Kesunyian Maria, Bagian 3
Maria nampak sibuk. Ia terus saja berpikir dan
mengingat-ingat, barangkali ada sesuatu yang tertinggal.
“Oh, mestinya ruangan ini bisa lebih harum. Aku harus
mengharumkan ruangan ini.”
Tak lama, aroma apple
telah menyebar ke seluruh ruangan.
“Nah, beres. Sekarang aku tinggal mempersiapkan diriku. Aku
harus berdandan. Juga....” Maria membatin. Ia tak tahu apa yang akan terjadi nanti.
Ia merasa sedikit kesulitan untuk menjelaskan permasalahannya kepada Fallev. Ia
tak yakin dapat menjelaskan seluruhnya kepada Fallev, termasuk perihal cincin
perkawinannya yang tak lagi melingkar di jari manisnya.
“Oh Tuhan, tuntun aku untuk menjelaskan semuanya kepada
suamiku. Kuharap ia dapat mengerti.”
Tanpa disadari, Fallev tengah memperhatikan Maria.
“Telah lama aku merindukan saat-saat seperti ini, Maria,”
katanya sambil tersenyum.
“Oh. Tunggu sebentar, Fallev, aku akan mengganti pakaianku.
Duduklah dulu.”
“Baik. Cepatlah kau ganti. Aku sudah tak sabar.”
“Oh, sabarlah sedikit, aku tak akan lama.”
***
Fallev dan Maria duduk berhadapan. Mereka telah selesai makan
malam.
“Maria, kau tampak sangat cantik,” kata Fallev sambil meneguk
secangkir anggur.
Maria diam saja. Ia tak tersenyum. Ia memandang ke bawah,
dimainkannya jari-jarinya. Cincin itu sudah dipakainya sekarang.
“Fallev... aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tapi
kuharap kau tidak tersinggung....”
Fallev menunggu.
“Aku tak bahagia...”
Dalam suasana seperti itu, amat sulit bagi Maria untuk
bercerita tentang isi hatinya. Ia tak tahu harus memulainya dari mana.
Tahu-tahu saja ia mengatakan suatu kesimpulan, bahwa ia tak bahagia.
Agak sulit bagi Maria untuk meneruskan perkataannya itu. Ia
tahu, Fallev tak dapat dengan mudah untuk mengerti. Andai ia tahu tanpa harus
dijelaskan.
“Kau ingat Fallev, seharusnya kita telah menjadi pasangan
yang paling harmonis, paling serasi...”
“Maksudmu?”
“Kisah kita lebih indah daripada Adam dan Nikita, lebih indah
dari Ivan dan Eliya, atau Ernest dan Emma,” bisik Maria.
Fallev menunjukkan raut tak senang. “Jangan kau ungkit masa
lalu, Maria! Bukankah kita telah sama-sama sepakat, tak ada lagi cerita tentang
mereka?”
Fallev mendesah. Sekilas ia teringat, ia pernah memiliki dua
buah batu yang berkilauan, dan ia membuang jauh-jauh salah satunya.
“Tahukah kau, Maria? Jika mengingat masa lalu, aku terkadang
berpikir ada yang salah dengan pernikahan kita. Aku merasa ada sesuatu yang tak
bisa kujelaskan kepadamu, dan itu sebuah kesalahan, meski aku tak yakin pula
apakah yang kulakukan itu benar-benar suatu kesalahan.”
“Bukan begitu maksudku, Fallev...” Maria merajuk.
“Atau kau masih menyesali perkawinan kita? Mengapa tak kau
pikirkan, jika kita telah setuju untuk tak saling menyesali takdir? Ingatlah,
begitu banyak gadis yang jatuh cinta kepadaku dan mendambakan diri untuk
menjadi istriku. Dan kau, begitu banyak pria yang tergila-gila kepadamu. Kau
adalah wanita yang paling diinginkan. Ya, seharusnya, kitalah pasangan paling
dicemburui....”
“Ya, ya. Aku tahu itu,” sergah Maria, “tapi, mengapa
kenyataan seringkali tak seindah yang dibayangkan? Pertengkaran dan perdebatan
lebih sering menghiasi rumah tangga kita daripada kemesraan, kehangatan, dan
kasih sayang.”
“Apa yang kau bicarakan, Maria? Aku tak mengerti!”
Maria tertunduk.
“Kau bicara apa, Maria?” desak Fallev.
Maria mengangkat mukanya.
“Kau terlalu banyak menghabiskan waktu untuk duniamu, Fallev!
Sedikit sekali waktu yang kau sisakan untukku. Aku tak dapat mengerti, sebenarnya
apa yang kau cari, jika kekayaan telah kita miliki, kekayaan berlimpah-limpah
itu?”
“Demi masa depan kita, Maria!”
“Masa depan kau bilang?” sergah Maria, menantang.
“Ya, masa depan.”
“Kau masih berpikir tentang masa depan, Fallev? Sementara
setua ini kita tak kunjung memiliki penerus. Tak ada tangis bayi memecah
kesunyian rumah ini, tak ada tawa dan kelakar anak kita, permata kita yang
sesungguhnya, Fallev. Bagiku, permata dan segala perhiasan tak lebih indah dari
hadirnya seorang bocah di antara kita, Fallev!”
Fallev terdiam, mencoba mencerna perkataan istrinya. Matanya
menatap mata Maria lekat-lekat.
“Lantas, apa yang mesti aku perbuat, Maria?”
Maria berdiri, menghampiri Fallev.
“Aku ingin, kau berhenti mengejar segala kemewahan, Fallev.
Aku tak ingin kau pergi-pergi jauh lagi, aku sudah terlalu bosan menunggu
kepulangan, Fallev.”
Maria membimbing Fallev untuk berdiri, mereka berhadapan,
saling menatap.
Sambil meletakkan tangannya di dada Fallev, Maria berbisik,
“Kita tatap masa depan, Fallev. Aku mendamba seorang anak darimu, suamiku, dari
rahimku.”
“Tapi, Maria, aku tak yakin bisa....”
“Psst....” Maria menempelkan telunjuknya di mulut Fallev.
“Kau pasti bisa, Fallev.”
Fallev menepis telunjuk Maria, berganti kedua tangannya
memegang wajah Maria, lalu berkata, “Setua ini, Maria?”
Maria mengangguk.
“Aku ingin kau melakukannya.”
Fallev menatap wajah Maria sejurus.
“Ingatkah kau tentang kisah Zakariyya, atau kisah Ibrahim dan
Sarah? Mereka seperti kita juga,” lanjut Maria.
Hening. Maria mencium bibir Fallev. Sambil berbisik,
“Lakukan, Fallev! Sekali saja, kumohon! Selanjutnya kita pasrahkan semuanya
pada takdir yang menuntun kita.”
***
Fallev dan Maria tak pernah berpikir adanya perceraian,
walaupun pertengkaran seringkali terjadi. Seolah telah terpatri di otak
keduanya, bahwa takdirlah yang sesungguhnya telah menuntun mereka sampai sejauh
itu, Dan jauh di relung hati mereka, menginginkan keutuhan dan kebahagiaan
rumah tangga mereka.
Namun, Fallev masih saja sering bimbang, antara yakin dan
tidak, apakah ia benar-benar telah melakukan suatu kesalahan pada masa lalunya.
Ia benar-benar ragu.
Bersambung....