Cerita pendek anak sekolah: Kotak Ajaib
rifanfajrin.com - Cerita pendek anak sekolah: Kotak Ajaib
Masa di sekolah merupakan masa yang paling indah, kata banyak orang. Kisah-kisah di sekolah pun seringkali menjadi kisah yang tak terlupakan. Berikut ini salah satu kisah cerita pendek anak sekolah yang berjudul Kotak Ajaib. Selamat membaca. Haha. :)
Kotak Ajaib
BAGI NUGROHO, seharusnya sabtu ini menjadi hari yang
paling menyenangkan. Bagaimana tidak? Pada hari tersebut siswa kelas 3 SMA
bertubuh kerempeng itu sesungguhnya telah merancang liburan akhir pekan bersama
teman-temannya dengan pergi ke puncak. Menenangkan diri sejenak karena kurang
lebih sebulan lagi ia harus bertempur dengan Ujian Akhir Nasional. Namun, ketenangan
Nugroho ternyata harus terusik juga pagi itu. Sebabnya tidak lain adalah
panggilan dari TU (Tata Usaha) bagian keuangan kepada Nugroho. Awalnya Nugroho
yang merasa tidak mempunyai masalah apapun dengan bagian keuangan, dengan
tenangnya memenuhi panggilan itu. Tapi betapa terkejutnya Nugroho setelah
petugas TU menyatakan bahwa ia menunggak uang sekolah selama 3 bulan!
“Mas Nugroho, harap segera melunasi tunggakan uang
sekolah,” kata Mbak Yetty, petugas TU yang gendut sambil makan kue.
“Maaf Mbak, kemarin tanggal 13 saya sudah setor uang
sekolah selama tiga bulan lho, uangnya tak masukkan ke kotak,” jelas Nugroho
dengan agak gugup, masih setengah tidak percaya.
“Tapi mana buktinya, kartu BP3 kamu kosong nggak ada
isinya kok.”
“Lho, kok bisa kosong?”
“Lha mana saya tahu. Wong memang kosong kok.”
kata Mbak Yetty TU ketus.
“Tapi saya sudah mbayar lho Mbak,” Nugroho tidak mau
kalah.
“Iya, tapi mana buktinya?” Mbak Yetty semakin ketus.
Mulutnya yang sedikit belepotan kue tampak semakin menyebalkan karena cemberut.
Sedangkan mata Nugroho mulai berkaca-kaca. Terbayang
rencana liburannya yang pasti berantakan karena terganggu urusan administrasi, juga
oleh sebab terganjal perkara administrasi itulah ia terancam tidak dapat mengikuti
Ujian Akhir Nasional.
DARI SINI masalah berubah menjadi rumit. Setelah Nugroho
menyeret Ivan sebagai saksi untuk membuktikan bahwa Nugroho benar-benar tidak
bersalah! Jadilah Ivan yang dengan semangat sedang mempersiapkan liburannya, terpaksa
harus ikut terseret dalam perkara itu. Namun
mengapa Ivan yang harus menjadi saksi dalam kasus ini? Ini lantaran Ivanlah
yang memaksa Nugroho membayar uang sekolah lewat kotak, bukan membayar langsung
lewat loket petugas TU.
Masalah yang sedikit rumit itu bermula pada tanggal 13
bulan lalu. Ketika itu Ivan dan Nugroho kebetulan akan membayar uang sekolah.
Hanya saja bedanya Ivan membayar uang sekolah untuk bulan April, sedangkan
Nugroho membayar uang sekolah selama tiga bulan, yakni Februari, Maret, dan
April. Karena mereka teman sekelas sekaligus teman yang akrab, ditambah lagi
mereka mempunyai kesamaan tujuan membayar uang sekolah, mereka berdua pun
akhirnya menuju loket pembayaran uang sekolah. Sesampainya di sana, ternyata loket
sudah penuh sesak. Banyak sekali anak-anak yang mengantri membayar uang sekolah.
Maklum, sesuai aturan –konon- siswa yang ingin mengikuti ujian nasional harus
menyelesaikan urusan administrasi terlebih dahulu mulai dari uang sekolah
sampai urusan sumbangan pembangunan gedung. Sampai-sampai Mbak Yetty terlihat
kewalahan melayani para siswa. Keningnya berkeringat.
Oleh karena malas mengantri, akhirnya Ivan mengajak
Nugroho membayar uang sekolah lewat kotak di samping ruang TU yang memang
disediakan untuk membayar uang sekolah.
“Ho, kita bayar lewat kotak aja yuk. Malas nih ngantri.
Nanti waktu istirahat keburu habis cuma untuk ngantri.”
Awalnya Nugroho menolak dengan alasan urusan tidak bisa
langsung beres. “Di sini saja. Tanggung.”
Tapi Ivan yang terlanjur malas antri terus memaksa. Ia
pun terus meyakinkan Nugroho bahwa membayar lewat kotak sama saja dengan
membayar langsung ke petugas. “Ah, sama saja. Selama ini aku selalu bayar lewat
kotak juga beres. Bahkan lebih praktis dan tidak perlu antri.”
“Tapi van…”
“Sudaaah, kamu mau dijewer Bu Yanti gara-gara tidak
mengerjakan pe-er Kimia?”
“Eeng…Aku juga belom ngerjain pe-er.”
“Nah, makanya.” Akhirnya mereka berdua pun memasukkan
uang sekolah mereka ke kotak pembayaran, atas ajakan Ivan!
SEBENARNYA KASUS ini tidak
akan menjadi serumit sekarang jika saja Nugroho dan Ivan bernasib sama. Dengan
catatan pembayaran uang sekolah mereka berdua sama-sama beres atau sama-sama
bermasalah alias sama-sama lenyap. Permasalahannya, hanya uang sekolah Nugroho
saja yang hilang, sedangkan uang sekolah Ivan beres dan tidak ada masalah. Tentu saja hal ini menyiratkan bermacam dugaan, bahwa apakah
sesungguhnya yang sedang terjadi? Apakah memang ada oknum yang memakan uang
sekolah?
“Ini Ivan Mbak, saksinya. Saya sama Ivan bareng-bareng membayar
uang sekolah lewat kotak,” akhirnya Nugroho membawa Ivan ke Mbak Yetty petugas
TU.
“Benar? Kamu yakin? Bersama-sama Nugroho membayar uang
sekolah?”
“ Haqqul Yaqqin Mbak! Nugroho mbayar uang sekolah bareng
saya, tanggal tiga belas!” jelas Ivan mantap.
“Haqqul yakin – haqul yakin. Kok kamu bisa yakin begitu?”
nada Mbak Yetty sedikit mengejek gaya bicara Ivan yang sok santri.
“Jelas yakin dong. Soalnya saya yang memaksa Nugroho
mbayar lewat kotak Mbak.”
“Lha, sekarang salah siapa kalau sudah begini? Kamu sih
dipaksa mau saja.”
“Nggak bisa gitu dong Mbak, soalnya selama ini kan beres
kalau mbayar uang sekolah lewat kotak.” Nugroho jelas tidak mau disalahkan.
“Jangan-jangan kamu lupa memasukkan uangnya ke dalam
kartu BP3, karena buktinya kartu kamu kosong nggak ada uangnya.”
“Nggak mungkin! Ini masalah uang sekolah Mbak, kami
tidak berani main-main.”
“Tapi seandainya ya,” Mbak Yetty mengatur nafas
perlahan, “seandainya memang ada yang nyuri, kenapa hanya uangnya Nugroho saja
yang diambil?”
“Itu dia masalahnya.”
DAN MASALAH pun menjadi tambah meruncing ketika senin
siang, kira-kira jam sepuluh pagi, tanpa diduga oleh siapapun Ibunya Nugroho
datang ke sekolah dan melabrak Mbak Yetty petugas TU yang gendut itu. Dengan
berapi-api dan tanpa basa-basi Ibunya Nugroho langsung menyemprot Mbak petugas
TU dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan. Ibunya Nugroho yang lama tinggal
di Jakarta itu tiba-tiba menjadi pusat perhatian.
“Kamu ini nggak punya perasaan! Uang sekolah susah-susah
dicari dengan enaknya diembat begitu saja. Dasar maling! ”
“Lho ibu kok jadi menyalahkan saya?”
“Lha siapa lagi yang punya kesempatan ngambil uang, kalo
bukan yang mbawa kunci gembok. Itu kan berarti orang dalam yang ngambil!”
Ibunya Nugroho terus menggerocos memarahi dan
memaki-maki Mbak Yetty petugas TU. Bahkan Ibunya Nugroho mengancam akan
menyeret kasus ini ke Polisi. Sedangkan Mbak Yetty hanya bisa menangis. Ia
malu. Malu sekali.
KARENA TAMPAKNYA masalah ini cukup serius dan berpotensi
melibatkan kepolisian, akhirnya memaksa Pak Sastro Keling – Kepsek- turun
tangan untuk mencegah konflik yang lebih luas lagi. Dengan ditemani Bu Joyo - Guru BP- ia meminta Nugroho dan Ivan untuk
menghadap ke ruangannya. Nugroho dan Ivan pun menerima ‘tantangan’ itu dengan
tegak. Dalam hati mereka yakin bahwa kebenaran pasti akan selalu menang,
seperti di sinetron-sinetron yang selalu berakhir happy ending. Lagi
pula dalam istilah Jawa dikenal becik ketitik ala ketara. Mereka siap
membuktikan bahwa mereka tidak bersalah!
“Coba diingat-ingat lagi, apakah kamu benar-benar telah
membayarkan uang sekolah?” tanya Bu Joyo, guru BP sekolah.
Nugroho yang agaknya mulai bosan dengan pertanyaan
seperti itu, dengan cuek menjawab, “Seribu kali saya mengatakan bahwa saya
sudah membayar uang sekolah, tiga bulan!”
“Iya, iya.” Pak Sastro Keling menenangkan. “Tapi
sebelumnya semua murid kan sudah diberi tahu, aturan pembayaran tanggal 1
sampai 10 adalah lewat kotak yang telah disediakan, sedangkan tanggal 11 ke
atas langsung ke Mbak Yetty. Lantas kenapa kalian berdua masih memasukkannya ke
kotak?”
“Waktu itu kami malas ngantri Pak. Lagi pula selama ini kan
memang tidak ada masalah, walaupun lewat tanggal sebelas membayar lewat kotak,”
Jelas Ivan.
“Sebentar, sekarang yang jadi masalah, seandainya memang
ada yang mencuri kenapa uang Ivan tidak ikut hilang?” tanya Bu Joyo.
“Sederhana saja Bu. Hal itu untuk mengelabui kita saja.
Untuk menghilangkan kesan adanya pencurian sekaligus menimbulkan kesan bahwa
Nugroho telah lupa menyertakan uangnya ke kartu BP3, mudah kan?” Ivan
terkekeh-kekeh, menantang.
“Dan mengapa yang diambil kok uang saya? Karena uang
saya lebih banyak ! Tiga bulan, seratus delapan puluh ribu!” sahut Nugroho
geram.
“Berarti dengan kata lain, memang ada yang mencuri?”
“Bukan saya yang mengatakannya Bu. Tapi itulah
kemungkinan satu-satunya.”
“Rasanya karyawan di sekolah kita selama ini baik-baik
saja. Apa mungkin diantara mereka ada yang mencuri?” nada bicara Pak Sastro
Keling agak melunak.
“Saya tidak mau menuduh siapa-siapa Pak. Tapi bapak
seharusnya tahu posisi saya. Menurut bapak, kemungkinan apa yang paling mungkin
terjadi?”
Hening. Pak Kepsek dan Bu Joyo saling pandang. Seolah
tidak ada jalan pemecahan untuk kasus ini. Mencari penyelesaian dialog rasanya
tidak mungkin dilakukan. Kedua belah pihak, baik Nugroho dan Ivan maupun pihak
Tata Usaha sama-sama mengaku tidak bersalah.
“Ehm.” Bu Joyo tampak berpikir.
Dengan sedikit berbisik Bu Joyo bertanya, “Seandainya
kalian diambil sumpah, kalian berani?”
Baik Nugroho maupun Ivan menyadari bahwa mereka
sama-sama terkejut dengan ucapan Bu Joyo. Terbayang bagaimana sakralnya ucapan
sumpah tersebut. Bahkan Pak Kepsek Toha pun agaknya ikut terkesiap.
“Bagaimana?”
“Sebentar bu,” Ivan mencoba menetralisir suasana,
“sumpah bukan perkara yang ringan bu.”
“Alah,” sergah Nugroho. “Kami berani bu! Untuk sebuah
pembuktian kami akan lakukan apa saja Bu. Kami tidak takut dan tidak mau
dikatakan penakut. Tapi kami hanya minta keadilan, jika kami diambil sumpah
maka seluruh karyawan termasuk siapa saja yang kira-kira dapat dituduh juga
diambil sumpahnya. Berani?”
Hening kembali. Tak ada yang menyangka Nugroho bisa
berkata seperti itu.
“Emm, saya kira tidak usah ada sumpah-sumpahan saja,” Pak
Sastro Keling menengahi. “Sekarang kalian masuk lagi ke kelas.”
“Tapi bagaimana nasib kami selanjutnya Pak?”
“Nanti saya yang selesaikan.”
AKHIRNYA KASUS itu tiba-tiba saja dinyatakan selesai begitu
saja tanpa diusut lebih dalam lagi. Padahal sampai detik itu masih tidak jelas
diketahui apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang sebenarnya bersalah. Tersiar
kabar terakhir bahwa Pak Sastro Keling-lah yang bersedia mengganti uang sekolah
itu dari kantong pribadinya. Entahlah tak seorangpun memahami alasan Pak Sastro
Keling itu selain Pak Sastro Keling sendiri.
Adapun permasalahan yang masih belum selesai adalah
perseteruan antara Nugroho dan Mbak Yetty. Setelah peristiwa itu, Nugroho jadi
sering berlari-larian sambil tertawa-tawa sendirian di dekat kantor Tata Usaha.
Mulutnya pun tidak henti-hentinya meneriakkan kata “Kotak Ajaib, bisa masuk
tak bisa kembali...”. Sedangkan Mbak Yetty masih pada kebiasaannya cemberut
dan makan kue sampai belepotan mulutnya, sambil sesekali geram mengusir Nugroho
menjauh dari ruangannya.
Yah, dialah Nugroho. Seorang siswa yang karena
kehilangan uangnya telah memaksa dia untuk ikut kehilangan masa depannya.
Adapun Ivan, dialah orang yang paling merasa bersalah dan kehilangan sahabat
yang amat dicintainya, disamping ibunya Nugroho yang semakin bertekad akan bersungguh-sungguh
menyeret kasus ini kepada Kepolisian.*
Itulah satu cerita pendek anak sekolah yang berjudul Kotak ajaib. Gimana, biasa aja ya ceritanya? Maklumlah masih belajar nulis cerpen. Cuman, semoga semuanya terhibur. Hihihi.
Baca Juga Cerpen Lawas saya yang lain: Esok Masih Ada Matahari dan Potret. :)
Selamat Membaca.
Itulah satu cerita pendek anak sekolah yang berjudul Kotak ajaib. Gimana, biasa aja ya ceritanya? Maklumlah masih belajar nulis cerpen. Cuman, semoga semuanya terhibur. Hihihi.
Baca Juga Cerpen Lawas saya yang lain: Esok Masih Ada Matahari dan Potret. :)
Selamat Membaca.