Contoh Naskah Drama Anak Sekolah, #1
rifanfajrin.com - Contoh Naskah Drama Anak Sekolah, #1
TERPERKOSA KEHIDUPAN KOTA
Pelaku:
TOHARI (suami)
TUMIYAH (istri)
LIS (anak perempuan)
UJANG (anak laki-laki)
Bagi masyarakat
yang bermukim di tepi kali comberan di kota Semarang, yang hanya terdiri dari
puluhan gubuk-gubuk reot, parade hingar bingar adalah hal yang biasa terjadi.
Terlebih pada saat matahari mulai menciumi bau busuk pada tepian kali comberan
yang dipenuhi bermacam-macam sampah dan terkadang di tepi comberan itu tergenang
rob air laut yang tak kunjung surut entah apa yang di kerjakan oleh pemerintah
kota Semarang yang selama ini tidak dapat teratasi. Sumpah serapah, suara
tangisan anak ingusan, caci maki, suara kesemrawutan tepi kali comberan, suara
bantingan piring yang sering berakhir dengan saling cakar, ternyata telah
menjadi upacara bangun pagi yang mengasyikkan. Hingga, tak ada satupun yang
menarik untuk didengar, apalagi ditonton.
Seperti kehidupan
jaman Barbarian yang tak punya aturan dan tata sopan satun. Dari sisi megahnya
kota besar dengan pembangunan yang pesat dimana satu kawasan yang tak tersentuh
oleh pembangunan dan seperti tak di anggap sebagai penopang kehidupan kota
itulah deerah di tepi kali comberan di kota Semarang.
Entah mengapa di
tepi kali comberan yang tak pantas untuk dijadikan kawasan pemukiman,
orang-orang disana dengan santainya hidup dengan aturannya sendiri dan berteman
dengan sampah-sampah kota yang hanyut dari aktivitas pembangunan di kota
Semarang. Apakah para pemimpin peduli dengan mereka?
Inilah kisah
tentang kaum comberan, kisah tentang orang-orang yang mengatakan bahwa hidup
adalah untuk makan dan senang-senang! Tak lebih dari itu.
Babak I
Sebuah gubuk reot
persis di tepi kali comberan yang teramat sumpek dan bau terdapat sampah yang
berserakan dimana mana. Dengan artistik ruangan 3x4 meter yang amat sederhana,
tampak seorang bapak paruh baya keluar dari kamar yang hanya dibatasi oleh
triplek dan kain kumal. Pak Tohari namanya, ia menguap lalu duduk di dipan kayu
yang sama reotnya. Terasa sekali bahwa denyut kehidupan di rumah ini baru
dimulai pada pukul 7 pagi.
Pak Tohari terlihat
sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas di atas mejanya. Seolah-olah tak
terpisahkan dengan hidupnya. Ada banyak angka-angka yang tertulis di kertas itu.
Ia terlihat berpikir keras, menggaruk-garuk kepalanya yang hampir botak tak
ubahnya seperti seorang professor yang akan menyelesaikan penelitiannya.
Kemudian ia batuk-batuk, lalu meludahkan dahak kental ke lantai dengan santai.
Hal seperti itu sudah tak asing dilihat oleh orang di sekitarnya. Orang-orang
pun sudah terbiasa dengan tingkah lakunya yang semaunya sendiri.
TOHARI:
Merah delima?
(Tohari kembali berpikir keras. Kemudian ia
teringat sesuatu, lalu mencarinya diantara tumpukan kertas tersebut, tapi tidak
ketemu)
Tum! Tumiyah!
Tumiyah…!
(Tak ada sahutan, Tohari lalu mengambil sisa
tembakau tadi malam dan melinting, membakar, lalu menghirupnya dalam-dalam)
Tumiyah! Tum! Hei!
Apa kau lihat lembaran syair yang tadi malam kutaruh di meja?
Seingatku aku
menaruhnya dimeja tadi malam..
Tum! Kau dengar aku
Tum?
Apa kau tuli Tum!
Tak kau dengar pertanyaan ku! Dasar wanita bodoh!
(Tetap tak ada sahutan, Tohari kemudian
melanjutkan pekerjaannya)
Babak II
Tiba-tiba Tumiyah
datang membawa ember plastik sambil membanting daun pintu. Tak ayal lagi,
sumpah serapah keluar dari mulutnya sendiri. Tohari tetap konsentrasi dengan
pekerjaannya. Sepertinya sikap Tumiyah yang datang begitu tiba-tiba adalah hal
biasa yang dinikmatinya tiap hari.
TUMIYAH:
Betul-betul kurang
ajar itu anak! Pagi-pagi sudah mencuri! Dasar anak jadah! Kau tahu Pak Tua?
Uangku 3000 perak yang kusimpan di lemari sudah dicuri oleh si Ujang, padahal
uang itu akan kupakai untuk membeli minyak tanah! Dasar anak sinting! Anak
setan!
Kerjanya Cuma
menyusahkan orang tua saja..sudah tahu orang tuanya kere masih sempat-sempatnya
dia nyolong.
TOHARI:
Heh, apa kau lihat
lembaran syairku yang kusimpan disini?
TUMIYAH:
Apa katamu aku
wanita bodoh bukankah kau yang bodoh!
Mana aku tahu
syairmu, pagi ini aku sedang kesal. Lagi pula, apa tidak ada pekerjaan lain
selain meramal syair-syair sialanmu itu?
TOHARI:
Dari pada kau
mencaci maki terus-terusan, lebih baik kau bikinkan aku segelas kopi, biar
otakku sedikit encer menghitung angka-angka ini.
Nantinya kau juga
yang bakalan senang!
TUMIYAH:
Hari ini tak ada
kopi Pak Tua! Sebaiknya kau simpan saja impianmu itu!
TOHARI:
Alaaaah...! Kau
tahu apa tentang merah delima?
(Tohari melanjutkan pekerjaannya dan Tumiyah
sedang sibuk di dapur)
TUMIYAH:
Apa untungnya aku
tahu tentang merah delima?
Tak penting bagiku
tak bisa merubah kehidupan kita!
(Sambil mengumpat tak karuan di dapur)
TOHARI :
Memang tak penting
bagimu...Tapi Suatu saat kau akan menyesal impianku akan terwujud dengan merah
delima ku ini...
Dasar sok tahu kau!
Urusi saja urusan dapur! Kau tahukan kodratmu hanya dapur dan tempat tidur!
Kau tak bakal
mengerti urusanku!
Babak
III
Ketika Tohari asyik
dengan pekerjaannya, Ujang anaknya yang masih berusia 10 tahun datang,
pakaiannya basah kuyup. Dengan melenggang kangkung, ujang mendekati bapaknya
dan duduk di dipan. Matanya sibuk memperhatikan bapaknya yang sibuk menghitung
angka-angka.
TOHARI:
He, anak jadah!
Kenapa bajumu basah? Heh, aaa, aku tahu, kau pasti ngintip janda kembang itu
mandi ya? Kecil-kecil sudah kurang ajar! Ayo pergi sana! Ganti bajumu!
Mengganggu konsentrasiku saja!
Memangnya kamu saja
yang mau ngintip si janda kembang itu!
Bapakmu ini juga
mau!
UJANG:
Bapak mau tau
urusanku saja!
Lebih asyik ngintip
si minah janda kembang itu mandi dari pada aku melihat Bapak! Tak mau mataku
ini melihat! Hahaha...huhu..
(Dengan cuek Ujang beranjak menuju dapur,
Tohari masih melototkan matanya pada Ujang. Setelah Ujang menghilang, Tohari
kembali dengan pekerjaannya. Tapi, itupun hanya sebentar, karena tak lama
setelah itu, Ujang berlari keluar dari dapur diiringi teriakan istrinya yang
memekakkan telinga.)
TUMIYAH:
Anak sialan! Hei,
mau kemana kau? Heh, jangan lari! Kembalikan dulu uangku yang 3000 perak! Pasti
kau yang mencurinya! Hei, jangan lari! Keparat, sampai kapan kau mempermainkan
orang tua, heh? Awas kau! Awas!
Kau dan ayahmu sama
saja tak berguna!
UJANG:
Bisa tuli aku
mendengar teriakanmu tiap hari bu! Apa tak bisa kau kecilkan volume suaramu
yang tak jauh beda dengan kaleng rombeng! Dasar nenek Lampir!
TUMIYAH:
Memang anak sialan
kau Jang! Kembalikan uangku yang 3000 perak! Kau mau seharian ini tak makan!
Aku sudah tak punya minyak tanah! Ayo kembalikan kau anak keparat!
UJANG:
Uangmu sudah ku
habiskan untuk beli mainan..Mana pernah kau memberiku uang! Dasar nenek pelit!
Masih 3000 perak saja!
Sudah
berkicau-kicau apalagi aku mengambil uangmu tiga juta kau pasti kau menjadi
gila!
Hahahahha.....
Uang tiga juta saja
kau tak punya!
(Ujang berlari keluar)
TUMIYAH:
Sini kau keparat
busuk! Jangan kabur kau!
(Tumiyah terlambat, lari Ujang begitu cepat,
begitu keluar dari dapur, ia hanya mendapati suaminya yang tengah asyik dengan
angka-angkanya, kontan saja, suaminya pun jadi sasaran kemarahannya)
TUMIYAH:
Pak tua, apa kau
pikir akan makan dengan berada di rumah terus, heh? Ke pasar kek, kemana saja.
Aku sudah tidak punya minyak tanah pak tua!
Kerjaanmu membuatku
muak!
Dasar tak berguna
seperti kayu yang hanyut di sungai tak tentu arah mau kemana!
TOHARI:
Kau ikhlaskan saja
3000 perak itu, untuk beli minyak tanah ngutang dulu di warung si Leman, aku
sedang nunggu si Kontan untuk urusan penting.
Nantinya kau juga
yang senang!
Minta apa saja akan
kuturuti kau! Kau akan jadi nyonya besar nantinya..
TUMIYAH:
Sudahlah! Berhenti
kau dari angan-angan bodohmu itu!
Kontan gundul
bonyok! Apa sepenting itu Kontan hingga kau harus menunggu? Dengar pak tua,
utang sama si Leman sudah tiga puluh ribu perak, yang penting sekarang minyak
tanah, bukan Kontan.
Apa dia bisa
memberiku minyak tanah?! Bisa memberi kita makan sekarang juga!? Haaah..??
TOHARI:
Perempuan goblok,
kau tahu apa tentang merah delima? Heh, kalau jadi…hem. Kita akan lekas kaya!
Aku akan bangun rumah dengan lampu yang lebih besar dari yang ada di Green Wood
sana. Biar mereka nyahok! Kemudian, aku akan…
TUMIYAH:
Alaaaaah sudah!
Dasar pembual!
Tak usahlah
pikiranmu melambung tinggi...
Kau hanya bermimpi
di siang bolong...
TOHARI:
Nanti kita akan
punya segalanya...
Punya mobil mewah
lebih dari sepuluh, akan ku belikan kau semua perhiasan di toko emas..
Kalo perlu ku
belikan kau toko emasnya sekalian biar kau senang!
TUMIYAH:
Capelah aku
mendengarkan ocehan busuk mu itu!
Sudahlah...kau
hanya bermimpi..yang mustahil terjadi..!
(Tumiyah memotong ucapan suaminya, bertengkar
dengan lelaki ini, tak akan menghasilkan apa-apa. Otaknya sudah budek. Lalu
menyapu gubuknya yang seperti kapal pecah. Tengah asyik menyapu, ia teringat
bahwa hari ini adalah hari rabu. Tumiyah tersenyum, emosinya sedikit reda. Ia
berhenti menyapu dan mendekati suaminya yang sedang mabuk membayangkan rumah
sehebat Green Wood)
TUMIYAH:
Apa kau sudah
mendapatkan info alam pak tua?
TOHARI:
Heeeeh perempuan,
kamu bilang enggak punya duit!
TUMIYAH:
Weeaalahh,
tololnya, kalau kau menang kan aku juga yang senang, lagian, apa kau punya
duit? Beli minyak tanah saja tidak becus!
TOHARI:
Ya sudah, aku cuma
mancing-mancing kalau kamu diam-diam masih menyembunyikan uang. Hem,
kelihatannya wangsit kali ini memang benar. Coba kau bayangkan, dalam mimpi itu
aku dikelilingi tiga ekor kalkun. Kalkun Arab. Setelah dikutak-kutik, ternyata
kena pada tujuh delapan dengan ekor dua tujuh. Pokoknya untuk yang satu ini aku
harus bisa. Aku akan mengandalkan si Kontan, setidaknya untuk dua kupon. Kau
mau minta apa saja tak masalah bagi ku nanti. Kita tak akan kesusahan lagi
seperti sekarang Tum! Kita bakal hidup enak.
Percayalah padaku
Tum!
TUMIYAH:
Terserah, mau
Kontan mau setan, aku sudah tak mau tahu, yang penting sekarang minyak! Aku tak
mau kelaparan karena Kontan. Setiap hari makan selalu telat. Bukan telat karena
makan, tapi telat karena syair-syair tak berguna mu itu.
(Tumiyah buru-buru bangkit, menyelesaikan
pekerjaanya menyapu rumah, agak lama. Ia menoleh ke belakang, ke arah suaminya
yang masih bermimpi dengan rumah seindah Green Wood, hati-hati, ia kemudian
menyelinap keluar, bukan ke warung Leman, tetapi ke Pasar untuk membeli dua
lembar kupon)
Babak
IV
Hingga pukul 12.00
siang, Kontan belum jua muncul. Tiba-tiba Lis anak gadisnya muncul, Lis datang
dengan membawa nasi bungkus dan memakannya sendiri dengan enak. Tak
menghiraukan Bapaknya yang ada didekatnya. Pak Tohari jadi iri dan lapar. Pak
Tohari jadi ingat bahwa perutnya belum di isi sejak pagi tadi, sedang Tumiyah
istrinya ngelayap entah kemana.
TOHARI:
Tentu kau masih
menyimpan uang, belikan aku sebungkus
lagi, pake tahu. Sudah tak tahan perut ku ini...cacing di dalam perut ku sudah
melolong minta makan...Ibumu belum juga menyiapkan makanan.
Cepatlah kau
belikan aku makan..
LIS:
Nggak! Nggak mau.
Uangku hanya tinggal 2000 perak buat beli viva, bedakku habis, aku tak bisa
kalau tak berbedak..bisaaaaa jelek akuuu...
Nanti bang Nasrul
tak mau lagi denganku!
(Lis tiba-tiba menjauh, menjaga nasinya agar
tidak terjangkau oleh bapaknya)
TOHARI:
Heh, bukankah itu
uangku? Uang dari si Ujang kan?
LIS:
Enak saja, bang
Nasrul yang kasih aku lima ribu.
TOHARI:
Nasrul? Laki-laki
brengsek itu? O ya, kalau begitu tolong kamu pinjamkan sama Nasrul. Nasrul
senang kamu? Bagus. Tidak apa-apa.
LIS:
Nggak! Pergi saja
sendiri.
Mengganggu urusan
perutku saja!
(Lis kemudian lari ke belakang, tentu saja
Tohari marah sambil berteriak)
TOHARI:
Keparat! Awas kamu
Lis, aku doakan kau nyahok dengan Nasrul!
Dasar anak tak tahu
di untung!
Tak jauh beda kau
dengan ibumu itu!
(Pak Tohari pun pergi keluar rumah)
Babak
V
Malam telah larut,
lampu minyak telah lama dinyalakan. Kecuali Pak Tohari yang memang belum pulang
kelayapan bagaikan mahluk nocturnal setengah jadi dimana paginya tidur-tiduran
sambil meramal syair-syairnya, malamnya mencari mangsa yang akan disantapnya,
semua penghuni di rumah itu telah lama lelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Ya,
tak ada yang perlu dikerjakan selain tidur. Hanya dengan tidurlah keluarga
semacam itu bisa tentram dan sunyi.
Pukul sebelas
malam, pak Tohari baru pulang. Tubuhnya sedikit oleng pertanda sedang mabuk
berat. Mulutnya menceracau-ceracau tak karuan. Memanggil-manggil Tumiyah
Istrinya.
Sepertinya dia
sedang berhasrat dengan istrinya.
TOHARI:
Tum, Tumiyah, aku
gagal Tum, hik, aku gagal mendapatkan kupon itu, padahal nomornya jitu, hik.
Jika saja tidak, mungkin malam ini kita sudah bercinta di Green Wood, eh, hik,
bercinta? O ya, malam ini kita bercinta lagi ya Tum, hik, itulah obat bagi
segalanya, hik. Tenanglah Tum, besok akan kupikirkan lagi kabar tentang merah
delima, hik. Tum, hik, Tum..
(Mulut Tohari terus menceracau, dalam benaknya
sudah terbayang nikmatnya bercinta dengan Istrinya. Tohari kemudian bergerak
menuju salah satu kamar dalam gubuknya, tapi bukan ke kamar dimana Tumiyah
Istrinya telah lama terlelap karena terlalu letih dengan pekerjaan rumah nya
yang tiap hari selalu menyita waktu dan tenaganya. Barangkali gara-gara terlalu
mabuk sehingga Tohari lupa bahwa ia telah masuk ke kamar Lis anak gadisnya.
Dan…)
* * *
SELESAI