Terpuruk, Bagian 1
rifanfajrin.com - TERPURUK, bagian 1
Baca sambungan cerita sebelumnya: Ketenangan yang terusik
Baca sambungan cerita sebelumnya: Ketenangan yang terusik
TERPURUK, BAGIAN 1
Pertemuan Fallev dengan lelaki tua, juga pertemuan Maria dengan sosok yang
sama di dalam mimpinya, telah menghadirkan suasana yang tak nyaman dalam
kehidupan Fallev dan Maria. Kehadiran sosok itu merupakan sinyal ancaman baru. Ketakpastian
pada maksud yang hendak dicapai lelaki tua itu saja sudah menjadi satu hal yang
mengusik ketenangan mereka. Belum lagi kekhawatiran, atau ketaksiapan Maria
menerima kenyataan jika mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Maria sedikit
banyak telah berusaha menerima keadaan dan ikhlas andai pun selama hidupnya ia memang
tak diizinkan berkesempatan memiliki seorang anak. Namun, jika yang telah
terjadi adalah sebenarnya ia telah memiliki anak, hanya saja kemudian anak itu
diambil oleh seseorang tanpa sebab yang dapat dimengerti Maria, bukankah itu
menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan? Yang kemudian membuat Maria sering
bertanya kembali, bercermin menyesali diri, dosa apakah sebenarnya yang telah
diperbuatnya bersama Fallev yang menyebabkan ia harus menerima kutukan itu
sampai akhir hayatnya?
Hari-hari menjadi lesu. Tak ada lagi acara bercanda, bermain-main, dan
menangkap ikan di sungai. Domba-domba dilepas begitu saja ke tengah padang. Jika
Fallev mau cermat mengamati, domba-dombanya terlihat semakin kurus meski belum
ada yang menggelepar mati karena kelaparan.
Hari-hari Maria hanya termenung. Tak banyak yang dapat dilakukannya. Ia
lebih memilih diam di kamarnya, membuatnya semakin terasing di dalam rumahnya sendiri.
Hingga saat itu, Maria masih keras kepala dan tak mau ikut berjalan-jalan
bersama Fallev. Seperti domba-dombanya, ia juga semakin kurus dan kering.
Wajahnya semakin pucat. Nafsu makannya menurun drastis bahkan hilang. Ia tak
bergairah memasak sehingga keperluan makan diatur semuanya oleh Fallev. Fallev
jugalah yang dengan sabar dan telaten menyuapi Maria agar mau makan.
Meskipun keadaan Maria telah demikian memprihatinkan, Fallev tetap saja
belum ingin menghentikan kebiasaannya berjalan-jalan di pagi atau sore hari.
Hanya saja tujuannya telah agak berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya ia
hanya ingin berjalan-jalan menikmati indahnya alam dan kesunyian, kini ia ingin
lebih menemukan ketenangan. Ia ingin melakukan perburuan spiritual pada dirinya,
menemukan zat yang berkuasa penuh atas dirinya. Maka dicapainya bukit dan
gua-gua, tempat paling sepi di dunia.
Selain itu, Fallev tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia masih
penasaran pada sosok lelaki tua misterius itu. Di samping perasaan was-was dan
khawatir yang masih menghinggapi dirinya. Namun, demi cintanya pada Maria ia
tak mau menyerah kalah. Sejauh mungkin ia mengusir segala rasa inferior dalam
dirinya, dan menanamkan keyakinan sebesar-besarnya bahwa ialah pemenang sejak
awal diciptakannya. Ia tak pernah kalah menghadapi apa pun juga.
Tak ada persiapan khusus untuk menghadapi lelaki tua renta itu. Semuanya
belum pasti, meski tanda-tanda telah begitu jelas, pikirnya. Ia belum dapat
mengatakan bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah memang lelaki renta itu,
yang pernah mencoba mencelakainya dengan sebutir batu kerikil. Semoga saja yang
dihadapinya adalah musuh berwujud manusia, meski pada akhirnya nanti mungkin
saja terkuak bahwa ia adalah manusia sakti, ia berharap. Bukankah setangguh dan
sesakti apa pun manusia, ia masih dapat berbicara? Setidaknya masih bisa
dijelaskan duduk perkaranya, apa yang sebenarnya telah terjadi hingga ia seolah
begitu benci dan ingin menghancurkan keluarganya. Namun, andai pun pembicaraan
tak tercapai, Fallev telah bersiap. Apakah yang mesti ditakutkan lagi ketika
harapan dan angan-angan tak lagi panjang. Bahwa mengakhiri hidup dengan
perjuangan adalah lebih mulia daripada menyerah pada keadaan. Dan kini ia telah
siap jika saja sesaat setelah batinnya selesai berbicara, lelaki renta itu
muncul di hadapannya.
Angin masih tenang dan damai. Rumput-rumput bergoyang dihembus semilirnya
angin. Dahan-dahan bergerak berkerosak dipijak kawanan burung-burung kecil
berirama.
“Lelaki tua, siapa kau?” Pikiran Fallev masih belum bisa terlepas dari
bayang-bayangnya. Dalam diamnya, saat ia mencoba terpejam pun, bayang-bayang
itu masih saja selalu hadir, dan terkekeh, menyiratkan sinar culas dari matanya
yang cekung.
Keadaan itu pula yang membuat Fallev semakin tak sabar. Ketaksabaran
memang telah menjadi sifatnya yang paling menonjol. Ia tak sabar ingin segera
mengetahui akhir dari kemelut itu daripada ia dan terutama Maria harus tersiksa
dirundung kecemasan dan ketakpastian. Baginya, jika ternyata berakhirnya
kelangsungan kehidupan rumah tangganyalah yang terpaksa menjadi pilihan, itu akan
sama baik jika penyelesaian yang manis juga sudah tak bisa diupayakan.
Maka, jauh dari dalam batinnya muncul dorongan yang sangat kuat untuk
berteriak, “Lelaki tua! Muncullah ke hadapanku sekarang juga!”
Ia berteriak menatap bukit di hadapannya. Untuk sementara bukit itu
baginya adalah representasi lelaki tua sebelum kemunculannya. Bukan hanya
karena kebetulan bukit itulah yang berada di hadapan Fallev, tetapi bukit itu
juga angkuh. Ketinggian itu adalah kecongkakan, dan misteri.
“Muncullah sekarang, Pak Tua!”
Sambil terus berteriak, Fallev mengambil batu kerikil dan melemparnya ke
arah bukit itu.
Tak ada perubahan.
Emosi dalam dada Fallev
menyeruak. Ia sangat-sangat lelah, frustasi, dan putus asa. Telah berkali-kali
dilemparnya kembali batu arah bukit itu, hingga lama-kelamaan lemparannya
semakin melemah dan tak tentu arah. Ia melempar ke arah mana saja ia mau.
Dilemparnya batu ke arah sungai, jurang, bukit, dan langit. Napasnya tersengal.
Ia melempar matahari.
Bersambung ke bagian 2