Kritik Sastra: Akar Sebuah Hati
Catatan terhadap cerpen Lenny Damayanti, "Akar Sebuah Hati".
[MRF]
________________________________________________
Cerpen karya Lenny Damayanti
berjudul Akar Sebuah Hati ini menceritakan tentang seorang gadis bernama
Titi sebagai tokoh utama. Ia adalah seorang pegawai di sebuah perusahaan asing.
Sejak kecil ayahnya telah tiada. Oleh karena itu, ibunyalah yang mendidik ia
dan kakaknya, Sisi. Dari ibunya, ia dan Sisi mendapat didikan yang keras,
sangat disiplin dan bahkan terkesan kaku. Ibunya menginginkan segala sesuatunya
dapat dikerjakan dengan mandiri, sehingga di rumah tidak ada pembantu. Setiap
pekerjaan selalu dikerjakan sendiri, mulai dari membetulkan genteng yang pecah,
mengecat rumah dan pagarnya menjelang perayaan tujuh belas agustus, hingga
memasak dan mencuci pakaian kotor.
Ketika Titi semakin dewasa, ia masih merasakan ada gap / jarak antara dirinya dengan ibunya. Titi merasa masih tidak bisa memahami keinginan ibunya dan ia pun merasa ibunya tidak memahami keinginannya. Namun hal itu tidak terjadi pada Sisi. Dalam pandangan Titi, setelah menikah dan ikut dengan suaminya, kakaknya itu terlihat semakin dekat dengan ibu. Setiap kali pulang pun Sisi tampak lebih akrab dengan ibu dibanding saat sebelumnya. Ketika Titi menanyakan perubahan itu kepada kakaknya, kakaknya hanya berucap, “Suatu saat nanti, kau pun akan memahami dan menyadarinya.”
Hingga tibalah saatnya Titi ingin meneruskan studi di UNCLA Extention Amerika untuk menambah wawasan dan ilmunya demi karier di masa depan. Titi begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya sehingga ia tidak sempat mencuci pakaian kotornya yang semakin menumpuk. Waktu untuk bertemu dengan ibunya pun semakin singkat.
Namun, masih ada ganjalan perasaan yang mengganjal di hati Titi. Seperti biasa ketika ia pulang larut malam, ibu yang menunggunya selalu cepat-cepat masuk ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat, tanpa menyempatkan barang sedikit waktu untuk sekadar berbincang-bincang. Padahal hari itu adalah sehari menjelang keberangkatan Titi ke Amerika. Perasaan Titi sangat gundah.
Tetapi kegundahan Titi akan sikap ibunya segeri terjawab setelah ia mendapati kamarnya yang telah bersih dan rapi, pakaiannya yang kotor telah bersih dan diseterika. Apalagi ketika ia mendapati sebuah kotak beludru berisi perhiasan ibu yang hanya dikenakan pada saat-saat khusus untuk diberikan kepadanya serta sepucuk surat dari ibunya.
Titi sekarang mengerti akan sikap ibunya selama ini yang terkesan tertutup, jarang berkomunikasi secara langsung dengannya. Ternyata ibunya tidak ingin terlihat lemah dan rapuh di mata anak-anaknya dan selalu memilih menyendiri di kamarnya. Mengatasi sendiri masalah dan kesulitannya. Barulah Titi menyadari dan memahami bahwa sesungguhnya ibunya begitu mencintainya.
***
Cerpen ini sesungguhnya cukup
menarik. Penulis mencoba mengangkat tema tentang seorang wanita muda yang ingin
mengembangkan diri secara optimal. Dalam proses pengembangan dirinya itulah
ternyata ia merasakan ganjalan di hatinya akan sikap ibunya selama ini. Namun
pada akhirnya tetap saja ia mampu menyadari betapa seorang ibu pasti
menginginkan sesuatu yang terbaik untuk anak-anaknya. Ibunya yang selama ini
begitu tertutup ternyata memendam perasaan cinta yang mendalam terhadap
anak-anaknya.
Dalam penceritaannya, penulis mampu mengorganisasikannya secara apik dan runtut. Dimulai ketika Titi pulang dari kerja, namun kali ini ia kehujanan karena tidak membawa payung. Dan seperti biasanya ibunya yang menunggunya pulang kerja, tidak memberikan sambutan yang hangat, justru ia menegur kealpaannya tidak membawa payung bukannya iba atau membawakan handuk untuknya. Begitulah yang terjadi hari demi hari, sang ibu seolah tidak menyayangi Titi. Hingga akhirnya penulis mampu membuat ending cerita yang memukau yakni terungkapnya teka-teki akan sikap ibu Titi yang mendidik anaknya dengan keras. Rupanya ia ingin agar anak-anaknya tidak cengeng dan tegar menghadapi kerasnya hidup.
Bahasa yang digunakan penulis pun
lugas dan mudah dipahami, yakni menggunakan bahasa Indonesia yang cukup
memenuhi standar pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sedikit sekali– dan boleh dikatakan tidak ada--penulis menggunakan istilah-istilah yang sukar
dipahami. Tidak ada bahasa prokem, bahasa gaul, ataupun bahasa-bahasa daerah. Disebabkan
faktor inilah cerpen ini dapat dijadikan acuan untuk pelajar di seluruh
Indonesia, tidak terbatas pada lingkungan masyarakat Jawa atau Jakarta saja.
Kalaupun ada, satu-satunya istilah asing yang digunakan adalah istilah take off , istilah untuk pesawat terbang yang tinggal landas / berangkat ke tujuan. Tampak pada kalimat berikut ini.
Ketika pesawat yang kutumpangi take off, tatapanku tidak pernah lepas dari sosok ibu yang berdiri melambai-lambaikan tangannya kepadaku
Saya kira untuk murid SMA pun tentu telah
mengenal istilah tersebut. Seandainya pun kata tersebut tidak terpahami
maknanya oleh siswa, hal itu dapat teratasi dengan metode membaca kalimat
secara konseptual.
Ketika seorang membaca kalimat secara konseptual, asumsi yang digunakan adalah si penulis menyampaikan ide-ide atau gagasannya dalam bentuk kalimat. Adapun kata dan frase dipandang sebagai unsur kalimat pembentuk ide. Dengan metode ini, pembaca akan lebih mudah memahamai bacaan karena pembaca dapat menangkat ide demi ide yang dituangkan dalam bentuk kalimat. Pembaca akan dapat menangkap makna dalam kalimat dengan mudah dalam waktu yang relatif singkat. Dengan kata lain, pembaca (dalam hal ini siswa) dapat memahami maksud penulis tanpa harus mengetahui makna kata per kata, atau makna satu per satu frase yang menyusun kalimat tersebut.
Sedangkan kata-kata seperti si royal, Bude, atau Yu, saya kira sudah dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari [terutama di Pulau Jawa]. Kata si royal cukup familier dan diterima untuk dimaknai sebagai orang yang berkebiasaan boros dalam penggunaan uang. Kata Bude juga telah mulai digunakan dalam cerita-cerita berbahasa Indonesia, yakni sebutan untuk saudara perempuan yang lebih tua dari ayah atau ibu kita ( ditinjau dari segi umur maupun silsilah keluarga). Sedangkan kata Yu sendiri merupakan contoh kata yang mengalami perluasan makna dari kata Mbakyu dalam bahasa Jawa yang berarti kakak perempuan. Maknanya kata tersebut meluas termasuk mencakup sebutan untuk seorang perempuan yang biasanya berstrata sosial rendah dan bekerja sebagai buruh kecil semisal buruh cuci, pembantu, pelayan, dsb.
Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama seolah-olah ia tengah berhadapan langsung dengan pembaca untuk menceritakan kisahnya itu. Penulis pun cukup berhasil membangun alur atau jalan cerita yang berliku, perlahan namun pasti, cerita seolah mengalir begitu saja. Dengan diksi yang sederhana dan komunikatif, justru membuat cerpen ini begitu hidup. Seolah-olah pengarang sedang curhat (mencurahkan isi hatinya) kepada orang terdekatnya dalam hal ini adalah pembaca tersebut. Walaupun demikian, layaknya seorang yang bercerita, tetap saja terdapat kalimat kutipan-kutipan langsung dari tokoh-tokoh dalam cerita itu. Sebagai misal adalah kalimat berikut ini.
Kalaupun ibu tahu tadi aku pulang naik taksi, Ibu pasti akan marah dan mengatakan aku ‘si royal’, tidak peduli dengan keadaan yang kuhadapi.
Kemudian, secara keseluruhan dari
segi bahasa tidak ada masalah yang berarti. Mengingat perkembangan bahasa pada
usia remaja telah mencapai pada kompetensi lengkap. Pada usia ini individu
telah mempelajari semua sarana bahasa dan keterampilan-keterampilan performansi
untuk memahami dan menghasilkan bahasa tertentu.
***
Ditinjau tema dan isi cerita, maupun
dari karakter para tokohnya (yang semuanya wanita) nampaknya si pengarang ingin
mengungkapkan gagasan mengenai emansipasi wanita [feminisme] Indonesia. Sedikit
banyak penulis ingin mengungkapkan bahwa kehidupan wanita Indonesia tak selalu
bergantung pada sosok laki-laki. Tanpa sosok laki-laki di dalam lingkup
keluarga tidak berarti wanita tidak bisa berbuat apa-apa. Justru di sinilah
para wanita dapat melatih kemandirian mereka.
Gagasan tersebut nampak pertama kali ketika penulis mematikan tokoh ayah dalam cerpen tersebut. Tinggallah sosok seorang ibu yang berperan sebagai single parent bagi dua orang anaknya, Titi dan Sisi. Kemudian tokoh ibu ini oleh penulis digambarkan sebagai sosok yang tegar membesarkan anak-anaknya tanpa mau bergantung kepada siapapun, termasuk ketika semua pekerjaan rumah dikerjakannya sendiri tanpa mau mengambil pembantu.
Ibu tidak pernah menggaji pembantu rumah tangga, semua dikerjakannya sendiri.
Selanjutnya nampak pula ketika
penulis menggambarkan cita-cita masa depan dari tokoh ibu. Ia menggambarkan
tokoh ibu sebagai perempuan yang bercita-cita untuk dengan berbagai cara
mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri baik secara mandiri maupun
secara intelektual. Si ibu digambarkan begitu mandiri dalam mencari nafkah,
tidak hanya mengandalkan pensiunan suaminya, hemat dan sederhana dalam hal
penggunaan uang, dan sangat mementingkan pendidikan untuk kedua orang putrinya.
Hal ini tampak pada kalimat-kalimat berikut ini.
Untuk menambah pensiunan ayah yang tidak seberapa, ibu rajin membuat seprai dan bantal kursi juga topi ciput untuk dijual kepada kawan-kawannya dengan cara mencicilkannya.
Tetapi meski hidup hemat dan sederhana, Ibu sangat mementingkan pendidikanku dan Sisi. Untuk mendapatkan sebuah sepatu baru pun saat itu rasanya sulit sekali. Padahal kakikuk sering lecet-lecet karena pakunya menonjol keluar. Ibu lebih suka mengeluarkan uangnya untuk biaya les-les tambahan.
Bila kita cermati, hal itu nampak
pula pada pandangan sosok ibu tersebut yang lebih senang memiliki anak lelaki.
‘Lebih menyenangkan
memiliki anak lelaki, tidak lemah dan rapun seperti kalian.
Implikasi dari pandangan yang keluar
dari ucapan ini adalah : si ibu menginginkan anak-anaknya, Sisi dan Titi,
menjadi anak-anak yang kuat dan mandiri, seperti anak lelaki. Anak lelaki mampu
membetulkan genteng yang pecah atau melorot, mengecat rumah sekaligus pagarnya
menjelang perayaan tujuh belas Agustus. Kemudian diceritakan si ibu
mengharuskan Sisi memasuki perguruan pencak silat atau karate, walaupun Sisi
akhirnya memilih taekwondo. Tidak mengherankan bila kemudian Sisi berkesan
tomboy dan akhirnya ia menjadi seorang polwan.
Namun, walaupun begitu, tidak semua karakter tokoh selalu digambarkan sebagai pribadi perempuan yang kuat. Penulis tetap menggambarkan sisi feminis dari tokoh Titi. Titi digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai perasaan cenderung sensitif, lemah lembut, dan menyukai boneka. Hingga seperti kebanyakan perempuan yang tidak dapat menahan perasaan dan selalu mengungkapkan perasaannya kepada apa saja, misalnya menulis di buku diary atau berbicara kepada boneka kesayangan. Hal ini tampak pada kalimat berikut ini.
Perasaanku cenderung sensitif. Ketika kecil aku diam-diam sering menangis di kebun belakang agar tidak diketahui ibu.Sebelum tidur kulirik boneka Teddyku dan kusentil hidungnya. ‘Selamat malam Pimpo,’ bisikku sambil memberinya senyuman.
Sebenarnya akan lebih jelas memahami
bagaimana arah sikap pengarang dalam mengungkapkan gagasan mengenai feminisme
ini jika pengarang juga memasukkan tokoh laki-laki dalam ceritanya. Agar kita
dapat mengamati bagaimana karakter lelaki itu baik yang digambarkan melalui
pelukisan watak pribadinya maupun dari dialog-dialog sang tokoh tersebut tentang
cara pandang mereka terhadap kaum perempuan. Sayangnya penulis hanya memasukkan
tokoh lelaki, yakni ayah Titi, dalam cerita itu. Tokoh ayah itupun oleh penulis
dipasifkan / dimatikan hanya untuk menggambarkan sebuah kemandirian seorang ibu
dalam mendidik anak-anaknya tanpa ayah. Untuk menunjukkan bahwa seorang wanita
dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai seorang ayah
bagi anak-anaknya.
Seandainya penulis juga memasukkan tokoh laki-laki, misalnya seorang anak laki-laki sebagai saudara Titi, kita dapat dengan lebih jelas melihat sikap pengarang. Selanjutnya akan kita kaitkan kepada keadaan sosial budaya masyarakat Jawa. Kita akan melihat bagaimana cara pandang dan pemberian harapan seorang ibu terhadap anak-anaknya dari segi karier maupun dari sisi akademik. Perbedaan perlakuan diantara keduanya akan terlihat atau tidak.
Karena seperti yang diungkapkan oleh De Jong (1976), ia menuturkan bahwa layaknya dalam keluarga Jawa, lingkungan keluarga dan masyarakat juga lebih memprioritaskan kesempatan dan fasilitas bagi anak laki-laki untuk mengembangkan kemampuannya daripada anak perempuannya. Keluarga dan masyarakat Jawa mempunyai pandangan dan harapan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Pandangan ini mempengaruhi cara perlakuan masyarakat dan pengasuhan orang tua, yang telah mereka tanamkan sejak mereka bayi. Pembagian peran dalam masyarakat yang berhubungan dengan hal-hal ‘apa yang boleh dilakukan’ dan ‘siapa yang boleh melakukan’ mempengaruhi pemahaman mengenai partisipasi masing-masing jenis kelamin dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan hal ini menjadi sangat kuat di bidang pendidikan, biasanya anak laki-laki mendapat prioritas pendidikan yang lebih tinggi, dengan anggapan anak laki-laki kelak akan mendapat pekerjaan, peran dan kedudukan yang tinggi, sementara anak perempuan kelak akan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga (Goode, 1997).
Namun, walaupun penulis tidak memasukkan tokoh laki-laki, setidaknya penulis tetap mempunyai gagasan bagi kaum wanita untuk lebih maju dan lebih mengembangkan potensinya. Perempuan dianjurkan untuk tidak hanya menunggu dan bergantung pada suaminya dalam hal mencari nafkah.
Gagasan feminisme yang diungkapkan penulis adalah feminisme moderat, yang tidak menentang perkawinan dimana wanita tidak dianjurkan untuk melajang seumur hidupnya. Feminisme moderat tetap menjunjung tinggi kodrat wanita yang memungkinkan melahirkan dan merawat bayi. Feminisme moderat mendukung perempuan dalam melaksanakan tugas-tugas alami ini. Seperti halnya tokoh Sisi, walaupun dikatakan pada waktu belia dia adalah seorang yang tomboy, namun dia menikah juga dan hidup berkeluarga bersama suaminya di Surabaya.
Namun feminisme moderat juga menganjurkan agar pertama-tama perampuan mengembangkan dirinya agar mampu hidup mandiri, baik secara intelektual maupun secara ekonomis, karena kesanggupan ini akan membuatnya memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki dan melepaskan dirinya dari ketergantungan laki-laki. Penggambaran tokoh Titi merupakan contoh yang mudah yakni ketika ia memilih untuk melanjutkan studi di UNCLA Extention, Amerika, sebelum ia menikah. Penentuan jalan hidup yang mandiri untuk mengembangkan potensi dirinya, menambah wawasan dan ilmu demi karier di masa depan, adalah sikap dan cara pandang yang menginginkan kaum wanita dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap kaum laki-laki.[]
______________________________________
Ambarawa, Kamar Berisik Maya Nirwana [MRF]
.