itu, yang kini telah terpotong, sekarang justru dapat menjadi pegangan agar tak
tergelincir. Jalan yang harus dilalui sudah tak sesulit saat pertama kali
dilalui sebab Fallev telah membuatkan rambu-rambu pada bagian mana yang
sebaiknya ditapaki. Tentu sangat memudahkan Maria, meskipun tetap saja ia masih
harus sangat berhati-hati.
Maria sangat bersemangat. Ia telah merasakan kesejukan air
itu. Namun keadaannya sekarang, ia berhasrat mengalahkan Fallev dalam
perlombaan menangkap ikan.
Bersambung ke bagian 4