Kudus: Perjalanan Pertama untuk Ilyas
Jauh-jauh
hari istriku sudah melingkari tanggal-tanggal “penting” di kalender.
“Jumat, 3
April kita harus ke Kudus. Tidak bisa tidak!” katanya padaku, dia melanjutkan, “kalau
ada acara-acara mendadak di sekolah, cepatlah minta izin!”
Aku sempat
melongo sebentar dan akhirnya aku menjawab, “Siap!”
Bukan tanpa
sebab istriku begitu ngebetnya ingin ke Kudus. Sejak dia hamil dan akhirnya
Ilyas lahir pada Desember lalu, dia tidak punya kesempatan untuk pulang ketemu
Ibu. Yaah, orang hamil atau punya bayi kecil memang sulit dan bahkan tidak
boleh terlalu jauh pergi-pergi, apalagi itu naik angkutan umum. Meskipun hampir
tiap hari istriku menelpon ibu, dan ibu pun dalam beberapa kesempatan datang ke
Ambarawa menengok anak cucu mengobati kerinduannya, tetap saja itu tidak cukup.
Lagipula, seingat kami, aku dan istriku, pada lebaran kemarin itulah terakhir
kami pulang ke Kudus. Jadi, liburan panjang awal April inilah saat yang tepat.
“April nanti,
Ilyas genap berumur empat bulan. Dia sudah cukup kuat untuk bepergian,” ucap
istriku.
“Naik bus?”
“Ya.”
“Kau yakin
tidak akan kerepotan?”
“Tidak!”
“Ok!”
“Sekarang,
beritahu bapak ibu, serta kawan-kawan di sekolah, bahwa tanggal tiga April kita
akan ke Kudus!”
Akhirnya
kusampaikan rencana kami kepada Bapak dan Ibuku, mereka menyetujuinya dan,
segala puji bagi Alloh, mereka berniat mengantar kami sehingga kami tidak perlu
naik bus. Kupikir Bapak dan Ibuku belum begitu tega membayangkan Ilyas
berdesakan di bus dalam perjalanannya.
“Sekalian Ibu
ingin sesekali masuk ke Pasar Kliwon,” ujar ibuku.
*
Inilah
pertama kali Ilyas menempuh perjalanan yang cukup jauh, lebih kurang dua jam
perjalanan dari Ambarawa ke Kudus.
Ada dua anak
kecil dalam perjalanan kami ini. Satu Ilyas, dua Ammara—bidadari kecil adikku. Kulihat
keduanya begitu tenang. Ilyas dalam dekapan ibunya, sedangkan Ammara begitu
nyaman berada di pangkuan kakeknya.
“Bisakah anak
kecil ‘mabuk’ di perjalanan?” tanyaku kepada istriku.
“Bisa saja,”
jawabnya, “tapi semoga tidak,” dia cepat meneruskan kata-katanya.
“Kalau Ilyas
mabuk, berarti itu ‘bakat turunan’ darimu yang selalu mabuk perjalanan darat,”
kataku.
“Kali ini aku
tidak akan mabuk. Aku sudah minum Antimo, obat anti mabuk paling legendaris sepanjang
masa!”
“Syukurlah,
dan semoga saja memang begitu. Kalau tidak, nanti aku juga yang repot harus
memapah atau bahkan menggendongmu. Hahaha!”
“Memangnya
kuat?”
“Heh, kau
lupa, aku pernah menggendong dua orang sekaligus: kau dan Ilyas waktu masih
berada di dalam perutmu. Hehehe.”
**
Selama di
Kudus, aku dan istriku inginnya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk
bersilaturahmi kepada orang-orang terdekat. Hanya saja kemudian kami menyadari
bahwa di rumah tidak ada sepeda motor, jadi kami tidak bisa leluasa dolan-dolan
berkunjung. Namun, rupanya kabar bahwa kami pulang ke Kudus telah mereka
dengar, jadi merekalah yang akhirnya datang ke rumah. Hehehe, Alhamdulillah.
Bude, kakak,
adik, keponakan, silih berganti datang ke rumah. Rata-rata mereka ingin melihat
perkembangan Ilyas yang, kalau tidak salah, dulu masih berusia dua minggu saat
mereka datang menengok Ilyas ke Ambarawa. Ilyas sih bisanya masih senyum-senyum
saja, “mengoceh”, dan sesekali pamer tangisannya yang mulai kencang/nyaring.
Asri Candrita
dan Imam Hanafi datang. Tidak ketinggalan Kaf, putri kecilnya, tentu saja turut
serta. Kami ngobrol ngalor-ngidul, sementara Kaf dan Ilyas pun nampaknya juga
asyik bercakap-cakap dengan bahasa yang mungkin hanya mereka sendiri yang
memahaminya. :) Sayang sekali, aku sempat drop dan muntah-muntah saat keluarga
kecil itu datang. Jadilah aku tidak bisa melihat punggung mereka saat mereka
pamit. Dan waktu kurasakan berjalan begitu cepat.
***
Tiga hari dua
malam terasa begitu saja berlalu. Minggu siang tibalah saatnya kami balik lagi
ke Ambarawa. Aku merasa, perjalanan pulang itu seringkali berat betul rasanya. Di
satu sisi ingin segera pulang dan (mau tak mau) melanjutkan tugas-tugas yang telah
menanti, di satu sisi masih ada kerinduan yang sepertinya tak pernah tuntas.
Apalagi, kali ini, kami akhirnya naik angkutan umum. Terbayanglah betapa
repotnya harus mencangklong tas besar berisi pakaian, oleh-oleh, dan
menggendong si kecil Ilyas yang badannya mulai padat, kencang, dan berat. Bagaimana
kalau nanti kami tidak kunjung dapat kendaraan yang lega, lalu kami harus berdesakan
karena tidak dapat tempat duduk? Jika memang demikian, bagaimana tiba-tiba bus
besar yang biasa melaju kencang itu mengerem mendadak dan pasti membuat
penumpang yang berdiri itu kerepotan menjaga keseimbangan? Belum lagi kalau di
perjalanan nanti Ilyas lapar dan haus; Ilyas tidak minum susu formula dalam botol.
Namun,
ternyata sekali lagi aku harus bersyukur karena:
1. Kami tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan
angkutan yang tidak penuh sesak,
2. Ilyas sangat menikmati perjalanan, yaitu memandang
ke luar jendela sambil tersenyum dan sesekali memainkan ludahnya yang lucu,
duduk tenang, dan tidur pun tenang,
3. Kami sampai di rumah dengan selamat.
4. Ilyas sempat bertemu Arsyil, jagoan kecil Adikku
yang datang dari Solo untuk liburan di Ambarawa.
Nah, dengan
pengalaman ini, istriku rupanya telah menyiapkan rencana selanjutnya: dia dan
Ilyas akan menginap di Kudus selama satu minggu penuh pada Mei nanti. Ketika
istriku menyampaikan maksudnya itu kepadaku, aku menjawab, “Itu perkara gampang!
Sesukamu sajalah.”
“Okay, tapi awas, jangan terlalu banyak begadang!” tukas istriku.[]