Belajar dari Burung Pipit
Tatkala api yang dinyalakan Namrud untuk membakar Ibrahim AS mulai berkobar-kobar dahsyat –yang baru padam setelah empat puluh hari kemudian–, dan Ibrahim telah dilemparkan dengan ketapel raksasa ke dalamnya, risaulah seekor burung pipit. Ia tak tahan melihat kekasih Allah itu dibakar hidup-hidup. Ia mondar-mandir, terbang kesana kemari tak menentu. Apa yang harus ia perbuat melihat kemungkaran di depan matanya itu?
Akhirnya burung kecil itu melihat kilauan cahaya dari sebuah genangan air. Terbanglah ia menghampiri air itu, ia menciduk air tersebut dan menyimpannya di dalam paruhnya. Sejurus kemudian telah terlihat ia melesat sangat tinggi ke atas api yang berkobar-kobar itu –ia terbang sangat tinggi sebab ia tak mampu menahan panas yang sangat terasa bahkan sangat jauh di atas dari tempatnya melayang– dan menyiramkan air dari dalam mulutnya itu dengan maksud memadamkan api Namrud.
Tes! Belum sempat tetesan itu menyentuh api, air itu telah lenyap menguap.
Hingga para malaikat pun heran melihatnya. Kenapa sih kamu musti repot-repot seperti itu? Bukankah sangat nyata, apa yang kau lakukan itu sia-sia belaka, burung kecil?
Namun, burung pipit tak ambil peduli. Diulanginyalah perbuatannya itu, berkali-kali! Burung itu berkata: “Hanya inilah yang bisa kulakukan. Dan sebatas inilah usaha yang kulakukan. Soal hasil, itu bukan urusanku!”
Hanya saja pipit tidak tahu, Ibrahim tak memerlukan pertolongan itu. Bahkan, ketika datang tawaran bantuan dari malaikat pembawa air yang bersedia mengguyurkan air seketika itu juga agar api padam, Ibrahim menolaknya. Begitu pula ketika datang tawaran dari malaikat yang hendak meniupkan angin yang sangat kencang, Ibrahim pun tak berkenan. Ia hanya berkata: “Cukuplah Allah sebagai penolongku.”
Benarlah, sesaat setelah Ibrahim berucap, mengabaikan segala tawaran pertolongan dan hanya bertawakal kepada Tuhannya, turunlah perintah Allah kepada api, "Qulna yaa naaru kuunii bardaw wa salaaman ala Ibrahim," --> “Wahai api, jadilah kamu dingin! Dan penyelamat bagi Ibrahim!” [Al-Anbiya':69]
***
Siapapun tahu, apa yang dilakukan burung itu memang sama sekali tak berpengaruh. Namun, ia telah bertindak benar. Ia telah melakukan apa yang ia bisa, apa yang ia mampu. Barangkali jika yang terjadi adalah burung pipit itu diikuti oleh jutaan burung pipit yang memenuhi langit dan meneteskan air dari paruhnya masing-masing, padamlah api itu, mirip-mirip pasukan ababil saat menghancurkan Abraha dan pasukan gajahnya.
Seekor burung pipit memberi contoh kepada kita, bagaimana cara bersikap (jika memang soal binatang yang memiliki sikap itu tak berterima, anggaplah bagaimana menggunakan naluri untuk melakukan sesuatu, yang pada manusia hal itu berarti berani menuruti apa yang dikatakan oleh hati).
Dalam keseharian kita dipaksa berhadapan dengan masalah bagaimana kita bersikap dan mengambil tindakan. Akan tetapi, seringnya justru kita pada akhirnya tak mengambil sikap apa pun hanya karena berpikir bahwa tindakan itu sia-sia belaka, tak bermakna. Wah, itu keliru! Lakukan saja apa yang kita bisa.
Satu contoh sederhana, soal global warming (pemanasan global) akibat dari emisi karbondioksida yang berlebihan. Orang banyak mengeluhkan naiknya suhu bumi yang semakin panas, juga ketakutan-ketakutan pada akibat yang bakal ditimbulkan dengan meningkatnya permukaan air laut setinggi satu centimeter per sepuluh tahun, bahkan mungkin lebih. Namun, untuk menghadapi global warming itu, apa yang bisa dilakukan?
“Waduh, Mas. Saya ndak tau istilah apa itu? Global warming? Bener, namanya global warming? Yang menyebabkan bumi makin panas? Apalah namanya, Mas. Yang penting saya tidak buang sampah sembarangan, menjaga lingkungan, dan sebisa mungkin mengurangi pencemaran udara. Itu saja.”
Begitulah. Dari hal-hal yang kecil, kalau sudah membudaya, dicontoh banyak orang, nanti baru akan nampak hasil. Jangan lupa, dengan contoh/praktik bisa sangat dahsyat efeknya. Tak ada satu pun di dunia yang mengajarkan mencuri, atau buang sampah sembarangan, tapi gara-gara ada orang yang melakukan pencurian, atau buang sampah sembarangan, lama-lama muncullah profesi pencuri, muncul pula seorang yang suka buang sampah sembarangan. Lagipula peribahasa mengajarkan, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, atau sedikit demi sedikit lama-lama habis sebukit, sama saja. []
_______________________________________
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Nuansa Edisi 125.