Sastra Bukan Fiktif
Isu negatif yang terlanjur berhembus dan telah berhasil mempengaruhi pola pikir dan membentuk anggapan masyarakat adalah: sastra sama sekali tidak ada gunanya untuk diajarkan!
Pada dasarnya tujuan setiap pendidikan di Indonesia adalah untuk tiga hal: memberikan pengetahuan/ilmu yang luas, memberikan keterampilan yang memadai, dan menumbuhkan sikap yang positif/budi pekerti yang baik kepada setiap peserta didik. Demikian pula pengajaran sastra di sekolah juga bertujuan untuk ketiga hal di atas. Namun, kenyataannya di lapangan, pendidikan sastra tak kunjung memberikan hasil apa-apa.
Kegelisahan yang saat ini melanda, alangkah sulitnya meyakinkan kepada masyarakat bahwa sastra itu berguna, sebagaimana sifat dasar sastra dulce et etile. Tentu bila kita runut kita akan mendapatkan jawaban, mengapa bisa terjadi demikian?
Pertama, bila kita lihat kenyataan di lapangan, seorang yang benar-benar mendedikasikan dirinya berkecimpung dalam dunia sastra tidak memadai dari segi materi. Memang diantara beberapa orang yang memilih terjun di dunia sastra dapat meraih kesuksesan. Namun, berapa banyakkah mereka yang sukses bergelut di dunia sastra? Hingga muncul anggapan, ketika seorang memilih untuk terjun dalam dunia sastra berarti ia telah mengambil suatu keputusan yang berani sekaligus keputusan yang sulit.
Apalagi sejak krisis moneter pada tahun 1997, yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan berujung pada krisis multidimensi, telah menyeret pada masa-masa yang sulit. Krisis ini membuat bangsa Indonesia laksana berjalan di tempat. Kemajuan seolah menjadi sesuatu yang musykil untuk diraih di tengah keterpurukan pelbagai sendi kehidupan. Kelesuan terjadi di mana-mana. Perusahaan-perusahaan gulung tikar karena biaya produksi yang naik gila-gilaan. Akhirnya para sastrawan dan penerbit pun kewalahan, biaya kertas naik, royalty penulisan tidak dapat diandalkan untuk sekadar menyambung hidup.
Kedua, ada semacam label (trade mark) yang beredar lewat berbagai media yang sangat merugikan dunia sastra bahwa: setiap karya fiksi adalah hanya cerita rekaan semata, kesamaan nama dan peristiwa hanyalah faktor kebetulan yang tidak disengaja. Hal ini telah mempengaruhi pola pikir masyarakat bahwa karya sastra adalah karya bohong-bohongan, yang tidak bisa dipercaya sama-sekali, dan tidak ada gunanya untuk dikonsumsi. Fiksi dianggap hanyalah kebohongan yang dibuat-buat (direka-reka) untuk menghibur dan sekadar mengisi waktu luang. (Ariadinata: 2006). Ia adalah pekerjaan para pelamun dan pemimpi.
Padahal tentu tidak demikian. Memang ada segelintir pengarang kitsch (pengarang yang setengah hati yang berhasrat mencipta karya seni tapi malangnya ia terlalu tunduk dan takluk pada selera orang banyak) yang tidak sungguh-sungguh dalam berkarya, tidak begitu memperhatikan nilai moral dan estetika, karya sastra yang mereka buat semata-mata hanya untuk memenuhi selera pasar, digarap secara serampangan dan kejar tayang, yang nyaris tanpa ideologi yang harus diperjuangkan. Akibatnya karya sastra yang dihasilkan pun terasa kering dan monoton, ia hanya menjanjikan kesenangan, namun sesungguhnya kosong tanpa ada makna dan nilai yang dapat dipetik di dalamnya.
Sedangkan karya sastra yang sesungguhnya tidak berangkat dari kekosongan dan kebohongan. Ia ditulis dengan modal pengetahuan, dan kesungguhan dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang diteliti. Maka tidaklah mengherankan bila seorang sastrawan sejati kadang rela melakukan riset dan penelitian untuk mendapatkan data di lapangan atau melakukan studi pustaka untuk memperoleh fakta. Satu contoh adalah Seno Gumira Ajidarma yang sebelum menulis tentang Timor Timur, sebelumnya ia mempelajari tempat itu dengan serius dan cermat lewat bacaan.
Dari dua hal diatas kiranya cukup untuk menjawab mengapa sastra dipandang sebelah mata. Namun bagi mereka yang mampu meraba fungsi ataupun tujuan sastra diajarkan di sekolah pasti akan merasakan pentingnya sastra, walaupun secara sederhana.
Berangkat dari konsep manusia sebagai makhluk yang terdiri atas jasad dan ruhani, maka kehidupan yang ideal adalah suatu kehidupan dimana terdapat keharmonisan antara jasmani dan rohani. Manusia hidup bukan melulu untuk memikirkan masalah perut, tapi penting juga memikirkan untuk mengisi otak dan batin masing-masing. Jika kita merasa lapar ketika terlambat makan, mengapa kita tidak merasa sayang atau rugi ketika belum/tidak membaca karya sastra yang bermutu? (Perlu dimengerti bahwa ada dua hal untuk mengisi ruhani: ajaran agama dan karya seni).
Seorang pengarang wanita Virginia Wolf mengatakan bahwa: “roman ialah terutama sekali sebuah eksplorasi atau satu kronik penghidupan, merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu, pengaruh, ikatan, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik hasrat-hasrat manusia”. (Lubis; 1960:30). Walaupun dalam ucapan ini Virginia Wolf khusus menunjukkan pada roman dan novel saja namun hal itu berlaku juga pada fiksi pada umumnya. Dengan perkataan lain: fiksi menceritakan atau melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis, jasmani maupun rohani.
Dengan membaca karya sastra pembaca akan dapat kritis dan cermat akan bagian-bagian pengalaman manusia yang terpilih dan terkontrol, sehingga dia dapat menentukan ide dan perasaan yang dimiliki oleh sang penulis mengenai kehidupan pada umumnya, menentukan serta menegaskan apa yang disebut “visi” sang penulis tersebut.
Akhir kata, marilah kita mencoba memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, agar kita dapat lebih memberikan apresiasi terhadap karya sastra. Kita tentu tak akan pernah lupa betapa indahnya nilai-nilai yang disampaikan oleh Mustofa W. Hasyim lewat cerpen Wanita yang Bertadarus Terus-Menerus, A.A Navis dengan cerpennya Robohnya Surau Kami, Kuntowijoyo dengan Khotbah di Atas Bukit, Leo Tolstoy ketika menulis Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu, atau Karl May dengan seri Winnetou Appache-nya. []