Berbicara di Depan Anak-Anak itu Sulit
Sampai saat ini saya masih merasa kesulitan ketika berbicara di depan anak-anak. Anak-anak yang saya maksud di sini adalah anak-anak usia 6 - 12 tahun. Mereka adalah para siswa di sekolah dasar. Dan siswa-siswi itu adalah murid-murid saya sendiri di sekolah tempat saya mengajar.
Itulah yang saya rasakan dan saya sadari kemarin. Saya harus berbicara, ceramah, atau katakanlah mengisi pengajian untuk anak-anak itu, Rabu 9 April 2025, pada hari pertama masuk sekolah setelah libur Hari Raya Idul Fitri.
Sebagaimana lazimnya, kegiatan di hari pertama itu adalah acara halal bi halal seluruh warga sekolah. Nah dalam rangkaian acara tersebut, salah satunya atau bahkan bisa dikatakan sebagai acara inti, adalah tausiyah atau ceramah atau nasehat atau mauidoh hasanah atau sering pula disebut oleh MC sebagai "pengajian dan hikmah halal bi halal". Celakanya, pada H-1 pelaksanaan kami panitia/guru-guru melakukan rembugan, sayalah yang didapuk untuk melaksanakan tugas tersebut. Dan seperti yang sudah saya singgung di awal, sulitnyaaa.
Saya bukannya tidak melakukan persiapan. Secara materi saya merasa memiliki cukup untuk sekedar menyampaikan ceramah selama 15-30 menit. Salam dan pembukaan sudah ada, interaksi dan menyapa audiens ada, pantun ada, semacam ice breaking atau tebak-tebakan ada, ayat Quran ada, kisah teladan di zaman Nabi dan para sahabat juga sudah ada. Semuanya ada. Ternyata bekal itu tidak menjamin ceramah saya di depan anak-anak bisa berlangsung dengan lancar dan sukses. Lalu apa sulitnya?
Kesulitan-kesulitan yang saya alami antara lain:
1. Saya harus ceramah di halaman sekolah/lapangan upacara.
Jangan dibayangkan semua sekolah memiliki aula yang gede atau masjid yang representatif untuk menggelar pengajian. Sekolah tempat saya mengajar tidak memiliki dua hal itu. Kami mengadakan acara itu di halaman sekolah beralaskan tikar dan terpal. Akibatnya, meskipun kami memulai acara pada pagi hari, hangatnya sinar matahari perlahan-lahan mulai terasa panas. Kami pun merasa kurang nyaman.
2. Saya tidak bisa mengendalikan anak-anak yang ribut
Berbicara di depan anak-anak kelas satu sampai kelas enam di ruang terbuka, di lapangan, tidak ada batas-batas ruang, itu sulit. Harap diingat, usia mereka itu paling besar 12 tahun dan paling kecil 6 tahun. Usia segitu sedang seneng-senengnya bercanda, guyonan, bergulingan dan bergulat, sampai berlari-larian ke sana kemari. Dan bisa dikatakan bahwa anak-anak kelas satu itu sedang dalam masa "transisi" dari TK ke SD.
Saya sudah beberapa kali meminta mereka untuk tenang dan bersabar. Saya katakan sebentar saja saya bicara. Namun efek dari imbauan itu cuma sekejap saja. Beberapa saat kemudian, kembali rame. Teman-teman guru sebenarnya sudah membantu mengondisikan, tetapi energi anak-anak itu amatlah besarnya. he he he.
Saya membatin seandainya penyimak ceramah saya kelas 4, 5, dan 6 saja, mungkin sedikit berbeda.
3. Saya masih minim pengalaman menjadi "pembicara"
Pada akhirnya adalah jam terbang, flying watch kalau kata Thukul Arwana. Berbicara, memberikan ceramah, itu berbeda dengan mengajar di kelas. Mengajar di dalam kelas lebih mudah, karena materi yang disampaikan lebih mengerucut.
Akhirnya, sampai di sini, seperti yang saya sering sampaikan, saya sungguh kagum kepada para penceramah, para pendongeng, storyteller, dan sejenisnya yang betul-betul bisa "menguasai panggung", "menghipnotis" anak-anak untuk masuk dan hanyut pada content yang sedang disampaikan, dan membuat anak-anak berteriak untuk "lanjuuttt" padahal durasi waktu sudah lebih dari satu jam, seolah-olah menyulap waktu menjadi berlalu begitu cepat, dan seterusnya. Saya betul-betul kagum. Betul-betul kagum.