Gagalnya Pendidikan Sosial Kita
GAGALNYA PENDIDIKAN SOSIAL KITA
Oleh
Muhammad Rifai Fajrin, S.Pd
Berbagai macam kekacauan di Indonesia disebabkan karena kurangnya kesadaran
sosial masyarakat. Ironisnya, sejauh ini pemerintah belum memandang sebagai
persoalan yang serius. Artinya, perbaikan untuk mengantisipasi meluasnya
konflik sosial masih setengah hati. Tampaknya pemerintah lebih mengutamakan
perbaikan ekonomi dan politik ketimbang sosial. Padahal, permasalahan sosial
memiliki andil yang besar dalam terciptanya kekacauan di negeri ini.
Pesinggungan antar kelompok pemuda, tawuran antar warga, bentrokan massa
pengusung calon ketua dalam pilkada, tawuran pelajar, kerusuhan suporter bola,
dan kecenderungan main hakim sendiri, sudah menjadi menu sehari-hari terutama
warga kota. Ibarat bom waktu, apabila dibiarkan maka masyarakat semakin
terbiasa berbuat kekerasan yang suatu saat akan memicu kekacauan yang lebih
besar. Bukan tidak mungkin, bangsa ini bisa lebih bar-bar daripada bangsa
Bar-Bar yang aslinya dari Mongolia.
Ancaman disintegrasi bangsa kini semakin nyata. Meskipun secara komunal masih
terikat dalam satu wadah kesatuan republik, tetapi secara pemikiran sudah tidak
sepaham lagi. Ibarat bis kota, masyakarat tampaknya bersama-sama duduk di kursi
bus yang membawa mereka, tetapi berbeda lokasi dan tempat yang ingin dituju.
Masing-masing kepala berbeda isi otak, berbeda cara, dan tentu saja berbeda
kepentingan. Dengan kata lain, masing-masing lebih mengedepankan tujuan
masing-masing. Lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang
kepentingan kolektif bangsa. Padahal, tidak mungkin membagi bis menjadi dua
bagian. Ketidaksepahaman ini acap kali memunculkan jurang pemisah yang cukup
lebar. Sedangkan kearifan dan kebijaksanaan yang seharusnya mampu menjembatani
keduanya sudah lama runtuh dan hilang tak berbekas.
Sejauh ini belum ada titik terang yang menggembirakan. Harapan adanya
alternatif pemecah masalah masing menjadi impian yang terlalu tinggi untuk
digapai. Tidak adanya diagnosis yang kuat yang diyakini bersama sebagai akar
persoalan membuat persoalan sulit diurai. Bagaimana mungkin bisa menentukan
resep obat jika penyakitnya saja belum diketahui? Bangsa kita baru mampu meraba
satu-persatu permasalahannya. Alih-laih mencoba untuk mengurainya, persoalan
yang dihadapi bangsa ini ibarat benang yang sudah kusut. Sudah terlalu banyak
dan susah untuk diuraikan. Salah menguraikan bisa menambah keruwetan. Satu
persoalan belum selesai sudah ditambah munculnya lubang yang baru. Disamping
persoalan yang semakin pelik, bangsa ini masih dihadapkan pada kesulitan
berikutnya, yaitu untuk menentukan skala prioritas persoalan manakah yang
hendak didahulukan.
Seperti berjalan di dalam labirin, bangsa ini diserang kebingungan yang akut.
Sebab, terlalu banyak pintu solusi yang harus dicoba sambil terus berpacu
dengan waktu yang seolah berjalan begitu cepat. Jalan yang ditempuh adalah
kombinasi dari jalan lurus dan berbelok. Namun belum tentu ada jalan keluar di
ujung jalan yang lurus. Sebaliknya, jalan yang berkelok tak selalu berujung
buntu. Setelah hampir putus asa, kita berharap dua tiga kelok lagi ada jalan
keluar. Jangan berujung buntu lagi. Maka, mau tidak mau bangsa ini tak boleh
jera untuk selalu mencoba keluar dari masalah. Cara yang efektif adalah, jangan
menambah masalah.
Menemukan akar persoalan
Saya meyakini, akar persoalan di atas adalah gagalnya pendidikan soal kita.
Pendidikan sosial yang mulai diajarkan sejak SD – dan berlanjut di jenjang SMP,
SMA dan pada studi di perguruan tinggi – itu merupakan ilmu yang penting. Jika
pendidikan yang diajarkan selama rentang studi itu mengalami kegagalan,
mestinya hal ini bukan semata kesalahan pendidik. Pasti ada faktor lain yang
menyebabkan kegagalan pendidikan sosial tersebut. Pendidikan sosial mencakup
banyak ilmu, yaitu geografi, sosiologi, ekonomi, dan sejarah.
Saya mempertanyakan ketidakjelian pemerintah yang menempatkan posisi pendidikan
sosial di tempat yang tidak semestinya. Sebab pendidikan sosial seolah-olah
dikastakan pada posisi yang rendah. Dalam penerapannya di dunia pendidikan,
porsi yang diberikan jauh lebih sedikit ketimbang ilmu eksak. Di jenjang MTs
misalnya, Ilmu Pengetahuan Sosial dijatah 4 jam/minggunya. Mau tidak mau guru
harus pandai-pandai mengelola materi yang berisi 4 mata pelajaran tadi. Hal ini
sama artinya, jika dibandingkan ilmu-ilmu eksak, pendidikan sosial sudah jauh
tertinggal. Padahal, pada dasarnya sekolah bertujuan untuk membekali siswa
untuk hidup bermasyarakat dan bersosialisasi. Akibat gagalnya pendidikan sosial
adalah terciptanya kekacauan yang sejauh ini belum bisa ditemukan akar
permasalahannya. Sedangkan obat yang seharusnya diberikan masih berwujud
abstrak.
Kegagalan berdampak pada kecanggungan masyarakat menerapkan teori-teori sosial
yang ada. Teori hanya dipelajari melalui buku-buku. Masyakarat terbentuk
menjadi seseorang yang memisahkan teks dan praktik. Kebaikan-kebaikan hanya
bersifat verbal. Hanya segelintir orang saja yang memiliki kontribusi
menciptakan keselarasan sosial. Pada tahapan yang lebih parah, seorang tokoh
masyarakat yang seharusnya mengayomi dan menjadi panutan justu sering
terpancing amarah dan malahan menjadi provokator terciptanya konflik sosial
secara horizontal.
Memperkuat identitas kebangsaan bisa menjadi jawaban atas persoalan sosial yang
secara hebat terus melanda bangsa ini tiada henti. Identitas bangsa Indonesia
adalah bangsa yang besar yang tidak mudah terpecah belah. Kita memiliki
pengalaman yang panjang sebagai bangsa yang terjajah karena politik devide et
impera ala Belanda. Mestinya, sebagai bangsa yang telah berusia lebih dari
setengah abad, Indonesia harusnya bisa belajar dari sejarah kelam tersebut.
Masyarakat sudah sering dibuat geram dan heran dengan maraknya tawuran antar
suporter bola, misalnya. Permasalahan sepele dan saling ejek, meluas menjadi
pertentangan antar kota dan kabupaten/provinsi. Contohnya, perseteruan suporter
fanatik Persija Jakarta (The Jack) dengan suporter Persib Bandung (Viking) saat
ini sudah menjadi perseteruan abadi. Bahkan kisah tersebut sudah diangkat ke
layar lebar berjudul “Romeo dan Juliet versi Indonesia” yang akhirnya menjadi
film yang kontroversial, karena dianggap memihak salah satu kelompok suporter.
Mari selesaikan persoalan kolektif bangsa ini dengan mengambil perhatian yang
serius. Perbaiki kualitas pendidikan sosial kita. Perkuat simpul kebangsaan.
Kaji kembali pengalaman sejarah Indonesia. Kembalikan slogan bumi Indonesia
sebagai bumi yang gemah ripah loh jinawi, masyakarat yang murah senyum dan
ramah. Tidak mudah terpecah belah. Menjunjung persatuan dan kebangsaan.
Menghapuskan kapitalisme di bidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Berani
menyingkirkan kasta-kasta dalam sosial dan pendidikan. Memberikan porsi yang
memadai bagi pendidikan sosial dalam kurikulum sekolah. Sehingga memungkinkan
pendidik untuk bekerja secara maksimal dalam upaya mencerdaskan bangsa.
Khususnya dalam upaya membantu meredam konflik sosial yang kini marak di
berbagai daerah di nusantara. Pendidikan sosial yang berhasil adalah dengan
terwujudnya kesadaran masyakarat dalam menjaga ketertiban sosial dan
keselarasan sosial. Masyarakat ikut bertanggung jawab menciptakan suasana
kondusif dalam masyarakat.
Sejarah memberikan pelajaran kepada bangsa ini, bahwa bangsa Indonesia dahulu
begitu ditakuti. Bukan karena wilayah kekuasaaannya yang luas, bukan karena
armada laut yang kuat, tetapi karena persatuan yang teguh di bawah panji
proklamasi. Rakyat bersatu mengusir penjajah dengan semangat nasionalisme yang
membara dan niat yang suci. Pepatah lama mengibaratkan persatuan sebagai
kesatuan banyak lidi menjadi satu yang tidak mudah dipatahkan. Atau dalam agama
mengajarkan tertib berjamaah, tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga ketika
berpergian dan hidup bermasyarakat. Sebab domba yang bersatu tidak mudah
dimangsa srigala. Sebalinya domba yang tercerai berai akan mudah menjadi
mangsa, sekalipun oleh seekor serigala yang pincang.
Susanto Zuhdi, guru besar ilmu sejarah, menyitir pernyataan (Alm) Kuntowijoyo
dalam artikelnya “merajut simpul-simpul kebangsaan” : Apabila disetujui adanya
poin sumpah pemuda yang ke-empat, maka akan berbunyi, “Kami Putra-Putri
Indonesia, mengakui sejarah yang satu, Sejarah Indonesia”. []