Ketenangan Yang Terusik, Bagian 2
rifanfajrin.com - Ketenangan yang terusik, bagian 2
Baca sambungan cerita sebelumnya: Ketenangan yang terusik, bagian 1
Baca sambungan cerita sebelumnya: Ketenangan yang terusik, bagian 1
Dalam pengamatannya, sesekali ia mendesis.
“Akhirnya kutemukan kau! Kemana lagi kau akan menghindar?
Tunggulah aku buat perhitungan dengan kau!”
Laki-laki itu mengenakan jubah hitam panjang yang menyentuh
mata kakinya. Ia juga mengenakan penutup kepala hitam sederhana, dengan penutup
wajah yang cukup lebar berbentuk segitiga. Penutup wajah itu baru akan ia gunakan
sewaktu-waktu saat ia muncul di keramaian, atau ketika ia memang sedang ingin
memakainya.
Sekitar tujuh puluh meter jaraknya dari Fallev, ia berdiri
mematung di rerimbunan semak-semak. Nyaris tak bergerak, sehingga Fallev sejauh
itu belum juga menyadari kehadirannya. Barulah Fallev terperanjat dan
menyadarinya ketika lelaki itu berjongkok hendak mengambil batu kerikil di
dekat kakinya. Lelaki tua itu bermaksud melemparkannya ke kepala Fallev.
Fallev cepat menoleh ke lelaki tua itu. Namun, seperti asap
laki-laki itu lenyap tiba-tiba, membuat Fallev tertegun sejenak. Ia berusaha
menata dirinya. Ia masih belum mengetahui dengan pasti sesuatu yang baru saja
dilihatnya.
Fallev meyakini sepenuhnya bahwa apa yang baru saja
dilihatnya pastilah manusia, atau jin, barangkali, entah itu berjenis laki-laki
atau perempuan. Namun, tidak mungkin itu binatang atau yang lain. Ia sangat
yakin akan penglihatannya. Tidak mungkin ia sedang berhalusinasi, berfantasi
hingga seolah-olah terbawa ke dalam suatu dunia bernama entah. Yang jelas
terjadi sekarang, ia merasakan ketenangannya mulai terusik. Dan ia sangat
membenci hal itu.
Seumur hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
mengganggunya. Sebab siapa pun orangnya akan paham, bahwa barang siapa berani
mengusik ketenangan Fallev, maka tunggulah keterpurukan datang menghantamnya,
cepat atau lambat, pasti. Dialah kesempurnaan, dialah idaman, dan dialah
pemenang. Ia tak pernah kalah dalam hal apa pun.
Perlahan jantung Fallev berdetak semakin cepat. Napasnya
memburu. Ia merasa sesuatu telah mengejeknya dan, menantangnya! Keadaan itu
menyeretnya kembali pada kemudaannya, yang suka segala macam tantangan.
Dan entah mengapa, tiba-tiba saja Fallev teringat Maria.
Sedang apa dia di sana? Apakah sesuatu juga terjadi padanya? Fallev sangat
khawatir akan keselamatannya. Terlebih dia ingat, Maria tak muncul saat dia
berteriak memanggilnya tadi, meski kemungkinan bahwa suara Fallevlah yang
memang tak terdengar dari sana masih terbuka lebar. Maka ia segera berlari
pulang untuk memastikan segalanya baik-baik saja. Berkali-kali Fallev
terpeleset dan hampir terjerembab karena memang ia sangat tergesa. Selain itu,
ia juga menyadari bahwa ia sangat gugup.
“Maria...!” teriaknya.
Sambil berlari, Fallev dapat melihat pintu rumahnya yang
setengah terbuka. Melihatnya, pikiran Fallev semakin kacau. Maria tak pernah
membiarkan pintunya setengah terbuka. Jika ia tak menutup pintu itu, ia pasti
akan membukanya lebar-lebar dengan meletakkan batu yang agak besar untuk
mengganjalnya. Pintu itu tidak terlalu tipis, tapi sangat ringan. Angin yang
bertiup dari gunung akan menghempaskan daun pintu itu, menimbulkan suara yang
memekakkan telinga dan mengagetkan jika Maria tak mengganjalnya.
Tapi mengapa Maria sekarang membiarkannya setengah terbuka?
Belum selesai Fallev menduga-duga, angin bertiup cukup kencang.
Wush! Duarrr!!!
Pintu itu terhempas menabrak kusennya.
“Oh, Tuhan!”
Debu-debu beterbangan. Pohon-pohon melambai. Sejenak
domba-domba Fallev saling berteriak, ribut. Mereka berlari-larian tak
beraturan, saling menabrak.
“Sesuatu telah terjadi di sini...” batin Fallev. “Bukan
perkara yang biasa sepertinya. Namun apa?”
Sementara domba-domba itu semakin ribut, meski tak ada
serigala, harimau, atau binatang buas lainnya yang mengancam mereka. Namun dari
gerak-gerik mereka, seakan sesuatu sedang mengancam mereka. Sesuatu yang lebih mengerikan dan jauh
lebih berbahaya dibandingkan terkaman binatang-binatang buas tersebut. Dan
Fallev rupanya sedikit dapat menangkap gelagat tak menyenangkan itu.
Jika pun sesuatu telah datang pada mereka, yang mengacaukan
ketenangan domba-domba, menggoyangkan rumput-rumput, dan meniup debu-debu
hingga beterbangan, maka bagaimanakah keadaan Maria? Di mana ia sekarang?
Apakah ia baik-baik saja, tak mengalami kekacauan batin yang mendera?
Fallev segera mengetahui jawab pertanyaan itu ketika memasuki
rumah, ia mendapati Maria terbaring lemah di atas dipan. Matanya terpejam. Ia
sedang tertidur dengan tak berselimut. Fallev pun menduga, sesuatu telah
terjadi pada Maria saat melihatnya resah dalam tidurnya. Ia terlihat seolah
menggigil kedinginan dan mulutnya terus menceracau.
“Maria!”
Diguncangkannya tubuh Maria, untuk membangunkan dan berusaha
menyadarkannya.
“Maria!”
Maria terperanjat, terbangun.
“Fallev!”
Maria memeluknya. Keringat dingin telah mengalir dari
pori-pori tubuhnya. Napasnya tersengal, dadanya turun naik. Fallev dapat
merasakannya lewat getar napas Maria yang memburu.
Fallev mengelus punggung Maria untuk menenangkannya. Ia
hendak berdiri untuk mengambil air minum. Namun Maria menahannya. Ia tak mau
melepaskann pelukan itu, bahkan semakin mengeratkannya.
“Tetaplah di sini, Fallev!”
“Baiklah,” ucapnya.
Fallev menunggu keadaan berangsur tenang. Angin-angin telah
terhenti, domba-domba tak lagi menjerit. Perlahan dilepasnya Maria, segera
ingin tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
“Aku bermimpi sangat buruk, Fallev!” kata Maria memulai
ceritanya.