Sang Penyelamat
Jam sembilan lebih lima belas menit.
Jalanan telah sepi. Tak ada lagi kendaraan yang melintas. Desiran angin menggoyangkan dahan-dahan. Semakin terasa sepi.
Aku menoleh ke belakang lagi. Dia masih
mengikuti aku! Semakin kupercepat langkahku. Dia juga semakin mempercepat
langkahnya, walau agak kepayahan. Dari fisiknya tak seorangpun akan mengatakan
dia orang yang jahat. Lelaki tua yang kurus dengan rambut yang sebagian besar
sudah memutih. Apalagi dia pincang. Kakinya kecil sebelah.
Tapi
aku tetap waspada atau bahkan curiga. Teringat kata-kata bapak. Zaman sekarang
ini tidak boleh percaya hanya kepada fisik. Mungkin di luarnya baik tapi di
dalamnya busuk! Telah banyak bukti. Siapakah yang menyangka seorang yang
sehari-hari dianggap sebagai seorang kyai ternyata mati tertembak polisi
gara-gara melarikan diri setelah kedapatan menyimpan heroin.
Dan
kemarin Mbak Asih kena todong seorang yang secara fisik tak tampak orang jahat.
Seorang lelaki tua berkaca mata minus. Awalnya dia tidak curiga sama sekali.
Ketika sampai di jalanan yang agak sepi barulah ia sadar. Ia telah diincar
sejak tadi. Tas berisi uang puluhan juta yang seharusnya untuk biaya operasi
anaknya terpaksa harus ia relakan.
Dan
sekarang, aku berada dalam ancaman. Kubayangkan kemungkinan terburuk yang akan
menimpaku. Kucoba mengingat-ingat. Memang uang dalam dompet yang kubawa
tidaklah seberapa dibandingkan uangnya Mbak Asih. Uang yang kubawa tidak lebih
dari tiga juta. Walaupun begitu sangat berarti bagiku. Tapi, bagaimana jika ia tidak hanya
menginginkan uang? Bagaimana kalau dia nanti menculik aku? Atau bahkan akan membunuh
aku jika aku berontak? Kurasakan bulu romaku perlahan-lahan berdiri. Aku semakin mempercepat langkahku.
Akhir-akhir
ini aku sering gelisah dan cemas jika keluar rumah. Semua ini gara-gara Heru. Berawal
dari permintaannya yang selalu macam-macam dan seenaknya sendiri itulah. Ia
tidak suka aku mengenakan kerudung. Dan seperti anak kecil aku menurut tanpa
perlawanan. Sejak itu aku tidak lagi mengenakan kerudung. Daripada kehilangan
dia, lebih baik sementara aku mengalah. Sejak itu aku selalu gelisah setiap
keluar rumah. Dan sore tadi kembali dia menginginkanku datang ke rumahnya.
Sebenarnya aku malas tapi dia mengancam. Sudah begitu, dia tidak mau
mengantarku pulang.
Sekarang
aku menyesal tidak mempedulikan ibu yang melarang aku pergi sore tadi. Memang,
sejak bapak meninggal Ibu berbalik 180 derajat. Beliau jadi tidak suka aku
bergaul dengan Heru. Awalnya ibu selalu membelaku setiap kali aku berselisih
dengan bapak. Menurut ibu, Heru adalah pemuda yang baik, ramah, sopan,
bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Pada pokoknya Heru adalah orang yang
tepat menjadi teman hidupku. Tapi tidak menurut bapak. Bapak mengatakan Heru
tidak sebaik yang aku dan ibu kira. “Jangan hanya memandang seseorang dari segi
luarnya saja !” Begitulah kata-kata bapak. Dan sekarang terbuktilah sudah.
Kadang aku menyalahkan ibu kenapa baru sekarang ibu menentangku. Justru ketika
bapak telah meninggal. Seandainya dulu bapak dan ibu kompak tidak mungkin aku
akan terjebak dalam permainan Heru. Untuk saat ini sangat mustahil aku
meninggalkan Heru. Aku bisa lebih menderita daripada sekarang ini dan akhirnya aku
bisa mati secara perlahan-lahan.
Makanya
aku bersikeras memenuhi panggilan Heru. Aku tidak menyangka akan jadi begini.
Seandainya aku tahu, tentu aku tidak akan berangkat. Apapun resikonya. Termasuk
ancaman Heru. Mungkin bisa saja aku mengarang cerita bahwa aku sedang sakit.
Bukankah selama ini aku selalu memenuhi keinginannya? Sekali saja aku tidak
datang tentu tidak akan menjadi persoalan. Namun, terlanjur sudah. Kenyataannya
aku sekarang berada di jalan ini. Berada di bawah tekanan dan kecemasan. Ah,
kenapa hari-hariku selalu diwarnai dengan ancaman dan tekanan?
Sebentar
lagi jalan menikung. Semoga ada orang yang bisa kumintai tolong. Aku semakin
berdebar. Jantungku masih berdetak cepat. Entah sampai kapan karena ketika aku
menoleh lagi dia semakin cepat saja mengejarku. Bahkan sekarang dia
melambai-lambai ke arahku. Meminta aku berhenti. Dan kulihat mulutnya seperti
ingin berbicara atau lebih tepat mencoba berteriak, namun tak ada sepatah
katapun terucap dari mulutnya. Dia bisu! Masa bodoh. Jangan harap aku bisa
tertipu. Pura-pura meminta tolong tapi selanjutnya …Todong!
Sial!
Tak kujumpai seorangpun yang dapat kumintai pertolongan. Aku sangat berharap
kedatangan seorang dewa penyelamat. Tapi segera aku sadar. Dewa-dewa hanya ada
dalam cerita. Untuk saat ini hanya ada satu pilihan: Lari dan terus lari! Aku
pasti menang. Dia seorang yang pincang!
Aku
heran. Tanpa disadari seseorang bisa mempunyai tenaga yang ekstra pada saat
berada dalam kondisi tertentu. Misalnya saat ini aku yang berada dalam tekanan.
Dan sejenak aku kagum pada diriku sendiri. Aku tidak menyangka dapat berlari
sejauh ini. Berlari dan terus berlari.
Tanpa menghiraukan lelah dan letih. Padahal biasanya aku paling tidak kuat
untuk berlari. Baru berlari beberapa meter saja aku sudah menyerah. Tapi kali
ini…Aku bahkan merasa terbang tanpa memijak bumi.
Kupastikan
aku telah jauh meninggalkannya. Aku berhenti. Kumenoleh ke belakang. Tidak
kelihatan lagi lelaki tua sialan itu. Sejenak kuatur nafasku yang memburu. Aku
menepi. Di tepi jalan aku duduk dan menyelonjorkan
kakiku. Perlahan kubuka tas yang kubawa. Tapi, oh tidak! Di ujung jalan itu… Perlahan
namun pasti. Lelaki tua itu… Dia masih terus berlari. Dia menyusulku! Aku
sangat memuji kegigihannya. Sempat terbersit dalam benakku dia adalah orang
gila! Bukankah orang gila tak pernah lelah? Tak pernah merasakah sakit, lapar,
haus!
Tapi
tidak! Aku segera meralat pikiranku. Dia bukan orang gila! Tidak ada orang gila
yang sangat bernafsu mengejar seseorang. Bahkan kepada orang yang menggoda dan
menyakitinya sekalipun. Orang gila tidak pernah menaruh dendam. Setiap
peristiwa yang menimpanya akan langsung terhapus dari ingatannya. Berbeda
dengan penjahat, penodong, pemalak, pembunuh dan semacamnya. Mereka adalah
orang-orang yang penuh nafsu. Yang tidak akan membiarkan begitu saja mangsa
yang sudah di depan mata. Termasuk lelaki tua itu ! Dia adalah penjahat!
Serigala berbulu domba!
Sekarang
dia berhasil menyusulku lagi! Dan ketika melihatku, dia melambaikan tangannya
lagi. Samar –samar kudengar dia mencoba berteriak lagi. Suaranya yang gagap dan
tak jelas itu kembali menyentuh telingaku. Dan aku tak peduli. Kuraih kembali
tasku. Dan kembali aku berlari. Kali ini dia pasti akan menyerah KO. Pulang
dengan menggigit jari dan menyumpah-nyumpah telah kehilangan seorang mangsanya.
Di
depan kulihat beberapa orang pemuda sedang berkumpul di tepi jalan. Aku
berteriak minta tolong. Sejenak pemuda-pemuda itu melirik ke arahku. Satu orang
tertawa senang. Perasaanku tak enak. Aku menduga telah salah meminta tolong. Mereka
semua pasti berandal. Benar saja dugaanku, ketika mereka melihat lelaki tua
itu, tanpa basa-basi tinju dan tendang mereka mendarat mulus di muka dan tubuh
pak tua. Pak tua roboh. Kelihatan sekali mereka sangat menikmati permainan itu.
Permainan yang tak seimbang. Aku bergidik ngeri. Ada sedikit sesal menggayuti
perasaanku.
Dan
aku tak tahu apa yang akan kualami setelah itu. Sulit kubayangkan, berandal-berandal itu pasti akan mengerjaiku
macam-macam. Sebagai balas jasa. Dalam keasyikan mereka menghajar pak tua, saat
itu juga aku langsung lari tanpa menoleh lagi. Menembus gelapnya malam.
Menghindari kemungkinan yang lebih buruk lagi.
Berlari
kumerenungi nasib yang menimpaku malam ini. Lepas dari mulut harimau masuk ke
mulut buaya. Tapi buaya-buaya muda itu lebih berbahaya daripada seekor harimau
tua.
Tertatih.
Lelah letih yang tak kurasakan tadi, kini mulai menyerangku. Sejenak ku terkapar.
Tapi perasaanku mengatakan: Aku menang! Aku bebas! Tanpa kusadari seuntai
senyum menghias bibirku. Senyum kemenangan.
Malam
semakin sunyi. Bulan tampak tak penuh berselimut awan hitam. Rupanya mendung
dan sebentar lagi hujan. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku bisa mati
perlahan-lahan. Aku bangkit. Kurasakan tenagaku mulai pulih kembali. Perlahan
kubuka tas untuk mengambil payung kecil. Ya Allah! Persendian lututku serasa
mau lepas. Dan keringat dingin mulai mengucur melalui pori-pori kulitku. Apa
yang kutakutkan benar-benar terjadi. Hilang! Lenyap! Memang kudapati payung
kecil di dalam tas. Tapi dimana dompetku? Dompetku telah hilang tercecer!
Seseorang telah mencurinya dariku! Seseorang telah mencopetnya! Aku menyalahkan
diriku sendiri.
Berandal-berandal
itu! Tidak! Mereka tidak sempat menyentuhku sedikitpun! Tidak mungkin mereka!
Dan
entah bagaimana awalnya, aku langsung teringat lelaki tua tadi. Bermacam-macam
pikiran ada di benakku. Pasti Pak Tua! Apa sebabnya dia membuntuti aku terus-menerus
jika tidak punya niat yang jahat? Dia pasti telah mendapatkannya! Ya, pasti
dialah orangnya yang telah mendapatkan dompetku. Tapi sebentar sayang, mengapa dia terus mengejarku sampai berlari?
Bukankah ia telah mendapatkannya? Jangan-jangan dia…
Aku
berlari mendapati lelaki tua itu. Dia tergolek. Wajahnya sulit dikenali lagi.
Pakaiannya koyak-koyak. Pemuda-pemuda itu telah kabur meninggalkan pak tua yang
bersimbah darah. Rambutnya yang putih berubah berwarna merah darah. Melihatnya
aku menangis. Pak tua yang malang. Seketika sirnalah semua anggapan burukku
terhadapnya. Ini semua karena aku. Ini semua salahku.
Perlahan
kurapatkan telingaku ke dadanya. Jantungnya masih berdetak. Lemah sekali. Tidak
ada air. Kuambil dahan-dahan yang sedikit basah. Kupercikkan airnya ke
wajahnya. Perlahan kugoyangkan tubuhnya. Dan dengan perlahan-lahan pula ia membuka matanya. Melihatku, dia
tersenyum. Kemudian dengan isyarat tangannya yang lemah dia menunjuk ke arah
tas yang dia bawa. Kubuka tasnya. Dan ternyata, dompetku ada di dalamnya! Lagi-lagi
dia tersenyum melihat aku memegang dompetku. Sebentar kemudian dia mengangguk
dan mengerdipkan matanya yang sayu. Wajahnya nampak tenang.
“
Jadi dari tadi bapak ingin mengembalikan dompet ini?”
Dia
mengangguk pelan. Matanya menutup lagi. Sebentar kemudian kepalanya tergolek di
pangkuanku. Dan dia tak bernapas lagi! Aku jadi bingung.[]
*) Cerpen ini Dimuat di Koran Sore Wawasan Edisi 6 Mei 2007.