Bahasa dan Mentalitas
Tak sengaja menemukan artikel yang lumayan bagus.
Semoga bisa jadi referensi.
[] Salam.
Bahasa dan Mentalitas
Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Menilik dari sejarah bahasa, saya mempunyai perspektif lain dari sejarah itu sendiri. Saya lebih tertarik membahas tentang keberadan bahasa itu sendiri. Saya terkesima ketika melihat orang berpidato mengalir dengan lancarnya. Bertutur tanpa ada jeda yang berari karena gagap panggung, berceramah bagai udara sore di sebuah pantai, meyejukan. Hmm… rasanya saya merasa berada masuk ke dalam kejadian sesungguhnya ketika mendengar orang bercerita atu mendongeng.
Melihat di web majalah.tempointeraktif.com, di situ terdapat artikel yang ditulis oleh Dosen Fakultas Psikologi UI menjelaskan, bahasa mencerminkan pikiran. Banyak ahli menegaskan ini. Tapi bahasa juga mencerminkan mentalitas: kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan kepekaan sosial. Pilihan dan susunan kata, juga waktu dan tempat penyampaian, bisa jadi indikator dari pengalaman seseorang berinteraksi dengan banyak kalangan, juga seberapa jauh ia terlibat dengan banyak ihwal.
Kita bisa menakar, misalnya, pengalaman dan kepekaan sosial seorang pejabat publik yang berkata, "Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah.... Kalau tahu berisiko pindah sajalah...," ketika Mentawai baru saja mengalami bencana tsunami. Juga pejabat yang bilang, "TKI-PRT telah membuat citra Indonesia buruk," ketika ada banyak TKI yang telantar di luar negeri.
Bahasa mensyaratkan intensionalitas, keterarahan untuk mencapai kesesuaian antara keadaan mental dan dunia. Intensionalitas mengarahkan orang melalui bahasa untuk memaknai, dalam arti menjadikan dunia, juga diri sendiri, bisa dimaknai. Intensionalitas adalah struktur dari kesadaran manusia yang memberi makna kepada pengalaman dan meleluasakannya membuat keputusan.
Kemampuan berbahasa, termasuk ketepatan menyampaikan pernyataan dalam situasi tertentu, mencerminkan kompetensi seseorang. Di Indonesia, ada banyak pejabat yang tindakan berbahasanya mengindikasikan rendahnya kompetensi dan kepekaan sosial mereka. []