Merawat Buku Sebagai Jendela Ilmu *
Oleh M. Rifan Fajrin
kekayaanku hanya buku dan bunga
apakah kamu sudah membeli mobil? tanyamu
buku-buku menjerit dari timbangan
bersamaan dengan debu dan akar kembang
....
(Sosiawan Leak, Kekayaanku Hanya Buku dan
Bunga)
Buku adalah
kekayaan. Barangkali orang akan berkerinyut dan mencibir mendengar ungkapan
tersebut: memangnya buku bisa membuatmu kenyang dan bertahan hidup? Ya, secara
fisik kenyataannya memang makhluk yang memakan buku adalah rayap. Sedangkan
manusia memakan daging dan tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi jangan lupa, manusia
terdiri dari jasad/jasmani dan ruhani.
Kebutuhan
jasmani manusia dipenuhi dengan adanya sandang (pakaian), pangan (makanan), dan
papan (tempat tinggal). Sedangkan kebutuhan ruhani manusia yang termasuk di
dalamnya batin dan pikiran dipenuhi dengan ilmu agama, ilmu pengetahuan, dan
seni. Jika kebutuhan jasmani manusia tidak terpenuhi secara layak, kesehatan
manusia bisa terganggu dan pada akhirnya bisa berujung pada kematian. Begitu
pula pada saat manusia tidak terpenuhi kebutuhan ruhaninya, ini menyebabkan
kematian ruhani manusia, dan ini lebih berbahaya. Pada saat itu, manusia akan
menjadi “mayat yang berjalan”. Secara fisik dia hidup, tetapi pada hakikatnya
dia mati dan tak berguna.
Buku adalah
lautan ilmu yang mengantarkan manusia menjalani kehidupan.
Merawat Buku
Menghargai
buku adalah menghargai keilmuan. Jika demikian, dengan sendirinya merawat
buku-buku itu merupakan wujud nyata kecintaan pada ilmu. Bukan berati kita
hanya mementingkan bentuk buku secara fisik tanpa pernah membacanya.
Bisa kita
bayangkan, bagaimana buku-buku yang kita baca sudah lusuh dan terlipat-lipat,
bahkan terlepas dari jilidannya (Jw:
mbrodol). Maka sangat penting bagi kita untuk merawat buku-buku yang ada
dan terutama buku yang kita miliki.
Merawat buku
bisa kita mulai dengan menyampuli setiap buku yang kita miliki, membuat
pembatas buku yang tipis dan tidak merusak buku, jangan melipat halaman buku,
tidak membaca buku sambil mengemil agar halaman-halaman buku kita tidak terkena
minyak dan cepat kotor, jangan membiarkan buku dalam keadaan terbuka jika tidak
sedang dibaca.
Buku yang
kita pinjam dari teman, atau perpustakaan umum juga harus kita perlakukan sama.
Jangan mentang-mentang bukan buku milik kita, lantas kita abai dalam
merawatnya. Jika kita tidak bisa merawat buku, setidaknya kita berusaha
semaksimal mungkin untuk tidak merusak buku.
Saya pernah
membayangkan ada seorang baik hati yang setiap kali dia meminjam buku yang
tidak bersampul di perpustakaan, dia senantiasa mengembalikan buku tersebut
dalam keadaan bersampul rapi ke perpustakaan. Yah, kebaikan memang mungkin
perlu dimulai dari hal-hal yang kecil-kecil.
Terakhir,
mungkin masa sekarang perpustakaan digital mulai marak dan digemari para
puskatawan. Ketika semua pustaka beralih ke format digital, kita memang tak
perlu lagi ribet menyampul buku. Buku-buku yang dihasilkan pun tidak akan
“menghabisi” sumber daya alam yang sekarang ini dicetak di kertas-kertas
(paperless).
Akan tetapi,
andai buku-buku yang akan datang benar-benar dibuat dalam format digital, dan
buku-buku yang ada sekarang ini belum diganti format dalam bentuk digital,
buku-buku kertas masih saja berupa kertas; dan kita semestinya merawatnya.
Ketika kita tidak mampu merawat buku sepenuh hari, kita cukup merawatnya dengan
sepenuh hati.[]
*) M. Rifan Fajrin, Guru di
Lab. School Unnes Semarang. Berumah di Ambarawa.
Dimuat di Buletin Pustaka